DPRD Janji Awasi Semua Proyek SMI
Air Bersih Haruku Mangkrak
AMBON, Siwalimanews – Pasca menuai kritik ma-syarakat terkait mangkraknya proyek air bersih Pulau Haruku, DPRD berjanji akan serius melakukan pengawasan dan terhadap setiap sen uang rakyat yang dikeluarkan.
Komisi III DPRD Provinsi Maluku mengingatkan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Maluku untuk menghadirkan kontraktor dan PPK di semua proyek yang dibiayai oleh pinjaman PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dalam proses pengawasan yang akan dilakukan, Senin (7/6) ini.
Pernyataan ini disampaikan langsung Ketua Komisi III DPRD Provinsi Maluku, Richard Rahakbauw, saat melakukan rapat kerja bersama Kepala Dinas PUPR Maluku, Muhamat Marasabessy, Jumat (4/6) dalam rangka pengawasan terhadap proyek infrastruktur.
“Kita minta pak kadis untuk menghadirkan semua kontraktor dan PPK pada proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman SMI,” ujar Rahakbauw.
Menurutnya, kontraktor dan PPK perlu dihadirkan dalam rangkaian pengawasan proyek pembangunan dengan menggunakan uang daerah agar ketika komisi ketika melihat masalah langsung, dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Baca Juga: Kemendagri Ingatkan Maluku Jangan Bergantung Minyak dan GasKomisi III, kata Rahakbauw ingin memastikan pengerjaan proyek infrastruktur sesuai dengan rencana pembangunan, sehingga dapat mensejahterakan masyarakat.
Rahakbauw mengaku saat ini pihaknya belum dapat mengambil tindakan apapun, karena belum melihat kenyataan di lapangan.
Apalagi, batas waktu pengerjaan proyek pembangunan infrastruktur tersebut akan berakhirnya masih tanggal 31 Juni mendatang.
Dalam rapat tersebut, semua anggota Komisi III juga meminta kepada Kadis PUPR untuk menyerahkan daftar rincian proyek pengerjaan infrastruktur agar dapat dipergunakan untuk mengawasi secara ketat pengerjaan proyek-proyek dimaksud.
“Saya pastikan Komisi III akan melakukan pengawasan ketat terhadap semua proyek SMI,” tutur Rahakbauw.
Nantinya, komisi akan melihat pekerjaan yang dilakukan, artinya bila terdapat persoalan yang sengaja dilakukan maka komisi akan meminta pihak kontraktor untuk segera menyelesaikan.
Namun jika kontraktor tidak melakukan rekomendasi dari komisi, tambahnya maka komisi akan menyerahkan persoalan tersebut kepada proses hukum.
“Saat rapat evaluasi dengan merekomendasikan perbaikan di lapangan, kalau tidak didengar oleh mitra maka kita akan proses hukum,” janji dia.
DPRD Harus Bersikap
Akademisi Fisip Unpatti, Paulus Koritelu mengatakan, sebagai representasi rakyat Maluku sebenarnya DPRD harus segera memanggil eksekutif dalam hal ini Dinas PUPR dalam kaitan dengan persoalan proyek bermasalah yang dibiayai dana pinjaman PT SMI.
“Sebagai representasi rakyat, sebanarnya mereka harus panggil pihak eksekutif termasuk PUPR untuk menanyakan apa dan di mana problemnya,” ungkap Koritelu.
Menurutnya, jika DPRD memanggil Dinas PUPR, sebenarnya merupakan hal biasa saja dalam hal menjalankan tugas pengawasan dan bukan istimewa, sehingga pemanggilan itu dapat dilakukan.
Koritelu menegaskan DPRD Maluku harus berani untuk memanggil karena ini berkaitan dengan anggaran miliaran rupiah yang diduga bermasalah dan merugikan keuangan daerah.
Menurutnya, jika DPRD tidak berani memanggil, maka jangan salahkan kalau publik curiga dan bertanya-tanya, apalagi fenomena ketidakpercayaan masyarakat semakin bertambah kepada lembaga yang terhormat itu.
Ditambahkan, bila masyarakat tidak percaya dengan eksekutif, itu merupakan hal biasa karena tugas eksekutif melayani masyarakat. Tetapi jika kepercayaan terhadap DPRD tidak ada, maka hal itu akan berpengaruh terhadap fungsi dan tugas mereka.
Dihubungi terpisah, praktisi hukum Fistos Noija mengatakan, proyek infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah harus dapat mensejahterakan masyarakat tetapi faktanya proyek tersebut tidak dapat dirasakan dan justru merugikan masyarakat.
Karena itu, DPRD Provinsi Maluku harus dapat bersuara ketika terjadi persoalan yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur bukan sebaliknya berdiam diri dan mentup mata.
Menurutnya, DPRD dipilih oleh masyarakat sehingga harus memperjuangkan kepentingan masyarakat, apalagi hal ini berkaitan dengan kerugian keuangan daerah.
“DPR itu kan dong seng pernah melamar atau iko tes untuk disitu tapi karena masyarakat, jadi kalau ada masalah seperti ini dong seng bisa diam dan tutup mata,” tegas Noija.
Menurutnya, DPRD harus berani untuk mempertanyakan persoalan ini kepada PUPR, jangan sampai menimbulkan permikiran lain terhadap lembaga itu.
Sementara itu, aktivis Lembaga Pemantauan Penyelenggaraan Negara RI, Minggus Talabessy menegaskan, DPRD memiliki fungsi lain seperti anggaran dan juga pengawasan, sehingga menjadi tanggung jawab DPRD untuk melihat hal ini.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan, kata Talabessy sebenarnya DPRD sudah harus mengetahui bahwa ada proyek yang bermasalah karena itu secara jelas merugikan daerah miliar rupiah.
Karena itu, DPRD seharusnya dengan inisiatif sendiri harus memanggil Dinas PUPR untuk menanyakan supaya bisa diketahui personal, bukan setelah ada desakan dari masyarakat dahulu.
Mangkrak
Seperti diberitakan, Tahun 2020 lalu, Dinas PU Maluku merancang proyek Air Bersih di Pulau Haruku, yang tersebar di beberapa desa, seperti Kailolo, Pelauw, Rohomoni, Aboru dan Wasu.
Anggaran yang disiapkan pun tak tanggung-tanggung.
Seperti dilansir laman www.lpse. malukuprov.go.id, pagu proyek tersebut sebesar Rp. 13 miliar, yang bersumber dari pinjaman PT SMI.
PT Kusuma Jaya Abadi Construction, ditetapkan sebagai pemenang lelang, dengan nilai Rp. 12.483.909. 041.36.
Sesuai kontrak, seluruh item pekerjaan harus mulai dilaksanakan tanggal 3 Desember 2020 dan berakhir pada 31 Desember 2020. Kontraktornya sendiri sudah diberi uang muka, sebelum kerja sebesar 20 persen.
Tak cukup sampai di situ, mereka kemudian diberi tambahan dana sebesar 30 persen, sehingga total menjadi 50 persen. Betul-betul aneh. Sebelum bekerja apa-apa, kontraktor spesial ini sudah diberi modal Rp. Rp. 6,2 miliar.
Bahkan belum lama ini, sang kontraktor juga sudah mencairkan termin 75 persen, sebesar Rp. 3.120. 997.250.
Sumber Siwalima di Pemprov Maluku mengatakan, pencairan tersebut dilakukan pada tanggal 17 Mei 2021.
Termin 75 persen baru dicairkan sebelum lebaran, tanggal 17 Mei,” kata sumber yang minta namanya tidak ditulis itu.
Dengan demikian, hingga saat ini tercatat sudah Rp. 9,3 miliar yang digelontorkan Pemprov untuk membiayai proyek mangkrak ini.
Sesuai pantauan lapangan, fisik proyek yang sudah selesai dikerjakan, tidak lebih dari 25 persen.
Detail Kerja
Sesuai kontrak, kontraktor diharuskan mengerjakan dua sumur di Kailolo, dua sumur di Pelau dan dua sumur lainnya di Namaa dan Naira.
Dua lokasi yang sudah ditetapkan sebagai lokasi penggalian sumur di Kailolo terletak di kompleks Sekolah Dasar dan di dekat Kramat.
Dua sumur lain yang digali di Kailolo juga belum selesai dikerjakan dan hanya berbentuk lubang pengeboran yang ditutup karung plastik.
Selain sumur, kontraktor juga diharuskan membangun dua bak penampung yang masing-masing berkapasitas 100M3. Namun hingga kini hanya ada satu bak penampung yang dibangun, itupun masih belum rampung pengerjaannya.
Di Pelauw, titik penggalian sumur ada di belakang kantor Camat Pelauw, dimana kontraktor hanya menggali sumur yang belum selesai dikerjakan. Sedangan dua bak penampung yang berkapasitas 100M3, sama sekali belum dibangun.
Dari pantauan di lapangan, diketahui kegiatan pengerjaan sudah lebih dari satu bulan terhenti. Beberapa warga desa yang ditemui Siwalima Selasa (25/5) mengaku kalau seluruh tukang yang mengerjakan proyek tersebut sudah pulang sebelum bulan puasa lalu.
Diakui Camat
Sekertaris Camat Pulau Haruku, Ali Latuconsina yang dikonfirmasi Siwalima membenarkan proyek air bersih di Pulau Haruku khususnya di Pelauw dan Kailolo belum selesai dikerjakan.
“Kalau untuk pengeboran sudah selesai, tetapi kalau pekerjaan lanjutan belum selesai, panel surya bak penampung itu belum dikerjakan, mesin pompa belum dilaksanakan,” jelas Latuconsina kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (26/5) lalu.
Menurutnya, proyek air bersih di Pulau Haruku dikerjakan tidak ada papan proyek, sehingga pekerjaan yang sudah harus diselesaikan namun belum diselesaikan.
“Ini dari akhir tahun lalu, mestinya sudah harus selesai sehingga masyarakat sudah bisa manfaatkan tetapi belum. Para pekerja dari luar dan mereka sudah pulang di sebelum puasa, dan belum balik. Sehingga belum ada pekerjaan lanjutan,” ujarnya.
Ia berharap, pekerjaan proyek air bersih ini bisa diselesaikan dan masyarakat bisa memanfaatkan.
“Harapan besar proyek ini harus segera dilanjutkan dan diselesaikan biar masyarakat bisa memanfaatkan proyek ini,” jelasnya singkat.
Perintah Atasan
Sementara itu, petugas lapangan PT Kusuma Jaya Abadi Construction, Sadly mengakui adanya perintah atasan untuk tidak menceriterakan soal pekerjaan dan pencairan anggaran 75 persen, sekalipun pekerjaan belum selesai.
“Kalau itu saya tidak memiliki kewenangan menjawab karena itu instruksi dari atasan saya juga, mungkin nanti saya konfirmasi dulu baru bisa menjawab,” ujar Sadly saat dikonfirmasi Siwalima, Senin (31/5) melalui telepon selulernya.
Ditanya, soal tidak adanya lagi peralatan untuk kelanjutan pengerjaan proyek, Sadly berdalih jika semua peralatan masih ada, namun karena adanya larang mudik sehingga semua pekerja kembali ke Jawa.
“Semua peralatan masih ada pak, karena terkait masalah larangan mudik kita pulang dulu,” cetusnya.
Ketika ditanya soal adanya tekanan kepada Dinas PUPR guna mencairkan anggaran, Sadly menegaskan bukan menjadi kewenangannya untuk menjelaskan
Saya tidak memiliki kewenangan untuk menjawab itu pak nanti dari pihak perusahaan,” ujar Sadly.
Pola Lama Korupsi
Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Unpatti, John Pasalbessy mengatakan, persoalan mangkraknya proyek air bersih Pulau Haruku sebenarnya merupakan pola-pola korupsi yang terjadi di Maluku.
“Beta punya penelitian kemarin itu menemukan kurang lebih 19 pola korupsi termasuk seperti yang dilakukan dengan proyek pembangunan sarana dan prasarana air bersih di Pulau Haruku,” ungkap Pasalbessy.
Katanya, pola korupsi seperti ini biasanya dari sisi pelaku sebenarnya menunjukan keterlibatan antar orang itu banyak disitu. Dalam hal terjadi personal seperti ini maka yang paling bertanggungjawab ialah Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai pihak yang memberikan proyek sebab proses tender telah berjalan hingga pembayaran 75 persen.
Dinas PUPR, tambah Pasalbessy seharusnya lebih selektif dalam proses pencairan karena berkaitan dengan uang negara, sehingga pencairan dana itu harus sesuai dengan syarat dan peraturan yang berlaku.
“Kalau seandainya mencapai 75 persen sementara proyek sudah sama sekali tidak jalan maka itu jadi pertanyaan ini asal kasih uang tapi tidak pernah melihat fakta di lapangan ini repot,” tegasnya.
Pasalbessy lantas mempertanyakan keberadaan PPK dari Dinas PUPR Maluku yang gagal melakukan pengawasan, sebab pencairan hingga 75 persen harus diikuti dengan bukti perkejaan di lapangan seperti apa jangan hanya percaya.
“Ini sudah jelas ada indikasi kerja sama antara pemberi dana dan penerima dana,” terang Dekan FH UKIM Ambon in.
Pasalbessy menambahkan secara administrasi, Dinas PUPR Maluku harus bertanggungjawab karena mengucurkan dana tanpa ada melihat kondisi di lapangan.
Terkait dengan aturan hukum, Pasalbessy menjelaskan dalam kaitan dengan kasus ini perlu dicari siapa pelaku, dari sisi pasal 55 KUHP dengan ajaran turut serta melakukan.
“Kita harus melihat siapa pelaku utama, siapa yang membantu dan turut serta, saya pikir penyidik tahu dan pintar soal itu, karena tidak sembarang kasus bisa terjadi seperti ini,” bebernya. (S-50)
Tinggalkan Balasan