AMBON, Siwalimanews – Sidang kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang di BNI Ambon kembali digelar, Selasa (14/4).

Dalam sidang dengan agenda eksepsi tim pena­sihat hukum para terdak­wa terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Ahmad Attamimi itu, terungkap, kalau Fara­diba Yusuf yang memerintahkan sejumlah kepala cabang pembantu untuk mentransfer uang ke rekening tertentu.

Penasehat Hukum terdakwa Kres­tiantus Rumahlewang alias Kres, mantan KCP Tual, Firel Sahetapy mengatakan, dalam dakwaan dijelas­kan bahwa Faradiba yang saat itu menjabat wakil pimpinan BNI Ambon memerintahkan tiga KCP yaitu Tual, Dobo, dan Masohi untuk men­transfer sejumlah uang ke rekening tertentu. Namun jaksa tidak men­jelaskan, uang itu ditransfer ke rekening siapa saja.

“Kami menilai dakwaan jaksa bertentangan dengan BAP. Selain itu, ada beberapa hal yang tidak dije­laskan dengan jelas,” ujar Sahetapy.

Dalam dakwaan tercatat ada lima rekening digunakan untuk menerima transferan dari tiga KCP. Transferan tersebut dinilai merugikan bank, karena tidak sesuai prosedur.

Baca Juga: Penyidikan Korupsi SMAN 2 Serut Masih Jalan

“Tetapi tidak dijelaskan, sumber dana dan disetor ke rekening siapa sebagai penerima. Karena tidak mu­ngkin ada transaksi penyetoran, na­mun tidak ada rekening penerima,” tandas Sahetapy.

Selain itu, ia mengatakan Faradiba menyuruh melakukan penarikan tunai dari rekening Johny de Quelju, yang adalah nasabah BNI. Tetapi tidak disebut sebagai kerugian dari  BNI.

Dari peristiwa itu, lanjut Sahe­tapy, harusnya diklasifikasikan sebagai tindakan menyalahgunakan kewena­ngan dan jabatan dengan memerin­tahkan teller untuk menjalankan transaksi RTGS.

“Perbuatan yang didakwakan JPU berada diluar jangkauan tipikor, harusnya tindak pidana umum,” kata Sahetapy.

Hal yang sama juga disampaikan penasehat hukum Marce Muskita alias Ace, eks KCP Masohi, Yeheskel Haurissa. Ia mengatakan, terdakwa Muskitta mentransfer sejumlah uang atas perintah terdakwa Fara­diba.

“Sistem perbankan itu ada kode khusus cuma bisa transfer dibawah 1 miliar.  Jadi kalau mau transfer lebih dari itu harus dari orang yang punya wewenang,” ujar Haurissa.

Ia menilai, dakwaan JPU tidak menjelaskan secara jelas terdakwa melakukan transfer ke Soraya Pelu menggunakan dana masyarakat pihak ketiga atau uang negara. “Kalau misalnya dana nasabah maka tidak harus tipikor,” ujar Haurissa.

Selain itu, dakwaan jaksa juga tidak menjelaskan sumber dana dari mana. Padahal, transfer itu dari dana nasabah.

“Jadinya kabur, transferannya itu juga dilakukan atas perintah Fa­radiba. Uang yang mana yang diko­rupsikan? Dakwaan itu menjadi kabur,” tandas Haurissa.

Menanggapi hal itu, penasehat hukum Faradiba, Jonathan Kainama mengatakan, Farahiba bukan atasan dari KCP, sehingga dia tidak bisa memerintah para KCP. “Faradiba tidak punya kekuasaan untuk meme­rintah,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pada awalnya tidak terlihat niat terdakwa Faradiba menggunakan dana nasabah terse­but untuk pribadi. Tetapi ia berupa­ya mendapatkan nasabah potensial, dengan tujuan utama memberikan keuntungan  kepada BNI.

“Uraian JPU tidak lengkap dan mengaburkan peristiwa. Keuntu­ngan yang didapatkan nasabah itu untuk BNI,” tandasnya

Ia juga mengatakan bonus 20 persen per bulan dalam bentuk cash back, tidak sesuai dalam BAP tang­gal 13 Desember. “Nilai suku bunga yang ditawarkan hanya 9,5 persen dari nilai suku bonus 6 persen. Hal yang sama dikatakan nasabah dalam BAP,” tuturnya.

Selain itu, dana nasabah yang disebutkan hanya pada tahun 2012-2015. Dalam dakwaan tidak disebut­kan pada 2016. Padahal mengacu pada BAP Faradiba, pada 2016 ter­dapat juga nasabah yang mengikuti cash back.

Dalam dakwaan juga, kata Kai­nama, tidak menguraikan nilai ba­rang bukti apakah sama dengan uang Rp 46 miliar yang disebut diko­rupsi oleh Faradiba.

“Sangat mencengangkan dalam kurun waktu 26 hari dapat membeli barang dalam jumlah fantastis, ada 24 item yang disebutkan. Apakah item tersebut persis dengan jumlah? Kalau memang tidak ada, berapakah jumlah sisa yang dipakai? Dipergu­nakan untuk apa?,” katanya.

Ia menilai, jaksa penuntut umum sengaja mengaburkan peristiwa dalam surat dakwaan.

Sidang dilakukan secara  online melalui sarana video conference. Majelis hakim dan enam penasehat hukum para terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon. Penuntut umum bersidang di aula Kantor Kejaksaan Negeri Ambon.

Sedangkan, terdakwa Faradiba Yusuf dan  terdakwa Soraya Pelu alias Aya berada di Lapas Perem­puan. Terdakwa lainnya, Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti semen­tara pemimpin Kantor Cabang Pem­bantu Tual, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepu­lauan Aru, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku Pemimpin BNI Kantor Kas Mardika berada di Rutan Kelas IIA Ambon.

Usai mendengar eksepsi dari tim penasehat hukum para terdakwa,  sidang yang berlangsung pukul 12.15 hingga 15.20 WIT itu, ditunda majelis hakim masing-masing; Pasti Tarigan sebagai ketua, serta Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota hingga pekan depan, dengan agenda replik.

Dakwaan

Faradiba Yusuf dan lima terdakwa kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipi­kor Ambon, Selasa (7/4).

Dalam dakwaannya Jaksa Penun­tut Umum Ahmad Attamimi mem­beberkan peran Faradiba Yusuf. Pembobolan dana nasabah yang dilakukan Faradiba ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2012. Namun baru pada 9 September hingga 4 Oktober 2019 kejahatan yang dia lakukan terendus.

JPU menyebut, Faradiba mene­rap­kan modus mencari nasabah berduit. Faradiba secara aktif telah menawarkan ke beberapa orang nasabah yang dianggap sebagai na­sabah BNI prioritas. Ia menawarkan investasi dalam bentuk program cashback, yaitu penempatan dana pada produk tabungan dan deposito di BNI dengan menjanjikan pem­berian imbal hasil dan bonus hingga mencapai 20% per bulan dari nominal penempatan dana.

Faradiba juga menawarkan inves­tasi pada perdagangan hasil bumi (cengkeh) dengan persentase keun­tu­ngan tertentu yang ia janjikan. Program tersebut seolah-olah ada­lah produk resmi dari PT. BNI. Padahal BNI tidak pernah menge­luarkan program tersebut. Melain­kan hanya program yang dibuat-buat untuk kepentingan pribadi Faradiba.

Namun karena Faradiba saat itu adalah salah satu pejabat di PT BNI, beberapa orang tertarik dan percaya dengannya. Terhitung sepanjang 2012 hingga 2015, sebanyak 37 orang menjadi nasabah Faradiba.

Pada 2012, Faradiba juga menja­ring lima orang untuk melakukan investasi. Pada tahun tersebut, ia menggelapkan uang nasabah sebe­sar Rp. 7,310 miliar.

Kemudian pada 2013 hingga 2015, setidaknya 32 orang menginves­tasi­kan uang kepada Faradiba berturut-turut sebesar Rp. 50,750 miliar, Rp 28,560 miliar, dan Rp. 28,650 miliar.

Selain itu, Faradiba juga melibat­kan tiga kepala cabang BNI. Ia me­lakukan setoran uang tanpa disertai dengan fisik (fiktif) pada PT. BNI KCP Tual,  PT BNI KCP Masohi, dan PT. BNI KCP Aru.

Dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, BNI KCP Tual menyetor uang senilai Rp. 19,8 miliar. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Kemudian pada 9 September 2019 hingga 4 Oktober 2019, dari BNI KCP Masohi mentransfer uang se­nilai Rp. 9,5 miliar  ke rekening ter­dakwa Soraya Pelu sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi pembayaran hasil bumi.

Transaksi juga terjadi di BNI KCP Aru sebanyak 19 kali pada pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 sebesar Rp. 29,65 miliar.

Uang itu dikirim dari M. Alief Fiqry sebanyak 5 kali, Abd Karim Gazali sebanyak 5 kali, Jonny De Quelju 3 kali, Soraya Pelu 3 kali, dan Aryani sebanyak 3 kali. Keterangan tran­saksi tersebut untuk pembayaran kapal, pembelian hasil laut, pem­bayaran ruko, pembayaran tanah, dan pembelian barang toko.

Hal tersebut mengakibatkan ke­rugian negara sebesar Rp. 58,950 miliar, sebagaimana ter­-tuang dalam audit BPK tanggal 11 Februari 2020. Diketahui, Faradiba menggunakan uang senilai Rp. 45, 326 miliar untuk memperkaya dirinya sendiri. (Mg-2)