KRISIS pandemi covid-19 melahirkan kebijakan pemerintah yang juga memiliki kelemahan, di antaranya kurangnya perlindungan sosial bagi pekerja informal. Namun, untuk mengatasi kelemahan ini, dibutuhkan lebih dari sekadar program-program sosial. Pemerintah perlu menjem­batani kesenjangan digital. Selama pandemi, program bantuan sosial untuk ‘kelompok menengah yang hilang’, yaitu pekerja informal yang dikeluarkan dari kelompok penerima jaminan sosial. Itu karena tidak memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan bantuan sosial yang ditargetkan untuk kelompok sangat miskin sangat bergantung pada teknologi digital.

Pendaftaran dilakukan dengan menggunakan telepon genggam pintar (smartphone). Pemerintah memverifikasi penerima dengan menggunakan sistem identifikasi digital. Pembayaran ditransfer ke rekening penerima. Penggunaan teknologi ini mempermudah prosedur dan memungkinkan pekerja untuk menghindari kontak muka satu sama lain pada saat mengajukan permohonan dan pada saat menerima bantuan tunainya. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan risiko. Sebagai perbandingan, pada saat pemerintah Afrika Selatan memperkenalkan bantuan sosial tunai bagi orang dewasa yang tidak mendapatkan bantuan pemerintah dalam bentuk lain selama pandemi, permohonan harus disampaikan melalui formulir yang diunduh dari website, Whatsapp, dan e-mail. Ini tentunya memberikan efisiensi, tapi sebagian formulir permohonan ini tidak bisa diakses pekerja karena hampir 90% pekerja tidak memiliki telepon genggam pintar.

Sebagian besar masih memiliki telepon genggam lama yang tidak ada aplikasi internetnya, juga sebagian pekerja tidak memiliki uang untuk menggunakan wi-fi. Kendala lainnya ialah keawaman dalam melengkapi formulir dan proses administrasi yang harus dilakukan jika permohonan awal ditolak. Cerita yang sama terjadi di seluruh dunia. Di Mexico City, bantuan tunai yang diberikan kepada pekerja tidak tetap, pada awalnya hanya dapat diakses melalui permohonan daring. Ada yang sampai tiga kali mencoba memindai dokumen dan mengirim e-mail. Bagaimana jika pekerja tidak bisa baca tulis dan tidak mampu bayar sewa internetnya. Akhirnya, pemerintah Mexico menyediakan juga formulir permohonan yang bisa dilengkapi secara manual. Begitu juga di Delhi, pekerja informal berjuang untuk menggunakan aplikasi digital yang diluncurkan pemerintah untuk mendukung pedagang kaki lima. Bukan hanya karena aplikasi tersedia secara daring, melainkan juga tidak ditulis dalam bahasa Hindi baku dan website sering putus. Pemohon juga diharuskan memiliki kartu identifikasi yang terhubung dengan data biometri dan demografi yang juga terhubung dengan nomor telepon genggam, yang juga menimbulkan masalah-masalah lainnya. Tidak semua memiliki kartu identifikasi tersebut. Jika mereka merupakan pekerja musiman yang berasal dari desa, mereka harus pulang ke desa untuk mengurus kartunya dan juga jika nomor telepon genggamnya beda, harus di mutakhirkan data nomor telepon genggamnya.

Laporan PBB 2019 tentang kemiskinan dan hak asasi manusia menemukan bahwa digitalisasi kesejahteraan cenderung menurunkan secara signifikan anggaran kesejahteraan secara keseluruhan, menghilangkan beberapa jasa pelayanan, dan memperkecil jumlah kelompok penerima bantuan tunai. Sistem ini justru seolah-olah menghukum kaum miskin. Seharusnya, teknologi yang ada tidak boleh digunakan untuk mengurangi anggaran dan mengalihkan tanggung jawab dari pemerintah ke organisasi yang mengurus kaum miskin.

Pemerintah yang menggunakan teknologi digital untuk program kesejahteraan sosial harus memastikan adanya penyertaan pemerintah dalam sistem dan lembaga di mana program ini melekat. Untuk awalnya, dengan pemerintah melakukan investasi dalam transisi digital, pemerintah juga harus mendukung organisasi perdesaan dengan memberikan pelayanan dasar guna menghubungkan masyarakat dengan hak-haknya.

Baca Juga: Ruang Kelas Bukan Menara Gading

Pemerintah juga perlu membuat mekanisme untuk melakukan konsultasi yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi ini, dalam usaha mendesain program-program yang memenuhi kebutuhan kelompok yang dituju, memonitor dan melakukan asesmen perkembangannya, dan melakukan perubahan yang diperlukan. Pekerja birokasi di baris depan/frontliner seperti pekerja sosial dan petugas registrasi perlu dukungan penuh. Tentunya menutupi kesenjangan digital harus menjadi prioritas utama. Artinya, perluasan akses teknologi digital dilakukan dengan tersedianya telepon genggam pintar, internet kecepatan tinggi, dan memastikan orang memiliki pengetahuan untuk menggunakannya.

Organisasi-organisasi perdesaan memiliki peranan penting juga. Namun, untuk waktu sekarang, kesenjangan digital harus segera dijembatani untuk memungkinkan kelompok yang lemah atau miskin dapat dengan mudah mengakses bantuan pemerintah yang sangat dibutuhkan mereka ini.( Aswin Rivai, Dosen Tetap UPN Veteran Jakarta)