Dimensi Hukum Penanganan Covid-19
PENULARAN Covid-19 terus meningkat. Hampir setahun sejak kasus positif pertama di Indonesia diumumkan pada awal Maret 2020, belum ada tanda-tanda kurva melandai. Publik seperti dihadapkan pada ketidakpastian langkah-langkah pemenuhan hak atas kesehatan. Bahkan pemerintah mulai meragukan kebijakan sendiri. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menggantikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai tidak efektif menghentikan laju penularan. Situasi ini bermakna bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum berhasil.
Sejauh ini sudah banyak peraturan dan kebijakan mengenai Covid-19, antara lain Instruksi Presiden No 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan pandemi korona (Covid-19); Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden No 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana nonalam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional, Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Selain itu ada Keputusan Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Pencepatan Penanganan Covid-19, Keputusan Presiden No 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Ada juga Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Permenkes No 9 Tahun 2020 yang secara spesifik mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan yang di antaranya mengatur kebijakan tentang mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker, dan terakhir Instruksi Menteri Dalam Negeri No 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Melihat ketentuan di atas, sudah banyak peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Pertanyaannya, mengapa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat? Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa substansi dan struktur hukum tersebut belum berjalan efektif dan belum mampu menjadi sarana pengubah perilaku masyarakat.
Hukum Pengubah Perilaku
Baca Juga: Bencana Alam, Pandemi, dan Urgensi Perbaikan EkosistemRoscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence, mengatakan bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti dipahami sebagai suatu proses (law in action) yang sama sekali berbeda dengan hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19 semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-norma tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan lembaga kemasyarakatan.
Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan tersebut ada 3 (tiga), pertama, public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara hakikat negara dan menjaga kepentingan sosial. Kedua, kepentingan perseorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan kepentingan dalam rumah tangga. Ketiga, kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum, kemajuan sosial, dan kehidupan individu.
Kepentingan penanganan Covid-19 dengan merujuk pemikiran Pound sudah sangat memadai dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial, dan negara. Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga masyarakat untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perseorangan di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering)
Persoalannya perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk menaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktivitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.
Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semestinya, harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya. Biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.
Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat, menurut Soerjono Soekanto, ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat memengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.
Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.
Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang memengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.
Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi di dalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi-pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting menaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini: tidak fokus pada pokok masalah, bersifat sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat atau bahkan pemerintah sendiri.( M Syafi’ie, Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta)
Tinggalkan Balasan