KETENTUAN menggunakan manfaat pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagian 10% atau yang 30% memberatkan pekerja. Seorang yang baru saja pensiun dari perusahaan tempatnya bekerja selama lebih dari 25 tahun, misalnya, menyesal pernah menggunakan manfaat pencairan JHT sebagian 10%. Besaran uang yang diterima tidak seberapa karena hanya 10% dari saldo tercatat pada saat pencairan JHT sebagian tersebut. Namun, konsekuesi pajak yang harus ditanggung malah sangat besar pada saat pencairan manfaat JHT sehingga mengurangi manfaat JHT yang diharapkan. Mungkin memang sudah dijelaskan di awal saat sosialisasi program-program BP Jamsostek di perusahaan. Namun, karena tergiur dengan kemudahan menerima uang pada saat diperlukan, mereka tidak menyadari atau memberikan pertimbangan yang tepat mengenai konsekuensi dari pengambilan JHT 10% tersebut. Rasa menyesal terhadap kejadian yang sama telah dialami banyak pekerja lainnya. Jaminan Hari Tua merupakan program perlindungan jangka panjang bagi para pekerja yang berasal dari akumulasi iuran wajib dan hasil pengembangan. Pencairan JHT itu bisa dilakukan secara sebagian dan secara penuh. Menurut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pencairan JHT secara sebagian dilakukan dengan syarat minimal kepesertaan 10 tahun.

Pencairan dana sebesar 30% untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk keperluan lainnya. Sementara itu, secara penuh itu hanya dapat dicairkan saat peserta mencapai usia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Ada perlakuan pajak penghasilan (PPh) yang berbeda saat JHT dicairkan secara sebagian dan penuh. Ketika peserta mencairkan JHT lebih awal sebesar 10% atau 30% dari total dana keseluruhan, pajak progresif yang dikenakan saat mencairkan sisanya akan lebih tinggi, yang kemudian ternyata memberatkan pekerja. Berdasarkan peraturan yang berlaku, klaim JHT hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali. Jadi, apabila penerima dana hendak mencairkan dana JHT tanpa pencairan sebagian, akan dikenai pajak 5% saja atas penghasilan bruto di atas Rp50 juta, sedangkan untuk JHT di bawah atau sampai dengan Rp50 juta tidak dikenai pajak. Harus diakui, sudah ada peringatan bahwa pengambilan JHT sebagian itu berpotensi menyebabkan terjadinya pajak progresif pada pengambilan JHT berikutnya apabila jarak pengambilan lebih dari dua tahun. Artinya, jika JHT dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, sisa saldo JHT akan dikenai pajak dengan tarif progresif sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Penghasilan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 7 Tahun 2020. Bagi pekerja yang memiliki nomor pajak wajib pajak (NPWP), pencairan dana sampai dengan Rp60 juta dikenai 5%, Rp60 juta-Rp250 juta dikenai 15%, Rp250 juta-Rp500 juta dikenai 25%, dan di atas Rp500 juta sampai Rp5 miliar dikenai 30%. Jika tidak memiliki NPWP, malah dikenai 20% lebih besar dari tiap besarnya pemotongan tarif. Berdasarkan Sistem Monitoring dan Evaluasi Tenaga Kerja sampai dengan Februari 2023 peserta JHT mencapai 17.481.149 orang, dengan 97,78% merupakan peserta penerima upah, dan sisanya peserta bukan penerima upah.

Dari data tersebut 66,07% merupakan peserta usaha mikro, 15,12% peserta usaha kecil, dan sisanya peserta dari usaha menengah dan besar. Bisa diperkirakan jumlah peserta terbanyak berasal dari pekerja yang bekerja di perusahaan skala mikro dan kecil, dengan nilai upah berkisar di upah minimum. Cobalah lakukan simulasi saldo JHT dengan menggunakan upah minimum DKI Jakarta sebesar Rp4.901.798, dengan lama bekerja 10 tahun dan telah memiliki saldo awal sebesar Rp5 juta maka estimasi saldo pada tahun ke-10 adalah Rp51,5 juta. Jika mengajukan pencairan JHT sebagian sebesar 10%, pekerja tersebut akan mendapatkan kurang lebih Rp5,1 juta. Kemudian pekerja masih lanjut bekerja 10 tahun lagi, pada perusahaan yang sama atau berpindah perusahaan. Dengan asumsi upah tetap, pekerja akan mendapatkan JHT minimal sebesar Rp122 juta setelah dikurangi dengan JHT yang telah diambil sebagian. Berdasarkan PMK No 16/PMK.03/2010, pekerja akan dikenai pajak progresif sekitar Rp13 juta. Simulasi saldo pekerja yang tidak mengambil sebagian JHT dengan perhitungan upah dan masa kerja yang sama hanya akan dikenai pajak sebesar Rp3,85 juta. Penjelasan persyaratan 10 tahun masa kerja itu ialah lamanya masa bekerja pekerja/buruh tersebut yang terdaftar pada perusahaan dia bekerja. Meskipun berpindah tempat kerja, tetap dihitung dari total lamanya pekerja itu bekerja. JHT sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menganut prinsip portabilitas. Artinya, prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal, dalam wilayah NKRI.

ILO melalui publikasi Prakiraan Ketenagakerjaan Dunia dan Sosial: Tren 2023, mengungkapkan proyeksi pertumbuhan lapangan kerja global hanya akan mencapai 1,0% pada 2023, kurang dari setengah tingkat pada 2022. Pengangguran global diperkirakan masih akan meningkat. Meskipun pemulihan ekonomi setelah krisis covid-19 telah dimulai sejak 2021, kekurangan peluang bekerja masih akan terus berlanjut. Perlambatan saat ini berdampak banyak pekerja yang harus menerima pekerjaan dengan kualitas lebih rendah, sering kali dengan gaji lebih rendah, terkadang dengan jam kerja yang tidak mencukupi. Selain itu, karena harga naik lebih cepat daripada pendapatan nominal tenaga kerja, krisis biaya hidup berisiko, artinya mendorong lebih banyak orang dalam kemiskinan. Tren itu muncul di atas penurunan pendapatan yang signifikan yang terlihat selama krisis covid-19, yang di banyak negara berdampak paling buruk pada kelompok berpenghasilan rendah. Paparan Menteri Ketenagakerjaan saat breakfast meeting di forum CEO Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) awal Februari 2023 lalu menegaskan pada 2022 ini 55,43% angkatan kerja Indonesia berlatar belakang pendidikan SMP ke bawah dan 32,99% pendidikan SMA dan SMK. Data itu menunjukkan kerentanan sebagian besar pekerja dalam memahami perhitungan-perhitungan risiko keuangan, termasuk di dalamnya perhitungan beban pajak untuk masa yang akan datang. Simulasi perhitungan di atas ialah hal sederhana dan menghitung pendapatan untuk 10 tahun ke depan akan lebih rumit lagi, ditambah dengan variabel pajak progresif. Bisa diduga sebagian besar pekerja yang mengambil JHT, apakah 10% atau 30%, tidak memperhitungkan risiko yang akan didapatkan pada saat sisa JHT diklaim setelah pensiun.

Dalam momentum Hari Buruh ini, pemerintah dan Dewan Jaminan Sosial Nasional perlu memikirkan jalan keluar dalam bentuk kebijakan terhadap pengenaan pajak yang lebih ringan kepada pekerja, yang dengan alasan ‘kepentingan mendesak’ terpaksa mengambil JHT sebagian. BPJS Ketenagakerjaan sebagai garda terdepan dalam sosialisasi program-program sebaiknya memastikan pemahaman pekerja yang berencana untuk mengambil JHT sebagian. Penjelasan di berbagai platform media belumlah cukup untuk memastikan pemahaman itu sehingga diperlukan langkah yang lebih tepat agar kehati-hatian pekerja menjadi lebih maksimal.(*)

Baca Juga: Posisi Maluku Dalam Target Produksi dan Dana Bagi Hasil Perikanan