AMBON, Siwalimanews – DPRD Provinsi Maluku melalui Pa­nitia Khusus Pengelolaan Pa­sar Mardika menilai, perjanjian kerja sama atau MoU antara Pemerintah Provinsi Maluku de­ngan Bumi Perkasa Timur cacat hukum.

Ketua Pansus Pasar Mardika, Richard Rahakbauw menjelas­kan, Pansus telah bekerja secara maraton dengan mengundang sejumlah pihak yang berkepen­tingan di Pasar Mardika, termasuk PT Bumi Perkasa Timur dan para pemilik SHGB.

“Dari penjelasan PT BPT mau­pun pemilik SHGB ruko Mardika, Pansus berada pada satu pemi­kiran yakni perjanjian kerja sama kedua belah pihak cacat hukum. Artinya dengan sendiri BPT tidak boleh melakukan tindakan apa­pun,” ungkap Rahakbauw saat diwawancarai Siwalima di Kantor DPRD, Kamis (22/6).

Bahkan, pemilik ruko peme­ga­ng SHBG mengakui jika ter­nyata mereka memiliki perjanjian di­bawah tangan terkait kepemilikan bangunan.

Pansus kata Rahakbauw, me­nolak perjanjian antara Pemprov dan BPT karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, seba­gaimana diatur dalam 1320 KUH­Perdata dimana ada empat syarat yakni, sepakat mereka yang mengikat diri, kecakapan mereka yang membuat kontrak, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Baca Juga: Polres Aru Kembali Ringkus Pemakai Narkoba

Kerja sama tersebut juga tidak sesuai dengan Permendagri No­mor 22 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah Dengan Daerah Lain dan Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga.

Lanjutnya sesuai Permendagri, perjanjian kerja sama yang dila­kukan oleh pemprov dengan  pihak ketiga apabila membebani masya­rakat, daerah dan belum diang­garkan dalam APBD tahun berjalan maka harus melalui persetujuan DPRD secara kelembagaan.

“Seharusnya sesuai meka­nisme draf perjanjian kerja sama diusulkan kepada pimpinan DPRD dan ditunjuk komisi terkait untuk melakukan pembahasan selanjut­nya dibawah ke paripurna, untuk pengambilan keputusan tapi ter­nyata perjanjian tidak melalui me­kanisme pembahasan,” bebernya.

Pansus pun berjanji akan mela­kukan pengawalan terhadap kerja sama yang telah dilakukan antara Pemprov dan PT Bumi Perkasa Timur dan harus batal demi hu­kum, sehingga tidak merugikan daerah maupun masyarakat.

“Kita akan bicarakan dengan Pem­prov dan Pemkot, tetapi yang pasti pansus juga mengingatkan Pemprov, Pemkot dan juga PT Bumi Perkasa Timur diingatkan un­tuk tidak melakukan tindakan apa­pun di pasar mardika,” tegasnya.

Tunggu Laporan Pansus

Wacana penggunaan hak angket oleh DPRD Provinsi Maluku ter­hadap persoalan Pasar Mardika menuggu laporan panitia khusus pengelolaan Pasar Mardika ke­pada pimpinan dewan.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Ma­luku, Melkianus Sairdekut kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (22/6) mengatakan, angket meru­pakan hak DPRD yang diberikan oleh undang-undang, artinya sah-sah saja jika hak itu digunakan.

Sesuai undang-undang, lanjut dia, pengajuan angket dapat dilakukan jika diusulkan minimal oleh 10 anggota atau lebih dari satu fraksi utuh.

“Wacana di internal pansus se­perti itu, dalam kaitan dengan persoalan Mardika maka rekan-rekan Pansus memandang bahwa angket menjadi pilihan untuk penyelesaian pasar Mardika termasuk sampai penyidikan yang mendalam, nanti dipertimbang­kan,” tegas Sairdekut.

Menurutnya, setelah selesai verifikasi surat masuk oleh DPRD maka Pansus akan melaporkan hasil kepada pimpinan dan selan­jutnya  akan dirumuskan langkah lanjutan yang akan ditempuh DPRD.

Apalagi, penggunaan hak angket harus melewati proses lobi dan konsolidasi tingkat fraksi sehingga harus dirumuskan secara baik.

Terpisah, Sekretaris Fraksi PDIP yang juga anggota pansus Pasar Mardika DPRD Provinsi Maluku, Samson Atapary mengakui setelah Pansus  memanggil pihak penye­wa ruko ditemukan masalah per­janjian Pemprov Maluku lewat Gubernur Maluku, Murad Ismail dengan PT. BPT yang melanggar Permendagri bahkan tidak ada uji kelayakan sebelum melakukan pelelangan  aset daerah.

Padahal dalam Permendagri diwajibkan semua perjanjian de­ngan pihak ketiga yang melibatkan aset daerah harus lewat perse­tujuan DPRD, sebelum dilakukan proses pelelangan.

Namun yang terjadi proses perjanjian yang dilakukan Guber­nur Maluku, telah mengabaikan Permendagri sehingga dianggap perjanjiannya cacat hukum.

“Akibat dari perjanjian yang cacat hukum itu, itu ada dugaan kerugian daerah, karena secara draft dari perjanjian itu Pemda hanya me­nerima kurang lebih Rp4 miliar, padahal ketika dihitung-hitung dari harga sewa yang diambil PT BPT dari penyewa ruko, sebesar Rp15 miliar dari 140 unit ruko yang dikerjasamakan,” jelasnya.

Lanjutnya, besaran yang diambil BPT, belum termasuk yang berada diluar ruko sebab yang menjadi objek perjanjian bukan saja 140 ruko, melainkan seluruh kawasan Pasar Mardika yang mencapai 6 hektar lebih termasuk parkiran, pasar dan lainnya.

Pansus kata Atapary menduga ada kerugian daerah. Namun untuk masuk dalam proses penyi­dikan, bukan menjadi kewengan pansus dan harus menggunakan hak angket DPRD lewat fraksi-fraksi.

“Dalam rapat pansus, saya mengusulkan agar untuk mendapat kronoligisnya yang cukup terang, bukti yang terang, apakah ini ada pelanggaran peraturan perundang-undangan, apakah ada kerugian daerah, akibat dari kerjasama yang dilakukan pemprov yang diwakili pak gubernur dengan PT BPT. Salah satu yang bisa dipergunakan DPRD itu hak angket, karena hak angket itu diberikan kewengan untuk DPRD melakukan penyelidikan,” cetusnya.

Ditambahkan, hak angket merupakan hak fraksi tetapi selain PDIP pasti terdapat pikiran partai Golkar yang juga menyetujui adanya hak angket, guna mengusut pelanggaran peraturan perundang-undangan dan dugaan kerugian daerah akibat dari perjajian bersama pemprov dan BPT. (S-20)