Tidak usah menganggap opini ini terlalu serius. Sudah jelas, latar belakang penulis ilmu ekonomi, sebagian besar karir sebagai jurnalis ekonomi, bergaul dengan ekonom dan pejabat ekonomi serta sekarang bekerja mengelola lembaga riset independen di media ekonomi pula. Jadi, secara kapasitas ketajaman analisa politik ini patut diragukan dan silahkan diperdebatkan. Isinya cuma rangkuman dari informasi kanan dan kiri tanpa konfirmasi, makanya masuk rubrik opini, sehingga tidak mewakili CNBC Indonesia melainkan hanya pribadi.

Keretakan hubungan antara Ketua Umum Partai PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan petugas partainya, Presiden Joko Widodo tidak perlu disangkal. Sudah jelas, pendekatan semiotika-disiplin ilmu dan metode analisis yang dapat mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada suatu objek-kedua figur paling menentukan negara ini, dari visualisasi media dan juga kabar burung di sekitar Gambir dan Tengku Umar sudah terang. Tukang ojek tampaknya juga mampu membaca ada ketidakharmonisan keduanya belakangan ini.

Hubungan Megawati-Jokowi, naik-turun. Itu sudah rahasia umum, ala hate and love relationship bahkan sejak 2014. Ini bukan hal buruk, tanda bagus bahwa demokrasi Indonesia masih berjalan dengan baik, karena meski dua tokoh ini berkelindan dalam satu rumah partai, namun karena memiliki peran, status dan fungsi berbeda masih bisa saling tawar menentukan arah kebijakan pemerintah; satu mewakili golongan, satunya merepresentasikan seluruh rakyat. Telihat, mekanisme check and balanceberjalan diantara keduanya, dimana satu sama lain tidak bisa mudah saling mengkooptasi.

Tentu saja kekuatan Ibu Megawati adalah partai penguasa parlemen, dan juga ketua partai dari presiden yang merupakan kader partai. Ia satu-satunya partai yang bisa menentukan sendiri nama calon presiden, dan mendominasi kekuatan legislasi di Gedung Kura-Kura. Tapi, Pak Jokowi dengan elegan bisa mengelola kekuatan relawan, yang dipupuk, dibina, diam-diam menjadi kekuatan dan juga kadang menggunakan perangkat negara agar tidak mudah disemena-menakan partai-partai di Senayan. Sebaliknya, malah sebagai gertakan dan ancaman. Pak Jokowi adalah the best ‘mind game’ actor, in the Indonesia political history, setelah bapaknya Ibu Megawati, hemat saya.

Paling tidak, perpecahan itu dimulai saat keduanya yang memiliki tujuan sama-pada akhirnya-retak gara-gara, entah karena motif loyalitas atau apa dan disuruh siapa, tiba-tiba saja Gubernur Jawa Tengah dan fungsionaris partai PDI Perjuangan Ganjar Pranowo, dalam kapasitas entah apa-waktu itu belum bacapres PDI Perjuangan-mengirimkan rilis ke awak media-hal ganjil pula ini, tidak biasanya Pak GP berkomunikasi dengan media dengan cara ini. Isinya menolak, perhelatan hajat nasional sepak bola U-20, gara-gara Israel lolos kualifikasi dan ikut bertanding di Indonesia.

Baca Juga: Mari Berpolitik Rasional, Jangan Mengkritisi Berlandaskan Asumsi

Boleh percaya atau tidak, tapi alasan bahwa Pak GP waktu itu ikut garis partai yang meneruskan janji Presiden Soekarno untuk menentang penjajahan Israel atas Palestina cenderung maksa, banget. Kalau kader PDI Perjuangan yang lain wajar-wajar saja, seperti Gubernur Bali Wayan Koster, tapi semua tahu pejabat berambut putih ini sedang berjuang mati-matian merebut simpati suara, menaikkan elektabilitas dan pada waktu itu berhasil, sukses. Hasil survei menunjukkan, Pak GP unggul jauh dari pesaing terdekat, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang turut berambisi merebut Kursi RI-1, untuk ketiga kali.

Mayoritas pemilih pilpres 2024 itu sebagian milenial dan Generasi Z yang gila bola. Pak GP lolos ujian kese­tiaan Ibu Megawati, tapi babak belur elektabilitasnya kemudian. Tentu ini adalah bunuh diri elektabilitas dalam sekejap untuk dia. Betul kemudian, suara Pak GP terjun bebas dan Pak Prabowo menikmati ini sebagai berkah dari langit. Padahal, di saat yang kurang lebih ber­dekatan ada upaya dari Pak Jokowi yang kemudian terang-terangan mengaku akan ‘cawe-cawe’ menen­tukan siapa penerusnya demi alasan nasib bangsa.

Yaitu, merayu agar Pak Prabowo mau menjadi wakil presidennya Pak GP, paket komplit yang sudah dikira Pak Jokowi pas dan cocok dengan narasi “rambut putih” dan “wajah keriput” pada pertemuan akbar relawan Jokowi akhir tahun lalu. Sudah selesai pikirnya pekerjaan politik untuk permainan 2024-dalam imajinasi saya.

Press release penolakan Israel yang berujung pencabutan hak turnamen U-20 itu berbuntut panjang, mengubah konstelasi politik menjadi liar sekali. Tawaran Pak Jokowi yang sempat dipertimbangkan matang oleh Hambalang berubah menjadi penolakan. Pak Prabowo kemudian tegas menyatakan di media, bila ia tidak berkenan menjadi wakil Pak GP, bertekad bulat mau maju capres sebab suara elektabilitas waktu itu mendukung dan membuka peluang besar Pak Prabowo jadi presiden lebih besar dari Pak GP.

Di kabar burung lain, ada ceceran kisah dimana saat Bu Megawati mengumumkan Pak GP jadi pengumuman di Istana Batu Tulis, Bogor, Jumat (21/4/2023) terjadi sedikit percikan kekecewaan. Pak Jokowi yang sudah lama meng-endorse Pak GP di hampir setiap acara strategis kenegaraan, dengan visualisasi di akun media sosialnya, mungkin saja tidak berkenan dengan cara partai memutuskan Pak GP. Pak Jokowi, katanya, hanya diberitahu beberapa saat menjelang pengumuman.

Lengkap sudah kekecewaan, menumpahkan bensin pada bara sekam di keluarga Solo. Yakni, disulut bahasa komunikasi politik Ibu Megawati yang by nature begitu, ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling. Satu contoh paling maksimal mungkin adalah pernyataan ‘savage’ terhadap relasi kuasa partai pengusung dan yang diusung, di depan acara hari ulang tahun (HUT) ke-50 PDI-P di JIExpo, Kemayoran, Selasa (10/1/2023).

Seorang petugas partai bernama Joko Widodo, kata dia, tidak akan jadi presiden tanpa PDI-P, bagi dia Presiden Republik Indonesia yang mendengar ceramahnya dari bawah panggung dengan diam, hanya bisa menjadi presiden melalui partai. Mempertegas diksi ‘petugas partai’ yang entah berapa kali ia ulang di pelbagai kesempatan sejak 2014, googling saja.

Lihat saja roman muka, senyum Pak Jokowi waktu Ibu Megawati mengatakan itu, ada rekam jejak digital bertebaran dimana mana. Pidato yang disiarkan televisi dan media nasional itu, jadi panggung Ibu Megawati untuk memperjelas posisinya di negeri ini. Ia juga membocorkan, Wapres Ma’ruf Amin dan Menkopol­hukam Mahfud MD adalah mantan bawahannya dulu, pun dia pula yang merekomen­dasikan nama itu di posisi pemerintahan sekarang. Sangat banyak momen visual persinggungan keduanya dalam sebuah acara yang terpantau media, bila dibedah pakai pendekatan semiotika menyimpulkan Pak Jokowi kurang berkenan.

Dari kacamata politik, tidak ada yang salah dengan ucapan Ibu Megawati, di sistem politik Indonesia, the winner take it all.Pak Jokowi sebagai po­litisi ulung juga tampak woles (santai) saja menghadapi tekanan-tekanan psikologis seperti itu, itu bagian dari risiko politisi. Diksi berulang itu sam­pai dengan detik Pak Jokowi condong ke Pak Prabowo tampak tidak diang­gap, tetapi sepertinya tidak bagi Ibu Negara Iriana dan dua anak-anaknya; Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dan pengusaha muda Kaesang Pangarep, dan istri Walikota Medan Kahiyang Ayu beserta keluarga besar Solo dan para relawan.

Saya tidak tahu hal itu benar atau tidak, cuma kabar burung saja. Teta­pi, kalau bagi orang biasa dengan mental tempe seperti saya tentu akan marah, dan hati saya mendidih. Ucapan berulang Ibu Megawati cen­de­rung merendahkan Pak Jokowi se­bagai kepala negara sekaligus kepa­la pemerintahan. Sekali dua kali tak apa, tetapi lama kelamaan, sejak 2014 sehingga tidak bisa lagi diterima. Ini soal martabat dan harga diri.

Momentum Tepat Pak Prabowo Masuk

Ditengah kegalauan ini, di saat elektabilitas Pak GP ambles dan sebaliknya nama dia naik di mata publik, Pak Prabowo memberikan jalan tengah solusi untuk semua. Ini klop, karena antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo ini berpeluang saling mengisi kepentingan masing-masing, dan begitulah maksud dan tujuan politik itu ada di dunia. Pak Prabowo punya partai tetapi tidak punya putra mahkota, sementara Pak Jokowi punya putra mahkota tapi tidak punya partai.

Semua peristiwa politik tidak hadir dari ruang hampa, semuanya permainan catur yang ada tujuan dibelakangnya. Anggap saja cocok­logi, tapi berita di media yang me­ngejutkan pada bulan Mei dimana sejumlah relawan Jokowi-Gibran dari Jawa Tengah dan Jawa Timur berbaiat dukungannya terhadap Pak Prabowo bisa dijelaskan dengan masuk akal dengan alasan tadi. Tidak aneh, dan seperti kata Mas Gibran, setelah disidang oleh partainya bahwa dukungan relawannya itu sebagaimana politik, dinamis.

“Siap dibelok belokkan untuk relawan itu. Tapi nanti ya, santai wae to, iseh suwe,” Mas Gibran

Sekuen selanjutnya adalah uji materiil atas batas usia calon presi­den dan calon wakil presiden (cap­res-cawapres) dari usia 40 tahun menjadi 35 tahun, atas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Googling saja, deretan nama beken pemohon seperti Dedek Prayudi, politisi Partai Solidaritas Indonesia, dan sejumlah pejabat pemda yang diusung Partai Gerindra seperti Erman Safar, Pandu Kesuma Dewangsa dan lain sebagainya. Ini tidak juga tidak muncul tanpa maksud, pada saat ini Mas Gibran berusia 35, mudah sekali merajut kesimpulannya.

Wacana Mas Gibran menjadi cawapres Pak Prabowo, segendang sepenarian dengan uji materiil itu cuma ‘testing the water’. Bukan itu maksud utamanya jadi cawapres Pak Prabowo sekarang, tetapi sebuah sinyal bahwa kepentingan Pak Jokowi meneruskan dinasti politiknya mampu diakomodir Pak Prabowo. Anggaplah sensasi itu cawapres muda itu sudah usai, tapi paling tidak Pak Prabowo mencoba memenangkan dua hati sekaligus, bapak dan anak dalam sekali langkah. Mendapatkan restu keduanya adalah kunci menjadi presiden 2024, Pak Jokowi adalah idola boomers dan milenial, sementara Mas Gibran dengan tweet anehnya adalah magnet Gen Z dan adiknya.

Pak Jokowi adalah anomali. Tidak mudah bagi Mas Gibran bisa meniru karir politik bapaknya, memenang­kan hati Ibu Megawati atau menjadi bintang di partai paling tua ini, susah. Jalan paling masuk akal, bagi bapak dan anak ini adalah berkompromi dengan Pak Prabowo. Konteks para­graf ini adalah, siapa presiden tahun 2029 atau 2034. Mungkin saja ini terlalu dini membicarakannya, tapi cobalah buka sejumlah buku sejarah lama, bahwa Pak Susilo Bambang Yudhoyono itu sudah diramal menjadi sosok pemimpin Indonesia sewaktu masih militer aktif, sebagai Kepala Pengamat Militer PBB di bekas negara Yugoslavia, 1995.

Perang Bharatayudha

Yakinlah tidak ada satupun yang ingin skenario liar ini terjadi, kecuali para perusuh. Sebuah huru-hara politik di rumah partai banteng moncong putih, antara seisi partai dengan satu petugas partai yang ditugaskan menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan. Ini akan merembet kemana-mana, sebab bila itu terjadi Partai Gerindra, dan seku­tunya yang sudah tegak lurus ke Pak Jokowi tidak akan tinggal diam. Yang terjadi, tentu saja kekacauan politik di Senayan yang berimbas pada iklim tak bersahabat bagi siapapun, khususnya ekonomi, sektor dimana rakyat cari isi periuk nasi.

Pada titik ini, PDI Perjuangan tampaknya sudah cuek dengan’mind game’Pak Jokowi, menclok sana-menclok sini. Satu sumber dilingka­ran Pak GP bilang, mereka sudah tidak peduli langkah Pak Jokowi, mau ke Pak Prabowo silahkan, mau kembali fokus ke Pak GP itu yang diharapkan. Ini pula yang mungkin bisa menjelaskan, sowan simbolik tokoh pergerakan 1998 Budiman Sudjatmiko ke Pak Prabowo, diang­gap sepi dan tak mendapat sanksi dari partai, berbeda jauh dengan apa yang sebelumnya dijatuhkan pada Mas Gibran. Dalam bahasa saya, PDIP dan Pak GP sudah “sak karep mu”Pak Jokowi.

Yang terjadi saat ini adalah perang dingin, sama sama menjaga diri baik antara Ibu Megawati, Pak Jokowi maupun Pak Prabowo, sementara Pak GP praktis diam saja tegak lurus dengan arahan partainya. Apakah Ibu Megawati mungkin melengser­kan Pak Jokowi dari jabatan presi­den, semisal impeachment, atas ulah mbaleloini? Hemat kami, tidak mungkin atau kecil kemungkinan sebab Ibu Megawati pernah menga­lami hal yang lebih pahit saat Sidang Umum MPR tahun 1999, dimana pemenang 34% suara jagonya kalah oleh calon Partai Kebangkitan Bangsa yang cuma 13% suara.

Sekarang, kemana dukungan Pak Jokowi sebetulnya lebih pasti ter­kunci, ditentukan kemana Pak Erick Thohir, salah satu menteri terbaik­nya berlabuh. Selain aura Pak Joko­wi, Menteri asal Lampung ini men­dapatkan simpati dari Nahdlatul Ulama. Untuk ini, ilmuwan politik Burhanudin Muhtadi dengan sangat baik mampu memetakannya. Dipub­likasikan dalam artikel berbahasa Inggris berjudul Ganjar Pranowo’s Running Mate: What’s in PDI-P’s Playbook?di fulcrum.sg.

Yang menarik dari ulasan Burhanuddin adalah, kendayi Pak ET adalah sosok paling populer diantara nama-nama cawapres yang beredar, seperti Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Jenderal Andika Perkasa dan Muhaimin Iskandar, tapi peluangnya menjadi wakil Pak GP malah tipis. Alasan Burhanudin, Pak ET diusung oleh Partai Amanat Nasional yang sudah kadung bergabung dengan Partai Gerindra. Lalu, merujuk laporan Tempo, PDI Perjuangan cenderung menyalahkan Pak ET atas kegagalan Indonesia menjadi host piala dunia U-20.

Padahal, bila Pak ET duet dengan Pak GP itu akan merekatkan hubungan antara Ibu Megawati dan Pak Jokowi. Sayangnya skenario ini tampak sulit terjadi, dan bahkan kemana Pak ET akan berlabuh, kini semakin kabur karena ada semacam keenganan ele­men di Partai Gerindra untuk menerima sosoknya. Ini bukan ketidakcocokan antara Pak Prabowo dan Pak ET, tetapi lebih pada elemen suporter di belakang keduanya. Entah siapa.

Ambang batas minimum partai yang bisa mengusung calon presi­den baik sendiri, atau koalisi sebesar 20% atau presidential threshold yang diun­dang­kan pada 2008 adalah kecelakaan paling parah dalam sejarah perpo­litikan modern Indonesia. Itu diketok parlemen oleh syahwat kekuasaan yang dikiranya akan abadi, dengan dukungan Istana waktu itu Pak SBY menjelang Pilpres 2009, dinaikan dari ambang 10% di ketentuan tahun pemilu 2004. Anehnya, sekarang, rata-rata partai pengusul presidential threshold 20% dulu kini menjadi ‘korban’ dari apa yang mereka pernah putuskan.

Presidential threshold minimum 20% makin mempersempit peluang regenerasi pemimpin Indonesia berdasarkan sistem meritokrasi atau asas kemampuan. Batas yang terlalu tinggi pada seleksi Capres membuat masa depan negeri ini dikuasai oleh segelintir partai besar, atau dalam bahasa ekonomi oligopoli. Dalam konteks sekarang tiga partai teratas PDI Perjuangan, Partai Golkar dan Partai Gerindra menguasai 44,21% suara parlemen. Disitulah pertempuran antara PDI Perjuangan atau Ibu Megawati dengan Partai Gerindra dan Partai Golkar yang dua duanya tampak dikontrol oleh Pak Jokowi.

Dinasti Politik Pak Jokowi

Mau tidak mau, suka tidak suka urusan presidential threshold minimum 20% sudah terjadi. Tidak perlu meratapi. Yang bisa diakali adalah, sebuah cara untuk tetap memper­siapkan calon pemimpin dari sisi ketersediaan atau kepantasan sehingga mau tidak mau pemilik tiket capres akan melirik dia. Mas Gibran dengan gebrakan di Solo dan AHY yang belum berpengalaman adalah dua contoh pilihan tersedia yang tersedia untuk mengisi potensi defisit pemimpin terbaik akibat dampak dari presidential threshold.

Deal Pak Jokowi dan Pak Prabowo untuk dukungan 2024, yang menyer­takan Mas Gibran sebagai klausul aset bersama untuk disiapkan men­jadi pemimpin masa depan sebetul­nya juga berpotensi menjadi jalan keluar bagi munculnya koalisi besar. Besar sekali. Yakni, PDI Perjuangan lah yang kemudian mengalah-se­suatu yang pernah dilakukan pada 1999-, dimana bisa saja dengan kinerja elektabilitas Pak GP yang tak kunjung membaik membuat status penugasannya dibatalkan dan diganti oleh Puan Maharani menjadi cawapres Pak Prabowo Subianto.

Bila skenario ini terjadi sistem de­mokrasi akan jauh lebih adil, karena pada saat itulah tiket pencapresan Anies Rasyid Baswedan yang selama ini tampak tersandera oleh pengaruh Pak Jokowi bisa diberikan. Tidak ada lagi partai yang akan diperiksa oleh Kejagung atau KPK bila terindikasi mendekat atau mendukung Anies. Pembuktian hal ini sudah sangat ba­nyak dan vulgar, misalnya bila meng­ikuti pernyataan Ketua Umum Partai Golkar setiap kali diperiksa oleh Ke­jagung dalam kasus minyak goreng.

Bila skenario itu tidak terjadi, ya sudah duel baratayuda akan berlan­jut di laga resmi Pilpres dimana po­tensi capresnya tetap saja dua saja, Pak GP versus Pak Prabowo. PDP Per­juangan memajukan Pak GP didampingi oleh beberapa pilihan mulai dari Yenny Wahid, Jenderal Andika Perkasa, Sandiaga S Uno, hingga Mahfud MD. Sebaliknya Pak Prabowo akan tampil bersama se­jumlah alternatif Pak ET, Muhaimin Iskandar dan figur yang lebih se­dikit, dan bukan tidak mungkin Anies Baswedan masuk radar meski bila itu terjadi, dukungan Pak Jokowi akan mengendendur.

Setelah generasi boomers ini selesai entah oleh Pak Prabowo atau Pak Ganjar, maka tahun 2029 dan 2034 adalah era baru dimana gene­rasi baru sepantaran Mas Gibran, Mas AHY dan mungkin saja Pak Anies akan menjadi pilihan yang tersedia, disamping putra bangsa terbaik lain yang diharapkan muncul. Lebih baik lagi, bila para politisi boomers itu rela membuka presidential threshold, menurunkan jadi ka­takan lah 10% seperti 2004, sehing­ga proses sukses Pilpres akan lebih asyik dan berwarna serta rakyat men­dapatkan hak-haknya dengan calon lebih banyak dan berkualitas. Oleh: Muhammad Maruf Head of CNBC Indonesia Research dan Executive Director CNBC Indonesia Intelligence Unit (*)