Dibalik Gagal Ginjal Misterius
Disaat kita gembira bahwa pandemi covid-19 sayup-sayup mendekati akhir, kita dikejutkan oleh merebaknya penyakit gagal ginjal akut (GGA) yang menyerang anak-anak.
Di Indonesia, penyakit misterius ini merebak dalam waktu singkat. Hingga 21 Oktober dilaporkan ada 241 kasus dengan 131 kematian, dan menimpa anak usia 1-5 tahun. Serangan kilat maut ini mencemaskan sehingga muncul desakan agar pemerintah menyatakan ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) agar bisa ditangani secara luar biasa pula.
Sebenarnya, gejala ini sudah terdeteksi oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta sejak Januari lalu, tetapi baru melonjak mulai Agustus. Yang perlu menjadi perhatian, menurut penjelasan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit ini baru terdeteksi massal di Gambia (Afrika Barat) dan Indonesia, juga muncul dalam jumlah sedikit di Bangladesh.
Saat menggelar jumpa pers (21/10), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Kemenkes telah melakukan berbagai pemeriksaan untuk mencari tahu penyebab merebaknya GGA ini. Hasil pemeriksaan, tidak ada bukti kuat yang disebabkan oleh infeksi patogen seperti virus, bakteri, dan parasit. Setelah dilakukan uji toksikolgi, ditemukan ada beberapa senyawa kimia berbahaya. Kemudian dilakukan pemeriksaan biopsi, yang juga mengonfirmasi bahwa kerusakan ginjal anak anak ini bisa disebabkan oleh paparan senyawa kimia tadi. Berdasarkan serangkaian pemeriksaan itu, Kemenkes meyakini bahwa penyebab GGA pada anak-anak ini ialah senyawa kimia berbahaya tersebut.
Sudah lama diizinkan
Baca Juga: Kesantrian yang Bersanding dengan KebangsaanSenyawa yang diyakini jadi biang keladi ini ialah etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), dan etilena glikol butil ether (EGBE). Ketika senyawa kimia itu mencemari senyawa propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang selama ini digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Dan, di pasaran banyak beredar merek obat batuk, flu, dan pereda panas yang berbentuk cair atau sirop. Maka, untuk sementara, calon ‘tersangka’-nya ialah obat batuk/flu sirop dan parasetamol sirop yang mengandung EG, DEG, dan EGBE. Atas dasar itulah Menkes kemudian melarang penggunaan obat cair dan sirop untuk sementara, sambil terus dilakukan penelitian lebih lanjut.
Di Gambia, yang menjadi awal munculnya kasus ini, dari puluhan anak yang terkena GGA dan meninggal, didapati sebelumnya memang minum parasetamol dan obat batuk sirup yang mengandung EG, produksi Maiden Pharmaceutical, India. Tampaknya ini pula yang kemudian menjadi acuan Kemenkes untuk melarang penggunaan obat cair dan sirop yang serupa. Kandungan EG, DEG, dan EGBE menjadi tersangka sementara karena belum ada penelitian dan penelusuran lebih mendalam tentang penyebab serangan massal gagal ginjal akut pada anak-anak ini.
Perlu diingat, obat-obatan yang beredar resmi di pasaran pasti sudah mendapat izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Izin itu didapat melalui serangkaian pemeriksaan pada proses produksi dan pengujian sampel dengan prosedur yang ketat, termasuk pengujian aspek keamanan. Setiap obat yang beredar resmi pasti mencantumkan kandungan bahan kimiawinya, dosisnya, indikasi dan kontraindikasi termasuk efek sampingnya. Ini adalah aspek transparansi tentang khasiat dan efek samping dari produk farmasi.
Jika obat sudah beredar lama dengan izin Badan POM, secara teoretis obat ini aman. Tentu saja, dengan catatan semua prosedur dijalani dengan ketat, tanpa malaadministrasi atau kelalaian, baik di level produksi, tahap pengujian, maupun tahap distribusi. Jika selama puluhan tahun aman saja, lantas mengapa beberapa obat batuk cair dan sirop ini sekarang ini tiba-tiba menjadi tersangka?
Kebijakan Kemenkes yang melarang sementara peredaran obat sirop yang mengandung ketiga senyawa kimia berbahaya itu bisa kita pahami sebagai langkah darurat pencegahan. Akan tetapi, apakah ketiga senyawa kimia yang sekarang menjadi ‘tersangka’ ini akan meningkat menjadi ‘terdakwa’, tentu saja memerlukan penelusuran dan penelitian yang lebih mendalam.
Bisa saja ketiga senyawa tadi bukan penyebab utama, tetapi menjadi pemicu terjadinya GGA, atau bersinkronisasi dengan faktor lain, yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Jika ketiga senyawa ini pemicu, hipotesisnya ialah pasien anak-anak itu sebelumnya sudah mengalami kondisi tertentu, tetapi belum terdeteksi sebagai GGA saat itu. Pemberian obat cair yang mengandung tiga senyawa tadi langsung memicu dengan cepat hingga pasien mengalami GGA.
Jika demikian yang terjadi, yang perlu segera diteliti ialah penyebab utamanya, yakni mengapa anak-anak bisa terkena penyakit GGA secara berjemaah.
Rapor apotek dunia
Merebaknya GGA pada anak-anak ini sebenarnya bukan kejadian pertama. Pada 2019, di wilayah Jammu, India, merebak penyakit yang semula dianggap misterius. Anak-anak yang batuk dan pilek diberi resep obat batuk sirop oleh dokter setempat. Bukannya sembuh, mereka malah sakit parah, muntah-muntah, demam tinggi, dan gagal ginjal. Tercatat 11 anak berusia 2 bulan hingga 6 tahun yang meninggal. Otoritas kesehatan setempat pun melakukan tes terhadap 4.444 pasien. Didapati ada tiga sampel obat batuk sirop yang dibuat oleh perusahaan farmasi India Digital Vision yang ternyata mengandung DEG, pelarut industri yang digunakan dalam pembuatan cat, tinta, dan minyak rem. Kesimpulannya, kasus gagal ginjal pada anak-anak di India ini karena menelan alkohol beracun DEG yang terdapat pada obat batuk.
Sejak 1972, lebih dari 70 orang, kebanyakan anak-anak, meninggal karena lima klaster keracunan yang diakibatkan oleh obat-obatan yang mengandung DEG. Pada 2013, raksasa farmasi India, Ranbaxy Laboratories, diperintahkan oleh pengadilan di AS untuk membayar denda sebesar US$500 juta (sekitar Rp7,5 triliun) setelah penyelidikan selama tujuh tahun.
Kematian massal akibat mengonsumsi obat-obatan yang terkontaminasi membuat industri farmasi India kembali menjadi sorotan setelah awal Oktober ini WHO menyatakan ada empat kematian di India yang diyakini terkait dengan kematian 66 anak di Gambia. Analisis laboratorium dari sampel sirop yang diproduksi oleh perusahaan obat Maiden Pharmaceuticals mengonfirmasi adanya kadar DEG yang melebihi ambang batas.
Kejadian ini menjadi citra negatif bagi India, yang selama ini oleh Perdana Menteri Narendra Modi dikampanyekan sebagai ‘apotek dunia’. India, seperti halnya Tiongkok, telah lama memiliki keahlian tradisional dalam pembuatan obat generik. Hal itu menjadikan India sebagai produsen obat murah yang tangguh dan pusat manufaktur farmasi global. Sebanyak 40% dan seperempat dari obat-obatan yang diedarkan di Inggris berasal dari India. Di luar Amerika Serikat, India memiliki jumlah fasilitas manufaktur farmasi terbanyak yang memenuhi persyaratan kesehatan dan keselamatan yang diakui oleh Food and Drug Administration (FDA), Badan POM-nya Amerika Serikat.
India menjadi salah satu produsen farmasi terbesar di dunia, memiliki sekitar 3.000 perusahaan yang mengoperasikan sekitar 10.000 pabrik farmasi yang menjual obat generik, vaksin, dan bahan-bahan obat dengan harga murah. Namun, ada sisi kelamnya. Menurut catatan resmi pemerintah, sepanjang periode 2007 hingga 2020, lebih dari 7.500 sampel obat dari tiga negara bagian tidak lolos uji dalam pemeriksaan kualitas dan diklasifikasikan sebagai obat yang ‘tidak standar’. Obat-obatan itu tidak lolos uji pemeriksaan karena tidak mengandung bahan kimia yang cukup, tidak bisa larut dalam darah pasien, atau terkontaminasi zat yang membahayakan. Anehnya, ribuan sampel obat yang tidak lolos uji pemeriksaan ini sebelumnya sudah dinyatakan sebagai obat ‘berkualitas’.
Setiap sampel yang gagal biasanya mewakili sekumpulan obat yang berpotensi menghasilkan ratusan ribu tablet, kapsul, dan suntikan. Menurut Dinesh Thakur, ahli kesehatan masyarakat yang juga mantan anggota dewan eksekutif sebuah perusahaan farmasi di India, jumlah pasien yang terkena dampak obat-obatan buruk seperti ini dalam dekade terakhir bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan.
Dengan gambaran ini, insiden kejadian GGA di Gambia, India, Indonesia, dan Bangladesh, untuk sementara mungkin bisa dikaitkan dengan lemahnya standar kualitas industri farmasi di India.
Dalam sebuah wawancara kemarin (23/10), Kepala Badan POM RI Penny K Lukito menjelaskan bahwa obat yang beredar di Indonesia tidak terkait atau bukan merupakan obat yang ditemukan di Gambia. Sampai sejauh ini pihak Badan POM mengungkapkan lima produk sirop yang mengandung EG/DEG di luar batas kadar yang ditentukan dan 133 obat yang tidak mengandung DEG/EG dan sudah terbukti aman. Dari kelima obat tersebut, 1 obat sirop diproduksi di Jakarta, 1 diproduksi di Jawa Tengah, dan 3 jenis lainnya diproduksi oleh perusahaan yang sama di Medan, Sumatra Utara.
GGA anak tidak lazim
Gagal ginjal akut pada anak memang sangat tidak lazim. Umumnya gagal ginjal menimpa populasi usia dewasa hingga lanjut usia terkait dengan semakin menurunnya fungsi organ vital tubuh. Penyebabnya ialah akumulasi bertambahnya usia, pola makan dan gaya hidup kurang sehat selama puluhan tahun, hingga muncul banyak komorbid. Jika GGA sampai menyerang usia anak anak yang sebenarnya organ-organ vitalnya masih bagus, ini jelas misterius dan patut menjadi perhatian serius.
Penyebab GGA sering karena multifaktor, terkait dengan komponen iskemik, nefrotoksik (racun yang merusak ginjal), dan septik (infeksi berat) yang bisa bersamaan, atau awalnya sendiri-sendiri kemudian bergabung bersamaan. Mekanisme patogenetiknya bisa tumpang-tindih.
Secara umum, multifaktor ini bisa disederhanakan menjadi tiga faktor utama, yaitu faktor pre-renal (sebelum ke ginjal), faktor renal (di dalam ginjal), faktor post-renal (setelah dari ginjal). Contoh faktor pre-renal ialah kondisi dehidrasi, perdarahan akut, gagal jantung akut, dan luka bakar luas. Contoh faktor renal seperti toksik atau keracunan, baik karena faktor endogen (misalnya dari peradangan masif, sepsis, penyakit autoimun yang sedang aktif, atau keracunan kehamilan), ataupun dari faktor eksogen seperti keracunan metil-alkohol dan etilena glikol. Adapun contoh faktor post-renal ialah sumbatan batu ginjal di pipa saluran kencing, pembesaran prostat, dan kanker saluran kencing. Kondisi kritis seperti sepsis sangat sering menimbulkan GGA, ditandai dengan demam dan peradangan pada banyak organ.
Berdasarkan penjelasan Menkes Budi Gunadi Sadikin, penyebab kasus GGA ini mengarah pada tiga senyawa EG, DEG, dan EGBE. Dasarnya dari berbagai pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis yang didukung pemeriksaan biopsi dan uji toksikologi. Jadi, sangat kecil ada kemungkinan penyebab lain seperti infeksi virus, bakteri, dan parasit. Berarti bukan karena faktor pre-renal dan post-renal, tetapi terutama mengarah ke faktor renal, yaitu ginjalnya keracunan, terpapar senyawa EG, DEG, dan EGBE. Persoalan seakan-akan dianggap sudah jelas.
Akan tetapi, benarkah demikian? Perlu dibuka kemungkinan ada penyebab lain. Di atas dijelaskan bahwa GGA bisa karena multifaktor. Bisa jadi ada kombinasi beberapa faktor yang saling menguatkan hingga kondisinya menjadi fatal. Bagaimana penjelasannya?
Sebagai pembuka, perhatikan suatu clue ‘minum obat penurun panas dan pereda batuk’. Sebelum minum obat, apakah pasien sudah mengalami radang saluran pernapasan, misalnya? Pernyataan Menkes menyebut ada serangkaian pemeriksaan klinis. Apakah ada kondisi spesifik tertentu yang memungkinkan penelusuran lanjut, misalnya pemeriksaan feritin (protein dalam darah yang mengandung zat besi)?
Kemungkinan terkait covid
Ada sebuah jurnal yang menyebut bahwa feritin sangat terkait dengan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang berlanjut hingga GGA, yang diakibatkan oleh infeksi covid-19. Di Inggris, kejadian ini disebut PMIS-TS (paediatric multisystem inflammatory syndrome temporally associated with covid-19). Ini terminologi baru untuk menyebut kondisi yang ditandai dengan demam dan peradangan pada banyak organ, yang dapat diduga terkait dengan GGA. Dilaporkan bahwa GGA memengaruhi hampir 40% pasien PMIS-TS dalam 48 jam pertama perawatan anak di ICU. Hyperferritinemia (kadar feritin yang berlebihan) secara signifikan terkait dengan kondisi GGA berat, dan anak-anak dengan kondisi GGA berat membutuhkan bantuan ventilator (alat bantu pernapasan).
Dalam kasus di Indonesia, pemeriksaan ISPA tentu sudah dilakukan dan mungkin lewat skrining pemeriksaan PCR SARS CoV-2, yang hasilnya negatif covid. Artinya ini tidak mengarah ke covid sebagai penyebab. Namun, perlu diingat, dalam berbagai laporan di jurnal internasional, PMIS-TS mungkin merupakan respons imun pasca-infeksi karena PCR positif jarang terjadi (hanya 16%). Namun, setelah dicek serologi, ternyata malah sering menunjukkan antibodi IgG (48%). Antibodi terhadap protein lonjakan SARS-CoV-1 telah ditunjukkan untuk menonjolkan peradangan. Oleh karena itu, GGA dalam pengaturan PMIS-TS bisa menjadi bagian dari sindrom inflamasi multisistem yang dipicu oleh tumpukan/deposit antibodi dengan kompleks imun di sel ginjal (deposit kompleks imun). Pada kasus di Indonesia, adakah kemungkinan false negative covid jika sudah dilakukan PCR SARS CoV 2? Maka, perlu kita dengar dari dokter penanggung jawab mediknya.
Laporan awal dari Tiongkok, yang kemudian juga dikonfirmasi oleh otoritas kesehatan di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa anak-anak tampaknya lebih jarang terkena covid-19, dan jika terkena tidak terlalu parah. Namun, sejak Maret lalu, di Inggris Raya, Eropa, dan Amerika Serikat (AS) mulai muncul laporan kejadian anak-anak yang mengalami peradangan yang tidak dapat dijelaskan, yang sangat mungkin karena terpapar covid-19. Dalam kasus di Indonesia, yang tampak jelas ialah ditemukan tiga senyawa setelah biopsi dan toksikologi dilakukan. Di Amerika Serikat, gejala ini disebut sindrom inflamasi multisistem pada anak-anak (MIS-C) di AS. Penjelasan tentang PMIS-TS dan MIS-C ini telah diterbitkan oleh Royal College of Pediatrics and Child Health (RCPCH) Inggris, juga oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS dan WHO.
Namun, apakah kejadian di Indonesia ada kemungkinan sama dengan kejadian di Inggris, AS, dan Tiongkok, yakni pasien anak-anak itu diduga terpapar covid-19? Perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan lain penyebab merebaknya GGA ini, apakah karena tiga senyawa berbahaya atau mungkin karena PMIS-TS atau MIS-C alias karena terkait covid-19. Perlu penelitian lebih mendalam untuk menguji kemungkinan ini. Analisis ini tentu hanya sebagai bahan pertimbangan sekiranya sesuai dengan kondisi klinis secara utuh. Bagaimanapun, semoga situasinya tidak sekompleks yang dibayangkan dan segera mereda. Oleh: Djoko Santoso Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam (konsultan ginjal hipertensi) FK Unair dan Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim (*)
Tinggalkan Balasan