Korupsi saat ini sudah menjadi trend dimana-mana. Yang melakukan korupsi pun sudah tidak mengenal kelas dan strata lagi. Mulai level menteri sampai ke kepala desa.

Perilaku korup memang sudah menggurita dan sudah menjadi kanker ganas yang susah disembuhkan.

Bicara korupsi, wakil rakyat produk pemilihan umum di  era reformasi berperilaku korup bukanlah berita baru. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, setiap hari ruang publik dijejali dengan berita korupsi yang dilakukan anggota DPR/DPRD.

Mengakhiri tahun 2021, publik  di Ambon dikejutkan lagi dengan berita terbaru, dan itu membuat masyarakat kecewa. Ternyata perilaku korup para legislator tidak dilakukan oleh sebagian kecil atau oknum, tetapi perilaku tersebut telah menjadi kekuatan mayoritas mutlak.

Dalam konteks seperti ini, patut dipertanyakan dan dipastikan ada yang salah ketika lembaga legislatif menjadi korup. Mengapa lembaga legislatif bisa menjadi sarang korupsi?

Baca Juga: Pengaruh Sasi Terhadap Putusan Pengadilan

Bukankah keberadaannya dalam sistem tata pemerintahan salah satu fungsinya yakni melaksanakan pengawasan terhadap eksekutif atau pemerintah?  Inilah ironi sekaligus paradoks lembaga legislatif pada era reformasi.

Ibarat pepatah “pagar makan tanaman”. DPRD Kota Ambon tidak tanggung-tanggung melibatkan seluruh pimpinan dalam kasus dugaan penyalahgunaan anggaran tahun 2020.

Padahal mestinya, 35 anggota DPRD Kota Ambon itu menjadi penyuara paling keras ketika terjadi korupsi di eksekutif dan yudikatif. Legislator itu pilihan rakyat, mempunyai “gelar” terhormat dan mestinya diisi oleh orang-orang terbaik.

Sayangnya, peran 35 anggota di bidang pengawasan lemah. Dari hasil pemeriksaan BPK, diketahui ada tujuh item temuan yang terindikasi fiktif. Adapun nilai keseluruhan temuan itu kalau ditotal berjumlah Rp5.293.744.800, dengan rincian sebagai berikut, belanja alat listrik dan elektronik (Lampu Pijar, Batrei kering) terindikasi fiktif sebesar Rp425.000.0001, belanja pemeliharaan peralatan dan mesin terindikasi fiktif sebesar Rp168.860.000 dan belanja peralatan kebersihan dan bahan pembersih yang terindikasi fiktif sebesar Rp648.047.000.Selain itu BPK juga menemukan belanja rumah tangga yang terindikasi fiktif sebesar Rp690.000.000 dan belanja alat tulis kantor terindikasi fiktif sebesar Rp324.353.800.

Ada juga belanja cetak dan pengadaan yang terindikasi fiktif senilai Rp358.875.000, serta belanja makanan dan minuman Sekretariat DPRD yang terindikasi fiktif senilai Rp2. 678.609.000.

Rakyat hanya berharap, aparat penegak hukum dalam hal ini Kejari Ambon mengusut kasus ini sampai tuntas. Kepercayaan rakyat hilang. Padahal rakyat memilih, karena yakin wakilnya di DPRD Kota Ambon akan memperjuangkan nasib rakyat.

Jangan jadikan rakyat habis manis sepah dibuang. Didekati hanya saat jelang pemilu. Setelah berhasil mendulang suara rakyat, wakil rakyat dengan tega mengkhianati rakyat. Tindakan korupsi adalah salah satu pengkhianatan terbesar. (**)