PEMERINTAH baru saja menerbitkan Permenaker No 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Permenaker itu mengganti Permenaker No 19/2015 dan sebagai tindak lanjut dari PP No 15/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT sebagaimana diubah melalui PP No 60/2015. Dalam permenaker tersebut, dana JHT dicairkan ketika pekerja mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, dan meninggal dunia. Permenaker baru itu mendapat protes dari masyarakat. Sejumlah pihak mendesak kebijakan itu dicabut atau dibatalkan. Poin yang menjadi sorotan masyarakat sebetulnya hanya terkait dengan pencairan dana JHT ketika mencapai usia pensiun. Permenaker itu mengatur dana JHT bisa dicairkan sekaligus ketika peserta berusia 56 tahun. Artinya, seseorang yang berhenti bekerja, dalam usia berapa pun, baru bisa mencairkan JHT pada usia 56 tahun. Hal itu dinilai menyulitkan peserta yang membutuhkan dana ketika kehilangan pekerjaan atau pendapatan sebelum usia 56 tahun. Dana JHT tidak bisa digunakan walaupun dana tersebut milik peserta.

Kebijakan itu dinilai tidak memihak pekerja yang menjadi peserta. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya kita mendudukkan kebijakan ini? Paling tidak ada dua hal yang disorot; filosofi atau tujuan JHT dan posisi JHT dalam rangkaian perlindungan sosial.     Filosofi JHT Program JHT dirancang untuk memberikan perlindungan ketika seseorang memasuki masa tua atau masa pensiun, saat tidak lagi memiliki pendapatan. Karena itu, namanya jaminan hari tua. Secara filosofis, dana JHT merupakan persiapan untuk kebutuhan hidup ketika masa tua, yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial. Program JHT bukan tabungan biasa yang setiap saat bisa digunakan untuk kepentingan apa saja. Karena itu, pencairannya perlu diatur untuk menjamin seseorang memiliki dana yang disiapkan untuk masa tua. Program JHT diselenggarakan secara wajib untuk memastikan peserta tidak mengalami kesulitan finansial ketika masa tua. JHT juga berbeda dengan program pensiun.

Dana JHT dicairkan sekaligus, sementara dana pensiun dirancang agar seseorang memiliki pendapatan rutin bulanan. Kedua program itu dibutuhkan untuk menjamin seseorang mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya di masa tua. JHT dirancang agar ketika memasuki masa tua, seseorang memiliki dana tunai yang cukup yang bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Paling tidak, jika seseorang tidak mengikuti program pensiun, dana JHT ini bisa menjadi tumpuan. Perlu dipahami juga, Permenaker No 2/2022 bukan satu-satunya kebijakan yang mengatur pencairan dana JHT. Pencairan dana JHT juga diatur dalam Permenaker No 35/2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dalam Program Jaminan Hari Tua, yang kemudian diubah melalui Permenaker No 17/2021. MLT yang dimaksud ialah kebutuhan perumahan dan kebutuhan lainnya. Batas pencairan untuk kebutuhan perumahan mencapai 30% dari saldo JHT. Kebutuhan perumahan mencakup uang muka, KPR, dan renovasi. Sementara itu, pencairan untuk kebutuhan lain dibatasi hanya mencapai 10% dari saldo. Kebijakan manfaat layanan tambahan itu sejalan dengan tujuan JHT.

Perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya bisa direncanakan jauh sebelum pensiun. Artinya, ketika memasuki masa tua, seseorang sudah memiliki rumah. Porsi pencairan untuk perumahan cukup besar karena merupakan bagian dari persiapan untuk masa tua.

Bukan satu-satunya Kebijakan pencairan dana JHT ini sejatinya tidak dilihat secara sempit, program JHT an sich. Seakan dana JHT merupakan satu-satunya sumber dana bagi pekerja ketika menghadapi risiko dalam hidupnya. Karena itu, kebijakan itu sebaiknya dipahami secara proporsional. Dalam konteks perlindungan sosial, JHT bukan satu-satunya program perlindungan sosial bagi para pekerja. Indonesia memiliki sejumlah program perlindungan sosial, baik yang khusus untuk pekerja maupun masyarakat umumnya, baik melalui mekanisme asuransi sosial maupun bantuan sosial.

Baca Juga: Perlukah Booster Kedua?

Program perlindungan sosial khusus bagi pekerja ialah jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). JKP adalah jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Manfaat JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. JKP merupakan program baru yang menjadi bagian dari sistem jaminan sosial nasional bagi pekerja. JKP lahir sebagai pelaksanaan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang diatur secara rinci dalam PP No 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Sama seperti JHT, JKP diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan mekanisme asuransi sosial. Kalau JHT melindungi peserta ketika pensiun, JKP melindungi pekerja ketika masih bekerja.

Lahirnya JKP melengkapi program jaminan sosial bagi para pekerja. Karena itu, hadirnya JKP membuat JHT kembali ke khitahnya sebagai perlindungan di masa tua. Sebelum JKP lahir, dana JHT dijadikan sandaran utama ketika terjadi kehilangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam permenaker yang lama sehingga JHT bergeser dari tujuan awalnya. Bahkan, JKP memiliki keistiwewaan karena manfaatnya tidak hanya uang tunai, tetapi juga informasi pasar dan pelatihan kerja. Dua manfaat terakhir bertujuan memperpendek masa menganggur pekerja yang kehilangan pekerjaan. Di luar program tersebut, masih ada program lainnya melalui mekanisme bantuan sosial. Misalnya, kartu prakerja. Kendati program itu mengutamakan penganggur muda, dalam kondisi tertentu bisa bermanfaat bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Masih ada program bantuan sosial lainnya, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial pangan (BSP), program beras untuk keluarga sejahtera (rastra), dan bantuan pangan nontunai (BPNT).

Program-program seperti itu menyasar masyarakat umum, tetapi bisa juga dimanfaatkan pekerja yang kehilangan pendapatan. Dengan demikian, permenaker baru ini bukanlah kiamat bagi para kerja. Walaupun demikian, bagi pemerintah, kebijakan itu perlu didukung sinkronisasi program jaminan sosial untuk melindungi pekerja dari risiko sosial ekonomi yang dialami akibat kehilangan pekerjaan. Kebijakan baru itu juga perlu didukung upaya penciptaan lapangan pekerjaan. oleh: Ferdinandus S Nggao  Kepala Kajian Kebijakan Sosial Lembaga Managemen FEBUI