AMBON, Siwalimanews – Menyikapi konflik sosial Negeri Ori-Kariuw, Kecamatan Haruku, Kabu­paten Maluku Tengah yang sampai dengan saat ini be­lum tuntas, DPRD Maluku akan mem­bentuk panitia khu­sus (Pansus).

Menurut Ketua Ko­misi I DPRD Ma­luku, Komisi I DPRD Provinsi Maluku se­jak awal telah ber­sikap adil dan bijak­sana untuk permasa­lahan antara kedua negeri tetangga ini,  sehingga sampai saat ini belum ada keputusan yang final terkait permasalahan ini

“Tadi memang diusulkan untuk membentuk pansus maka kita akan sampaikan kepada pimpinan DPRD untuk dibentuk Pansus,” ujar Rumra kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Senin (14/2) merespon tuntutan masyarakat Pelauw yang meminta agar DPRD turun dan melihat langsung kondisi disana.

Dikatakan, komisi I dalam mengambil keputusan harus mendengarkan masukan dan informasi dari kedua belah pihak, baik Pelauw dan Kariu, karena itu masyarakat Pelauw tidak perlu khawatir jika komisi berpihak kepada golongan manapun.

“Saya tegaskan Komisi I tetap berdiri ditengah dan tidak berpihak kepada siapapun,” tegasnya.

Baca Juga: Penembak Misterius Beraksi di Hulaliu Jonas Tewas Seketika

Menurutnya, berdasarkan penjelasan masyarakat Pelauw ternyata tidak ada permasalahan jika masyarakat Kariu kembali di Negeri, tetapi harus dilakukan secara baik dengan melihat akar permasalahan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Terkait dengan sepuluh poin tuntutan yang disampaikan, Rumra menegaskan, jika pihaknya akan melihat poin-poin tersebut dan nantinya dikoordinasikan dengan minta pihak terkait baik Pemprov Maluku maupun kepolisian.

Adapun sepuluh poin yang menjadi tuntutan masyarakat Pelauw diantaranya, pertama, mendesak Kepolisian Daerah Maluku untuk mengusut tuntas kasus penembakan tiga warga Pelauw yang meninggal dunia, dan tiga orang luka tembak serta satu orang anggota Polsek Pulau Haruku.

Kedua, mendesak kepolisian daerah Maluku untuk menangkap dan mengusut tuntas saudara Stevi Leatomu, Bernadus Leatomu dan Stefanus Leatomu yang diduga sebagai aktor intelektual dibalik konflik Ori Pelauw- Kariu.

Ketiga, mendesak Kepolisian Daerah Maluku untuk mengusut tuntas oknum-oknum masyarakat Kariu yang melakukan penembakan terhadap pohon cengkih, pala, durian dan pembakaran rumah Hutan sepanjang hutan warga Ori, serta usut tuntas kasus pengrusakan situs sejarah Uwa Ruak.

Keempat, mendesak Kepolisian Daerah Maluku untuk menyita senjata api dan menangkap warga Kariu yang memiliki senjata api organik yang digunakan untuk menembak warga Pelauw.

Kelima, menyeruhkan kepada Pemerintah Provinsi Maluku untuk bekerjasama dengan Pemkab Maluku Tengah agar skema penye­-lesaian masalah hak ulayat tanah Pelauw melalui penyelesaian adat.

Keenam, meminta kepada semua pihak yang tidak berkepentingan dan tidak tahu menahu dengan akar permasalahan konflik untuk diam dan tidak ikut campur. Biarlah diselesaikan sendiri oleh warga Ori dan Kariu.

Ketujuh, mengembalikan batu keramat pada lokasi situs asasi mahua yang dihilangkan oleh warga Kariu. Kedelapan, proses rekonsiliasi, rekonstruksi dan rehabilitasi Kariu kembali atau tidak harus memperhatikan aspirasi masyarakat Pelauw.

Kesembilan, menuntut DPRD Provinsi Maluku melakukan peninjauan lapangan terhadap hak ulayat Negeri Pelau.

Demo di DPRD

Sebelumnya, ratusan warga masyarakat Negeri Pelauw meminta, Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Maluku untuk memberikan keadilan dalam menyelesaikan konflik sosial antara Negeri Kariu dan Dusun Ori, Negeri Pelauw.

Pantauan Siwalima, ratusan warga Pelauw ini tiba di Baileo Rakyat Karang Panjang pukul 09.00 WIT dan langsung melakukan orasi yang pada pokoknya meminta, agar pemerintah daerah maupun DPRD dapat berlaku adil dalam melihat persolaan ini.

Setelah menyampaikan orasi,  masa aksi pung diterima langsung oleh pimpinan Komisi I DPRD Provinsi Maluku dan melakukan audiensi guna mendengar tuntutan masyarakat Pelauw secara jelas.

Tokoh masyarakat, Mat Salampessy dalam penjelasanya mengatakan, persoalan yang terjadi telah didesain sejak zaman pemerintahan kolonial dan puncaknya pada tanggal 26 Januari lalu.

“Persoalan ini adalah rekayasa yang dilakukan pemerintah kolonial yang buahnya dipetik bersama saat ini,” ujar Salampessy.

Dijelaskan, dalam kaitan dengan konflik tersebut masyarakat Pelauw juga sebagai korban seperti tanaman cengkih dan pala yang dirasakan oleh oknum-oknum tertentu sehingga penyelesaian harus dilakukan secara adil, tanpa berpihak kepada kelompok manapun.

Tak hanya itu, masyarakat Pelauw juga menjadi korban dari adanya penyerobotan tanah dan pengrusakan situs sejarah batu keramat dan batu pamali yang selama ini telah menjadi tempat masyarakat Pelauw melakukan adat istiadat.

Bahkan, persoalan yang selama ini terjadi terkait dengan penetapan batas tanah yang terjadi sejak tahun 2016 lalu, belum juga diselesaikan oleh Pemerintah Kabupaten maupun daerah termasuk Mendagri.

“Kami juga menyayangkan terhadap tanah ulayat yang sejak 2016 telah diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri, gubernur dan bupati dalam menetapkan tapal batas tapi sampai saat ini belum terselesaikan,” tegasnya.

Karena itu, Salampessy berharap, penyelesaian konflik sosial yang terjadi harus dilakukan dengan kajian yang mendalam serta menjunjung tinggi keadilan agar tidak ada yang dirugikan dalam keputusan yang nantinya diambil pemerintah.

Sementara itu, PLT Ketua DPD Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Pelauw (HIPMAP) Yani Salampessy mengatakan, sejak konflik terjadi pihaknya terus mengadvokasi masyarakat agar dapat menahan diri dan hal itu telah dilakukan.

“Seluruh proses yang terjadi baik sebelum hingga saat ini kita taat hukum mendengarkan perintah untuk tenang dan telah dilakukan,” jelasnya.

Namun, persoalan ini memuncak ketika terjadi riak-riak pada tanggal 8 Pebruari agar dilakukan demonstrasi, tetapi pihaknya terus berkomunikasi untuk meminimalisir potensi konflik akibat kemarahan masyarakat Pelauw, hingga akhirnya memuncak pada hari ini dilakukan demonstrasi.

Menurutnya, Pemerintah Daerah harus menunda pembangunan rumah sebelum Pemerintah Daerah menyelesaikan akar permasalahan antara kedua negeri, artinya sebelum rekonsiliasi Pemda harus tuntaskan permasalahan.

Masyarakat Pelauw pada prin­-sipnya tidak menolak dibangunnya kembali rumah masyarakat Negeri Kariu tetapi proses hukum dan penyelesaian­nya harus dilakukan secara adil dan berimbang. (S-20)