PENELITIAN tindakan—dalam konteks Indonesia dikenal dengan penelitian tindakan kelas (PTK)—menurut Amanda L Nolen dan Jim Vander Putten (2007) dalam Educational Researcher Vol 36, No 7, adalah sebuah penyelidikan sistematis yang dilakukan guru untuk kepentingan pribadi guru dalam memperbaiki proses belajar mengajar dengan mengumpulkan data tentang bagaimana mereka mengajar dan bagaimana siswa belajar. Masih menurut Nolen dan Putten (2007), guru yang demikian adalah ‘guru reflektif’ yang dapat memberikan kontribusi peningkatan mutu belajar mengajar di kelas. Tentu saja, secara kasatmata, guru yang melakukan PTK adalah guru yang baik yang ingin meningkatkan mutu pembelajarannya di kelas sehingga proses pembelajaran yang bermutu akan menghasilkan keluaran siswa yang bermutu pula. Namun, timbul pertanyaan etis di dalamnya berkaitan dengan otonomi guru dalam kelas dan hak individu siswa, apalagi jika hasil PTK tersebut dipublikasikan. Apakah upaya yang diniatkan untuk perbaikan dan pemanfaatan hasilnya boleh melanggar ketentuan etika?

Etika penelitian Etika penelitian adalah ketentuan baik, buruk, benar, atau salah dalam sebuah kegia­tan penelitian. Salah satu cara mengembangkan ilmu pengetahuan adalah melalui penelitian. Namun, sering sekali dalam proses penelitian, peneliti dihadapkan pada dilema moral, satu sisi pengem­bangan ilmu pengetahuan, di sisi lain keharusan menjaga hak-hak individu yang menjadi responden atau narasumber. Menurut Kamanto Sunarto (2004), ada ketentuan etis penelitian yang harus ditaati oleh semua peneliti. Pertama, peneliti tidak dapat memaksa seseorang terlibat dalam penelitian sebagai responden atau narasumber. Kedua, peneliti tidak dapat memobilisasi orang untuk mengisi kuesioner. Ketiga, prinsip penting saat seseorang mau terlibat dalam penelitian adalah anonimitas dan kerahasiaan identitas. Peneliti harus dapat melindungi kerahasiaan identitas responden atau narasumber. Keempat, peneliti tidak boleh mengarahkan (probing) responden atau narasumber untuk menyatakan pendapat yang sudah digiring peneliti untuk kepentingan tambahan pribadi peneliti di luar konteks penelitian.

Peneliti harus membiarkan responden atau narasumber menyatakan pendapat sesuai dengan pertanyaan yang sudah didesain dalam instrumen atau kuesioner, maupun kisi-kisi pertanyaan yang diberikan tanpa diarahkan pada isu tertentu oleh peneliti. Lalu, bagaimana dengan kode etik bagi peneliti pendidikan, dalam hal ini guru-peneliti? Adakah bias etika dalam penelitiannya di kelas? Penelitian yang dilakukan guru-peneliti biasanya adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Berbeda dengan penelitian pada umumnya, menurut Drs H Mahmud MSi dan Tedi Priatna MAg (2008), PTK bertujuan meningkatkan dan memperbaiki praktik pembelajaran yang dilakukan guru. Jadi, kelas adalah lapangan penelitiannya.

Siswa, metode mengajar, alat pembelajaran, sumber ajar, bahkan guru adalah objek PTK. Menurut Nolen dan Putten (2007), isu etika dalam penelitian pendidikan (PTK) adalah ada pada peserta didik, orangtua, dan otoritas pendidikan setempat. Oleh karena itu, persetujuan peserta didik, baik siswa maupun orangtua serta otoritas pendidikan, mutlak diperlukan untuk menghindari dampak dari penelitian. Isu berikutnya adalah kerahasiaan identitas siswa sebagai bagian dari penelitian harus dijaga oleh guru-peneliti, dan isu selanjutnya adalah peserta didik harus punya kuasa (otonom) untuk dapat mengikuti atau tidak mengikuti penelitian yang dilakukan oleh guru-peneliti. Tiga isu etika ini penting jadi perhatian bagi guru-peneliti.

Karena ketidaksetujuan orangtua atas anaknya yang dilibatkan dalam penelitian akan membuat data penelitian menjadi invalid. Begitu juga jika guru-peneliti tidak memberitahukan penelitiannya kepada otoritas pendidikan setempat, membuat hasil penelitiannya mudah ‘dibajak’ orang lain.     PTK di SSB Pada 24-29 Januari 2022, 138 guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe melaksanakan pelatihan PTK. Selama dua hari pelatihan di tiap-tiap sekolah, materi pokoknya ialah pengetahuan tentang penelitian secara umum dan PTK secara khusus. Selebihnya ialah latihan mengidentifikasi masalah dengan menemukan gap antara idealitas dan realitas mengenai proses belajar mengajar di kelas. Setelah menemukan gap tersebut, langkah berikutnya ialah meru­muskan masalah tersebut dalam bentuk perta­nyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan. Selanjutnya peserta pelatihan diminta untuk mengidentifikasi solusi alternatif untuk meme­cahkan masalah yang akan ditindaklanjuti dalam pelaksanaan PTK.

Baca Juga: Polemik Pencairan Dana JHT

Setelah selesai materi dan latihan, tahapan berikutnya ialah menyepakati timeline persiapan dan pelaksanaan PTK. Waktu belajar di kelas pada semester kedua ini lebih singkat karena ada beberapa momen yang cukup menyita waktu, seperti penerimaan peserta didik baru (PPDB), ajang promosi sekolah dalam konteks PPDB (open house), kemudian masuk Ramadan, libur Hari Raya Idul Fitri, dan setelah itu ujian akhir semester. Pada semester ini, forum menyepakati sebagai tahapan persiapan, yakni membuat proposal yang dirancang secara tim dalam kelompok Forum Guru Belajar Bersama (FGBB). Forum ini rutin dijalankan setiap minggu sehingga tidak menyita waktu khusus. Forum ini terbentuk dari rumpun ilmu, yaitu rumpun ilmu sosial, sains, matematika, bahasa, dan humaniora.

Setiap rumpun hanya akan melakukan satu rencana PTK dengan situs PTK-nya (kelas yang akan menjadi objek PTK) disepakati dalam kelompok tersebut. Selain penyiapan proposal, penyiapan instrumen-instrumen atau borang-borang dalam pelaksanaan PTK juga harus dipersiapkan secara matang. Sebelum digunakan dalam proses PTK, perlu kiranya uji coba dilakukan untuk menajamkan reliabilitas instrumen yang akan digunakan. Setelah semua persiapan dan uji coba rampung pada semester ini, PTK akan dilaksanakan pada tahun ajaran baru, Juli 2022 hingga Oktober 2022.     Antisipasi isu etika Selain menyiapkan proposal dan instrumen-instrumen atau borang-borang, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan sebagai antisipasi isu etika di kemudian hari. Mengacu pada pengalaman Nolen dan Putten (2007), guru-peneliti harus menda­patkan persetujuan dari calon partisipan penelitian, dalam hal ini siswa, sebagai bentuk menghormati sesama manusia.

Persetujuan orangtua juga diperlukan jika calon partisipan penelitian adalah siswa sekolah dasar (anak di bawah umur), dengan jaminan kerahasiaan identitas partisipan. Berikutnya, guru-peneliti dibantu manajemen sekolah mengirimkan surat pemberitahuan kepada otoritas pendidikan setempat. Surat ini sifatnya pemberitahuan, mengingat guru adalah individu otonom di bawah otonomi sekolah. Prinsip dari semua persetujuan adalah tanpa paksaan, siswa harus otonom untuk menyatakan bersedia atau tidak bersedia berpartisipasi tanpa ada konsekuensi di kemudian hari. oleh: Mahyudin.  Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma