Di Maluku Banteng vs Tedong
Jika penggunaan simbol hewan sebagai bentuk kritik yang dilayangkan kader-kader PDIP marak di Jawa, hal yang sama juga terjadi di Maluku. Wilayah Jawa ada ungkapan celeng, Maluku dikenal dengan tedong
Penggunaan simbol hewan tersebut digunakan untuk membentuk label. Cap atau label tersebut kemudian dapat membentuk wacana publik. Dalam politik itu wacana menjadi penting, karena akan digunakan untuk membangun persepsi publik di internal partai maupun eksternal
Kata tersebut juga sebuah adagium untuk pembanding kata banteng.
Kata banteng sendiri memiliki simbol kuat, berani dan kokoh. Sementara tedong memiliki simbol tidak memiliki pendirian sehingga hanya ikut-ikutan.
Artinya, dianggap hanya bisa mengikuti orang lain, tidak punya pendirian. Mantan Sekretaris PDIP Maluku, Bitsael Silvester Temmar dengan gamblang menyebut kader PDIP Maluku tidak lebih baik dari tedong.
Baca Juga: Jangan Timbulkan Ketakutan Bagi NasabahTemmar mengatakan hal itu karena punya alasan. Menurutnya situasi internal PDIP Maluku terpuruk lantaran tidak ada otokritik dari kader. Bagi Bupati KKT dua periode ini sebagai sesuatu yang sangat miris.
Katanya tidak ada otokritik sebagai akibat dari ketakutan yang berlebihan dari kader terhadap pemimpinnya. Kalau sudah takut mau jadi apa. Ibaratnya tedong dicucuk hidung dibawa kesana dan kemari.
Penggunaan simbol-simbol hewan ini sungguh sangat disayangkan. Manusia adalah makluk mulia, dan kader PDIP disebut dengan nama binatang masuk kategori penghinaan.
Tindakan memberi label tedong bagi kader PDIP Maluku justru menjadi bumerang. Disatu sisi, PDIP mendapat simpati masyarakat, disisi lain ada keuntungan yang diambil partai-partai lain untuk memperkuat barisan konsolidasi.
Bagi PDIP, Bito sudah tidak lagi di barisan, sebab yang bersangkutan telah dipecat oleh partai. Apapun label yang diberikan Bito, PDIP beranggapan itu hanya pendapat pribadi.
Sebab PDIP Maluku merasa selama ini mereka kerap melakukan otokritik. Bito sendiri tidak terbeban dengan penggunaan simbol hewan ditujukan ke PDIP. PDIP kata Bito bagian dari masa lalunya.
Tapi karena Bito pernah punya hubungan emosional dengan PDIP, dia tidak segan-segan untuk mengkritik partai itu. Bagi PDIP Maluku, pernyataan Bito tidak ada pengaruhnya. Rakyat Maluku sudah cerdas, karena itu penggunaan simbol-simbol hewan menjadi bahan lelucon. Tidak semua kader PDIP menerima pernyataan tedong. Tidak semua juga menyalahkan Bito.
Pilkada Maluku masih jauh. Perhelatan baru dilakukan 2024. Kader dan simpatisan PDIP menyebut terlalu dini menilai kinerja PDIP. Meskipun demikian, kita berharap PDIP dalam menentukan pilihan calon Gubernur Maluku kedepan merupakan sosok yang peduli dan mau mensejahterakan rakyat Maluku. (**)
Tinggalkan Balasan