AMBON, Siwalimanews – Masyarakat rame-rame mengkritik kebijakan Gubernur Maluku, Murad Ismail yang tidak mengusulkan Rancangan APBD Perubahan untuk dibahas dengan DPRD Maluku.

Kejadian yang tidak lazim ini tercatat sebagai peristiwa yang baru pernah terjadi dalam sejarah panjang perjalanan provinsi seribu pulau ini.

Walau DPRD Maluku sudah menyurati Pemprov agar secepat­nya menyampaikan RAPBD Ta­hun 2022 mengingat batas waktu yang diberikan Kemendagri tanggal 30 September 2022, namun Pemprov tak juga mengindahkan­nya.

Buktinya hingga batas waktu tersebut, Pemprov tidak meng­usulkan dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, untuk dibahas dan ditetap­kan menjadi APBD Perubahan tahun 2023 dengan DPRD Maluku.

DPRD Maluku dinilai tidak memiliki nyali ketika berhadapan dengan gubernur beserta jajaran birokrasi pemerintah, alhasil lembaga terhormat itu dipandang sebelah mata.

Baca Juga: Tak Dianggap, Dewan Jangan Diam Saja

Karenanya, untuk mengembalikan wibawa lembaga terhormat, maka DPRD harus menggunakan hak yang dijamin dalam Undang Undang, salah satunya hak interpelasi.

Demikian dikatakan Akademisi Fisip Unpatti Paulus Koritelu, kepada Siwalima, Kamis (3/11) siang.

“Memang DPRD harus gunakan hak interpelasi tapi apakah DPRD punya nyali untuk melakukan itu. DPRD harus tegas dan berani sehingga wibawa DPRD dapat dikembalikan,” cetusnya.

Dikatakan, DPRD dan pemerintah daerah harus menyadari sungguh bahwa mereka adalah mitra sejajar dan menjadi alat negara untuk mengha­dirkan negara yang sejahtera.

Pada level Provinsi Maluku baik Pemda dan DPRD sedang menunjuk­kan interaksi politik yang sangat tidak menguntungkan bagi rakyat dimana arogansi kekuasaan sedang coba diterapkan padahal interaksi demikian mestinya sudah harus dihentikan.

Dijelaskan, wajar secara periodik tanpa disurati sekalipun proses-proses inisiatif harus dilakukan Pemda untuk mengajukan berbagai dokumen yang berhubungan dengan APBD Perubahan tanpa harus menunggu proses formalitas birokrasi.

“Martabat DPRD akan terlihat jika Pemda memberikan penghormatan kepada lembaga yang sebenarnya merepresentasikan kepentingan rakyat dan yang dipercaya oleh rakyat sebab berbeda dengan Pemda yang terlepas dari jabatan politik Gubernur dan wakil gubernur adalah lembaga negara yang di SK-kan dalam jabatan karir,” ujar Koritelu.

Menurutnya, jika Pemda berasumsi bahwa mereka bekerja untuk kepen­tingan masyarakat maka sebetulnya penghargaan terhadap delegasi dan wakil rakyat harus dilakukan

Koritelu menegaskan proses yang terjadi saat ini memperlihatkan telah terjadi pemangkasan terhadap wibawa DPRD dalam fungsinya yang meru­pakan penjewantahan dari praktik perundangan, maka apapun alasannya tiga fungsi ini harus berlangsung.

“Politik birokrasi yang mencoba mengacaukan suasana harus dihent­ikan karena tidak sesuai dengan kehendak rakyat,” tegas Koritelu.

Dorongan Mahasiswa

Sementara itu, Harun Matayane salah satu mahasiswa Unpatti menyayangkan sikap DPRD yang terkesan tidak lagi memiliki nyali dalam menjalankan tugas pemerintahan.

Bagi Harun, jika DPRD Provinsi Maluku memiliki nyali maka interpelasi merupakan jalan yang harus ditempuh guna mendapatkan penjelasan guber­nur, sebab selama ini begitu banyak masalah yang terjadi dan dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawasan.

“Kalau melihat kondisi sekarang maka DPRD harus berani interpelasi Gubernur agar pemerintahan ini ber­jalan dengan baik, masa dari Maluku berdiri baru kali ini tidak ada APBD Perubahan, ini kan lucu,” kesalnya.

DPRD kata Harun harus mempu membela kepentingan masyarakat yang saat ini tidak lagi perhatikan atas dasarnya kekuasaan agar masyarakat meyakini bahwa DPRD memang mewakili suara rakyat.

Terpisah, Klemens salah satu maha­siswa Unpatti juga menantang DPRD Provinsi Maluku untuk membela ke­pentingan masyarakat dengan mela­kukan interpelasi terhadap Gubernur Maluku dan jajaran terkait tidak adanya APBD Perubahan tahun 2022.

Dikatakan, DPRD sudah saatnya tegas setelah beberapa tahun ini terkesan menutup mulut dengan semua persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

“Mau bilang tidak tahu aturan, DPRD tahu tapi memang DPRD ini tidak punya nyali lagi, jadi ini momentum kalau berani DPRD harus inter­pelasi Gubernur agar penyelanggara­an Pemerintahan ini berjalan baik,” tegas Klemens.

Senada dengan Klemens, mahasis­wa Unpatti Berto juga mempertanya­kan sejauh mana peran DPRD Provinsi Maluku dalam memastikan kebutuhan masyarakat dapat diakomodir dalam APBD jika tidak ada APBD Perubahan.

Dijelaskan, APBD perubahan sangat penting artinya dengan adanya pembahasan APBD maka DPRD dapat memastikan kebutuhan masyarakat diakomodir tetapi jika tidak ada APBD Perubahan maka DPRD tidak dapat memastikan hak-hak masyarakat dipenuhi.

“Apakah DPRD bisa memastikan hak masyarakat itu dilakukan Pem­prov kalau tidak ada APBD, jadi DPRD ini harus berani untuk melakukan interpelasi kali masuk terpilih kembali ditahun 2024,” cetus Berto.

Kordinator Daerah Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara- Maluku (BEM Maluku) Adam R.Rahantan   meng­ungkapkan, dengan tidak diajukan APBDP itu bentuk dari ketidakse­riusan Pemprov Maluku dalam meng­awal segala kepentingan masyarakat.  Dia meminta, Pemprov jangan me­nganggal hal ini sepele, apalagi Maluku masih berada di urutan keempat termiskin, sehingga DPRD tak boleh tinggal diam.

“Bagi saya Ini bentuk ketidakseriu­san Pemerintah Provinsi  dalam me­ngawal segala kepentingan masyara­kat,  Jangan Pemerintah Provinsi  menggaap ini hal sepeleh. Kita perlu ada perubahan APBD. Olehnya itu kami meminta agar DPRD Maluku tidak hanya diam di tempat harus berani mengeluarkan fungsi Kontrol­nya sebagai lembaga pengawas,” ujarnya sembari menambahkan, pihaknya secara kelembagaan akan mengawal segala kepentingan masyarakat.

Tuai Kecaman

Mantan Wakil Ketua DPRD Malu­ku, Everd Kermite mengecam Pem­prov Maluku yang tidak menyiapkan dokumen KUA-PPAS.

Dikatakan, perencanaan pemba­ngu­nan dan keuangan akan terlaksana dengan baik, sinergis dan terarah, apabila diawali dengan perencanaan yang matang memperhatikan aspek kontinuitas.

Perencanaan yang lebih menyelu­ruh, terarah dan terpadu diperlukan untuk menjamin laju perkembangan dalam mencapai suatu masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur.

Karena itu, kata Kermite, perenca­naan yang baik dapat dirumuskan melalui kegiatan pembangunan yang efektif dan efisien sehingga memper­oleh hasil optimal dalam pemanfaatan sumber daya dan potensi yang terse­dia. Sehingga penting sekali diajukan Rancangan APBD Perubahan.

Kermite meminta, DPRD untuk bersikap tegas dan berani terhadap gubernur, dengan melayangkan mossi tidak percaya atau hak interpelasi, sehingga Pemprov tidak mengabaikan lembaga rakyat itu.

“DPRD harus berani bersikap, ini sama saja dokumen KUA-PPAS itu tidak disiapkan. Padahal DPRD sudah surati Pemprov sudah ingatkan pemprov, tapi sampai batas waktu 30 September, pemprov jug tidak usulkan, maka DPRD harus bersikap tegas bila perlu ajukan mosi tidak percaya, dan kalau perlu gunakan hak interpelasi,” cetus Kermite saat meng­hubungi Siwalima melalui telepon seluler, Kamis (3/11).

Sebagai masyarakat, ujar Kermite sangat menyayangkan hal ini terjadi, jika dewan menyangupi bahwa seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan di Maluku menggu­nakan APBD murni, semoga saja tidak ada masalah. Jika demikian, maka Gubernur, Sekda, Bappeda dan Ke­pala BPKAD harus bertanggung jawab.

Selain Kermite, anggota masyarakat lainnya, Yusuf Leatemia juga me­ngecam Pemprov yang tidak mengajukan APBD Perubahan.

Menurutnya, hal ini baru pertama kali terjadi di Maluku, walaupun anggota dewan melihatnya tidak mengapa, tetapi hal ini tidak lazim, sehingga pemprov harusnya mem­berikan penjelasan alasan apa  sehingga tidak diajukan.

Di sisi lain, politisi senior PDIP Maluku ini juga meminta, DPRD harus berani bersikap tegas mempertanya­kan mengapa sampai Pemprov tidak mengajukan APBD Perubahan. Kare­na ini penting bagi kepentingan ma­syarakat tetapi juga pembangunan di Maluku.

Menurutnya, jika ada unsur kese­ngajaan dimana pemprov tidak mengajukan lagi padahal misalnya kebutuhan masyarakat tidak bisa diakomodir dalam APBD Murni itu maka. Ini masalahnya.

“DPRD harus bersikap tegas, jika pemprov tak ajukan maka harus tanyakan alasan mengapa tidak ajukan. Jika tidak maka Pemprov selalu abaikan panggilan dewan. Bila perlu gunakan hak konstitusi dewan, hak interpelasi,” ujarnya kepada Siwalima melalui telepon, Kamis (3/11).

Sangat Penting

Sementara itu, akademisi Fisip Unpatti, Mochtar Nepa-Nepa meng­ungkapkan, APBD Perubahaan atau Rebudgeting di pemprov digunakan untuk menyesuaikan program dan untuk memenuhi kebutuhan mana­jemen dalam perencanaan pembangu­nan daerah, sehingga APBD Peru­bahan semestinya dilakukan.

“Saya kira begini untuk APBD Peru­bahan atau rebudgeting di pemprov itu kan salah satunya digunakan untuk menyesuaikan program dan untuk memenuhi kebutuhan mana­jemen dalam perencanan penbangu­nan daerah seiring dengan kondisi lingkungan yang berubah. Ada beberapa varian yang menurut saya semestinya APBD perubahan itu mesti di lakukan.

Hal ini penting, karena APBD perubahan itu, lanjut Mochtar, memiliki beberapa varian. Pertama varian pendapatan,  dimana varian ini merupakan varian total yang timbul akibat pendapatan yang diharapkan dan aktual sebagai basis dari kom­ponen pendapatan daerah.

Sehingga dengan demikian, lanjut­nya, maka kepala daerah memiliki kepentingan untuk menyesuaikanya dengan APBD perubahan sebagai aktualisasi apakah pola dan. meka­nisme yang diajukan sebelumnya perlu penyesuaian atau tidak.

Di sinilah letak kejelian kepala daerah untuk meninjau kembali tentang anggaran yabg dilakukan sebelumnya.

Kedua varian pengeluaran. Ini penting dilakukan untuk mengetahui apakah program pemerintah daerah dianggap cukup, ataukah mekanisme perubahan anggaran itu perlu adanya perbaikan anggaran yang telah disepakati sebelumnya.

Ketiga adalah varian pembiayaan. Varian ini perlu dilakukan dalam APBD perubahan untuk melakukan revisi APBD jika kemudian pembiayaan dalam program penyelenggaraan pemerintah daerah perlu dilakukan revitalisai anggaran.

Karena itu, menurutnya, ketiga varian ini sangat perlu dilakukan oleh kepala daerah melalui mekanisme APBD Perubahan.

“Dengan demikian maka menurut saya, ketiga varian ini sangat perlu dilakukan oleh kepala daerah melalui mekanisme APBD perubahan,” tegasnya.

Mochtar menambahkan, salah satu stigma yang muncul di tengah keraguan publik adalah, mengapa APBD perubahan tidak dilakukan oleh gubernur. Padahal semestinya dalam APBD perubahan itu ada kepentingan dan kebutuhan publik yang mesti diakomodir, meskipun tidak semua kepentingan publik harus masuk dalam APBD perubahan. Kelaziman selama ini memang publik selalu menunggu tahapan APBD Perubahan sebagai salah satu bentuk aspirasi kepada pemerintah daerah.

Pasang Badan

Pasca Pemerintah Provinsi Maluku dikritik karena tidak menyampaikan APBD perubahan, anggota DPRD Provinsi Maluku Fraksi PDIP, Samson Atapary pun angkat bicara.

Dikutip dari laman Facebook  de­ngan nama Sam Atapary mengomen­tari posting oleh pemilik akun Batje Warlauw menilai banyak yang memahami tentang APBD Perubahan.

“Tidak ada kewajiban hukum untuk dilakukan perubahan terhadap APBD sepanjang seluruh perencanaan dan penganggaran sudah dilakukan dengan baik,” ujar Atapary.

Menurutnya, sepanjang gubenur menilai bahwa seluruh perencanaan dan penganggaran berupa asumsi pendapatan, belanja atau pembiayaan yang sudah dietapkan di APBD murni tidak mengalami perubahan, perge­seran atau tidak ada program baru dengan nomenklatur baru maka tidak perlu ada perubahan APBD.

“Jadi semua kegiatan yang dilaku­kan hanya berdasarkan pada APBD murni yang sudah ditetapkan,” ucap Atapary.

Namun kata Atapary jika ada ke­giatan mendesak dan darurat misalnya bencana alam, maka gubernur bisa membuat kegiatan dan melaksanakan­nya dengan mengeluarkan peraturan kepala daerah tanpa perlu melakukan perubahan APBD.

Ketua komisi IV DPRD Provinsi Maluku ini pun menegaskan, jika semua yang dilakukan oleh Gubernur untuk tidak menyampaikan APBD-P ada dasar hukumnya.

Tak Usul APBDP

Seperti diberitakan sebelumnya, Tahun ini Pemerintah Provinsi Ma­luku tidak mengusulkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan tahun 2022, untuk dibahas di DPRD.

Padahal, RAPBDP itu adalah hal penting, karena di dalamnya bisa mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat serta pembangunan di Maluku.

Nantinya setelah melalui pembaha­s­an antara pemprov dan legislatif, RAPBD tersebut disahkan menjadi APBDP dan selanjutnya dibawa ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, untuk mendapat persetujuan.

Sesuai tenggat waktu yang diberi­kan oleh Kemendagri, setiap provinsi diharuskan mengajukan APBDP paling terlambat 30 September 2022.

Tidak diusulkannya RAPBDP tahun 2022, dibenarkan okeh Wakil Ketua DPRD Maluku, Melkianus Sairdekut.

Menurut Wakil Ketua Gerindra Maluku itu, pemprov tidak lagi me­ngajukan RAPBDP tahun 2022 karena sudah lewat batas waktu 30 September 2022 yang ditetapkan Kemendagri.

Padahal lembaga wakil rakyat itu telah menyurati Pemprov Maluku pada 22 September lalu, agar  secepatnya mengajukan rancangan perubahan APBD 2022 untuk bisa dibahas dengan DPRD Maluku.

Namun kata dia, hingga batas waktu 30 September tersebut, Pemprov Maluku tidak juga mengajukan RAPBDP Tahun 2022.

Setelah melewati batas waktu yang ditetapkan, pihak DPRD Maluku langsung berkonsultasi dengan Kemendagri dan dipastikan bahwa setelah melewati batas waktu yang ditetapkan, maka tidak lagi ajukan APBD Perubahan.

“DPRD telah melakukan konsultasi dengan kemendagri dan telah diberi­kan penjelasan bahwa tidak diajukan rancangan APBD terkait dengan batas waktu yang telah dilewati dimana setelah tanggal 30 September tidak boleh lagi dilakukan perubahan APBD,” jelas Sairdekut kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang Ambon, Rabu (2/11).

Dari sisi regulasi, lanjutnya, APBDP tidak menjadi kewajiban untuk dilakukan setiap tahun, hanya saja kelaziman belum pernah terjadi se­hingga terkadang dirasakan menjadi masalah, karena itu DPRD berkepenti­ng­an untuk segera memanggil Pemprov Maluku.

Menindaklanjuti konsultasi dengan Kemendagri itu, dalam rapat koor­dinasi yang dilakukan pimpinan DPRD dengan seluruh Ketua Fraksi dan pimpinan komisi, telah disepakati akan mengundang Pemprov untuk meminta penjelasan terkait tidak terjadinya perubahan APBD.

“Dari aspek regulasi perubahan APBD memang maksimal sekali dalam setahun, baik di UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda maupun PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, hanya saja perubahan yang dilakukan berkaitan dengan penja­baran kegiatan yang dilakukan Pemprov,” ujar Sairdekut.

DPRD kata Sairdekut, harus menge­tahui langsung kegiatan yang bersifat mendesak dan darurat dilakukan Pemerintah Provinsi Maluku dalam bentuk perubahan penjabaran kegia­tan APBD, agar benar-benar sesuai dengan kebutu­han masyarakat.

“DPRD akan panggil untuk mende­ngar secara rinci apa saja yang menjadi perubahan penjabaran, sebab sebagai anggota DPRD, kita harus mengawal seluruh proses agar pendefinisian kegiatan yang mendesak berkaitan dengan pelayanan dasar,” tegas Sairdekut.

Ditanya terkait dengan lemahnya koordinasi antar lembaga, Sairdekut menegaskan DPRD dalam fungsi anggaran telah menyurati Pemprov pada tanggal 22 September lalu terkait dengan perubahan APBD tetapi tidak diserahkan hingga batas waktu 30 September 2022.

Sairdekut memastikan, DPRD secara kelembagaan akan mengawasi secara ketat setiap perubahan penja­baran kegiatan yang dilakukan Peme­rintah Provinsi Maluku walaupun tanpa melewati prosedur pembahasan seperti pendekatan perda.

“Yang pasti kegiatan yang bersifat darurat itu berkaitan dengan kondisi alam, sedangkan mendesak ini ber­kaitan dengan empat hal baik kebu­tuhan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan dan pengeluaran yang jika ditunda, mengakibatkan kerugian yang lebih besar sesuai dengan kriteria pada PP 12 Tahun 2019,” ujarnya.

Anggota badan anggaran DPRD Provinsi Maluku, Andi Munaswir juga mengungkapkan, pemprov tak menajukan APBD Perubahan.

“Untuk APBD Perubahan di Malu­ku tidak ada sama seperti di Papua dan Jakarta,” ungkap Munaswir kepada Siwalima melalui pesan WhatsApp, Rabu (26/10) lalu.

Dikatakan, rapat konsultasi yang dilakukan bersama Kementerian Dalam Negeri terkait dengan banyak kabupaten dan kota yang terlambat melakukan pembahasan melebihi batas waktu, sehingga sudah pasti tidak diterima seperti APBD Peruba­han DKI Jakarta tidak diterima karena melebihi batas waktu 30 September 2022.

Artinya, kalaupun Pemprov Maluku mengajukan usulan perubahan APBD sekalipun, maka pasti ditolak, karena telah melebihi batas waktu yang ditetapkan Kementerian Dalam Negeri.

Dari hasil konsultasi kata Munaswir, dijelaskan bahwa APBD perubahan tidak bersifat wajib. Artinya ketika ada kebutuhan masyarakat yang mende­sak dan membutuhkan pembiayaan daerah akan dilakukan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Untuk memastikan Peraturan Kepala Daerah terkait dengan APBD yang mengakomodir semua kepen­tingan masyarakat, maka DPRD telah mengagendakan pemanggilan ter­hadap Tim Anggaran Pemerintah Daerah untuk dimintai penjelasan konkret.

Ketua Komisi I DPRD Maluku, Amir Rumra mendesak Pemprov untuk segera menyampaikan rancangan APBDP Tahun 2022.

Desakan ini disampaikan Amir, berdasarkan siklus anggaran saat ini, seharusnya Pemprov Maluku telah menyerahkan RAPBD Perubahan tahun 2022 kepada DPRD untuk dibahas.

“Kalau sesuai siklus pembahasan anggaran, maka seharusnya kita sudah bahas perubahan, tapi sampai saat ini juga belum, ini sudah mau masuk Oktober kita juga harus bahas APBD murni 2023,” ujar Rumra kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Kamis (22/9) lalu.(S-05/S-20/S-25)