SUDAH setahun kita menghadapi pandemi covid-19, dan tampaknya, belum akan segera berlalu. Sudah banyak yang dilakukan pemerintah. Dari skema bantuan sosial, kebijakan PSBB, pembentukan satuan gugus tugas penanganan covid-19, dan pengendalian stabilitas keuangan negara. Para tenaga kesehatan pun, telah berjibaku siang malam tanpa memedulikan lagi nyawa yang menjadi taruhannya. Salut buat mereka setinggi-tingginya. Pada titik ini, kita benar-benar berharap agar krisis ini segera berlalu dan ekonomi pulih kembali. Kerja media dan pers pun tak henti-hentinya mendiseminasikan informasi tentang pentingnya penanganan pandemi. Ia adalah bagian dari power of dissemination. Dengan itu, kita menjadi tahu tentang apa dan bagaimana seharusnya menghadapi wabah. Pengetahuan itu adalah kekuatan, dan sejauh ini media telah memberi kontribusi pengetahuan yang luar biasa sebagai kekuatan untuk melawan covid-19.

Merawat Optimisme Meski pandemi belum berlalu, kita tidak boleh putus asa. Pertama, kita mesti merawat optimisme dan menjaga semangat piskologis, dengan tetap melakukan pencegahan secara konsisten dan kontinu. Turbulensi yang diakibatkan pandemi dan ketidakpastiannya masih perlu ditangani dan memerlukan formulasi penanganan yang jitu. Kita tidak boleh lengah dan menyepelekan. Di mana ada usaha, di situ ada jalan. Begitu nasihat orang-orang bijak. Karena itu, kita wajib memastikan kesinambungan usaha yang dilakukan sampai paripurna, dan keluar sebagai pemenang dalam peperangan melawan pandemi. Jangan kendor sedikit pun. Optimisme tentang Indonesia hebat, tak sedetik pun luntur karenanya. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan. Kita harus menang melawan pandemi. Indonesia pasti menang. Kedua, diperlukan langkah-langkah di level mikro khususnya berbasis komunitas. Sebab, bukan hal yang kebetulan kalau bangsa kita ini memiliki budaya ‘kekitaan’.

Keterujian kita dalam komunitas, dibuktikan eksistensi kultural dan penyelesaian-penyelesaian kebangsaan secara bersama. Budaya kolektivitas ini telah mumpuni oleh tantangan zaman. Peristiwa Sumpah Pemuda, perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda, dan Proklamasi Kemerdekaan, lahir dari rasa persatuan. Adapun ikatan persatuan itu lahir dari budaya kolektivisme. Potensi untuk melawan dan menyingkirkannya itu ada, serta hadir di dalam kekuatan komunitas. Eksistensi komunitas, merepresentasikan wajah bangsa, presentasi diri, aktualisasi kelompok, kekerabatan-kekeluargaan, kerukunan-keguyupan dan ikatan-persaudaraan. Keterikatan itu mewujud dalam berketetanggaan, ketokohan mikro komunitas, lokalitas sosio kultural. Semua nilai berharga itu menjadi nafas kehidupan dan akar budaya yang akrab bagi kehidupan dari anak-anak, remaja hingga orangtua.

Komunitas melawan covid-19 dengan pendekatan kultural merupakan strategi yang menekankan bicara dari hati ke hati, dan kebersamaan. Manifestasi budaya semacam ini tampak dalam aktivitas keseharian seperti ibu-ibu PKK, arisan kampung, kelompok tani, dll. Kekuatan-kekuatan dalam komunitas dapat digunakan untuk menurunkan penularan covid-19. Dalam komunitaslah, pengambilan keputusan ditempuh dengan kebersamaan. Pada saat yang sama, ada patronase yang menjadi anutan. Orang kunci yang dapat mempengaruhi dan diikuti formasi jaringan sosial dan kohesivitas kelompok menstruktur. Bahkan kadang ada militansi .

Dinamika komunitas tergambar dari siapa berkata kepada siapa, yang pada akhirnya melahirkan kelompok jaringan. Intensitas, frekuensi, persaudaraan dan kepercayaan berkembang di dalamnya. Artinya, di dalam komunitas, ada potensi dan kekuatan perubah, yang dapat memobilisasi kepatuhan,kedisiplinan. Peluruhan identitas pribadi dan komunitas, yang mengutamakan harmonisasi dan kebaikan bersama. Kekuatannya tampak, bila ada kebijakan, dan aturan yang sensitif apa pun, ketika masuk pembicaraan di komunitas, semuanya menjadi cair dan berkembang secara dialektis. Program vaksinasi yang ‘heboh’ dalam wacana publik yang panas, menjadi adem, ketika diserap dalam perbincangan komunitas dan melahirkan solusi yang cerdas dalam mensikapinya. Sehingga, menjadi program yang lebih mengena dan sukses. Karena itu, pendekatan struktural perlu mempertemukan pendekatan kultural.

Baca Juga: Peran Keluarga dan Elemen Masyarakat Dalam Minimalisir Pengulangan Tindak Pidana Oleh Anak

Saluran sosialisasi yang selama ini dengan pendekatan formal, sudah saatnya melibatkan komunitas sebagai kekuatan kultural. Tetua dalam komunitas menjadi jubir yang lebih humanis, handal dan kontekstual. Resonansi dan magnitude suara tentang pencegahan covid-19 lebih menyentuh. Perbedaan ditengahi dengan tenggang rasa. Adapun keputusan ditegakkan bersama penuh kekeluargaan. Dus, pemerintah menjadi terbantukan. Sebab, keterbatasan pengaruh pendekatan formal menjadi teratasi dengan kehadiran mereka. Ruang-ruang sosial yang tadinya tidak terjamah, teraliri keberadaan dan peran komunitas. Lahirlah single voice dengan konteks tepat. Ruang-ruang yang terisolasi menjadi tersambung dan lepas dari cengkraman keputusasaan dan harapan.

Dapat kita lawan Keberhasilan tujuan pencegahan penularan covid-19 ditandai ketercapaian pada dua hal, yakni pencegahan dan penanganan. Tetapi, dua hal itu harus dibangun di atas fondasi pengetahuan, kesadaran, kepatuhan, dan kedisiplinan. Dua di antaranya, yakni pengetahuan dan kesadaran, telah diwujudkan melalui kekuatan komunikasi. Khususnya, melalui saluran media dan pers. Adapun dua yang tersisa, yakni kepatuhan dan kedisiplinan, mari kita dorong dan percayakan pada kekuatan komunitas untuk tampil dan lebih berperan. Dengan mengedepankan sisi humanisme sosial setempat itu, pandemi dapat kita lawan. Selama ini, pendekatan yang sampai pada masyarakat masih lebih mencerminkan pendekatan formal dan struktural. Melalui pendekatan komunitas, kita harapkan ada lompatan besar melawan pandemi. Di sisi lain, pengakuan harus kita berikan, akan uniknya masyarakat Indonesia. Karakter dasar bangsa ini adalah welas asih.

Pendekatan yang menjunjung tinggi rasa dan etika akan melahirkan masyarakat yang pro aktif terhadap program-program pemerintah. Dalam falsafah Jawa ada sesanti “nguwongke uwong”. Agar setiap orang diberi ruang yang pantas sesuai harkat dan martabatnya. Ibarat tamu, ia harus disambut, didudukkan dan disajikan sesuai kepatutannya. Untuk itu, mari kita bangkitkan potensi komunitas dan tidak membiarkan realitas sosio kultural berjalan sendiri tanpa panduan yang dapat didesentralisasi perannya. Sinergisitas antara pendekatan struktural dan kultural perlu dirumuskan secara praktis, dengan terminologi yang sederhana.

Platform komunikasi ini mendorong komunitas memiliki kesadaran kolektif, dan aksi bersama untuk melawan pandemi. Semoga lebih efektif dalam mengubah perilaku melawan covid-19.( Widodo Muktiyo, Dirjen IKP Kominfo dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS Solo)