AMBON, Siwalimanews – Puluhan anggota dewan dan ASN sudah diperiksa jaksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi di Sekretariat DPRD Kota Ambon, namun sampai saat ini belum ada progress.

Dengan diperiksanya 35 anggota DPRD Kota Ambon dan puluhan saksi lain dari staf Sekwan ditambah temuan BPK Rp5,3 miliar, sudah menjadi bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Memang ini  kewenangan jaksa yang sangat subjektif untuk kapan menetapkan orang sebagai tersang­ka. Dan ketika jaksa menetapkan sa­ngat berhati-berhati karena berhu­bungan dengan dua alat bukti atau bukti permulaan yang cukup. Tetapi jika sudah ada temuan BPK sebagai bagian dari kerugian negara Rp5,3 M, itu menjadi bukti-bukti tambahan untuk memperkuat menetapkan sesorang sebagai tersangka,” ung­kap Akademisi Hukum Unpatti, Remon Supusepa kepada Siwalima melalui sambungan selulernya, Kamis (7/1).

Menurutnya, temuan BPK itu menjadi dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kaitan dengn unsur,-unsur kerugian negara yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal (3) Undang-undang Tipikor.

“Yang menjadi problem didalam penanganan kasus ini adalah ada tekanan publik untuk segera pihak kejaksaan melakukan gelar. Unsur selanjutnya dari gelar itu mene­tapkan tersangka,

Baca Juga: Tewaskan Tukang Parkir, Pemuda ini Terancam 15 Tahun Bui

Kata dia, pemeriksaan terhadap anggota dewan itu berkaitan erat dengan aliran dana apakah ada me­ngalir di anggota dewan. Pemerik­saan Ini sebenarnya memperluas penetapan sesorang sebagai ter­sangka.

Disisi lain dengan melihat per­kembangan penanganan kasus ini, lanjut Supusepa, dimana jaksa telah memeriksa puluhan saksi baik ang­gota dewan maupun ASN, maka su­dah cukup kuat jaksa menetapkan ter­sangka, karena ini sudah meru­pakan bagian dari perhatian publik terhadap kinerja anggota dewan.

Pemeriksaan puluhan saksi sudah mengarah ke beberapa calon ter­sangka yang terlihat, sehingga me­nu­rut KUHAP pasal 185 ayat (2) bahwa keterangan dua orang saksi dapat memenuhi dua alat bukti.

“Saksi itu harus lebih dari satu saksi, berarti kalau memang arah saksi yang diperiksa itu sudah banyak sudah mengarah ke calon tersangka, maka jaka segera harus menetapkan tersangka,” ujarnya.

Selain itu berdasarkan pasal 184 KUHAP bahwa alat bukti yang sah yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk.

“Alat bukti itu bisa saksi ditambah bukti BPK, bukti surat ditambah bukti-bukti surat yang lain yang berkaitan erat dengan proses kasus ini, maka itu sudah bisa memenuhi unsur menimbal 2 alat bukti sesuai pasal 183 KUHAP,” jelasnya.

Sehingga hal ini sudah memunuhi unsur untuk tingkatkan kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan dan selanjutnya penetapan tersangka. Namun hal ini juga tergantung jaksa, karena kewenangan subjektif jaksa didalam proses penegakan hukum.

“Menurut saya jika keterangan saksi sudah lebih dari 2 orang di­tambah, bukti surat dan audit BPK, itu sudah kuat memenuhi unsur, ter­gantung dari jaksa apakah mengarah ke satu atau dua tersangka atau lebih. itu merupakan kewenangan subjektif jaksa,” tuturnya.

Ia juga menyentil, jika ada yang ingin mengembalikan keuangan negara, tetapi dihubungkan dengan Pasal (4) UU Tipikor dimana me­ngembalikan kerugian keuangan negara tidak menghentikan proses hukum

“Memang jika dilihat, jaksa se­ringkali mengejar kerugian keuangan negara. Sehingga jika ada pengem­balian kerugian negara maka di­anggap unsur kerugian keuangan negara dalam pasal itu tidak terbukti lagi, Padahal perbuatan itu sudah se­lesai, Kecuali pengembalian ke­uangan negara itu sebelum proses hu­kum,” tuturnya sembari menam­bahkan, dalam penanganan kasus dugaan korupsi jaksa harus serius

Segera Tingkatkan

Hal yang sama juga dungkapkan akademisi Hukum Unidar, Rauf Pelu. Katanya, pemeriksaan puluhan anggota dewan dan staf Sekwan DPRD Ambon sudah menjadi bukti kuat jaksa segera tingkatkan kasus ini, dan jangan jalan tempat.

“Kalau untuk penetapan tersangka itu harus memiliki dua alat bukti yang cukup, ditambah surat dan petunjuk. Dalam kasus ini puluhan orang sudah diperiksa itu berarti jaksa harus tingkatkan kasus ini ke penyidikan,” katanya.

Menurutnya, jaksa tidak perlu berlarut-larut dalam penanganan kasus ini, tetapi segera tingkatkan dan bila perlu menetapkan ter­sangka, karena saksi yang diperiksa juga sudah sangat banyak.

Ia meminta agar penanganan jaksa tetap tegakkan hukum dimana pe­dang hukum jangan tajam ke bawah dan tumpul keatas, dan siapapun tidak boleh dilindungi, karena semua orang sama dimata hukum.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Ambon, Dian Frits Nalle yang dikonfirmasi Siwalima terkait gelar perkara mengaku, masih pemeriksaan.

“Sementara pemeriksaan, kalau sudah selesai saya kabari,” ujarnya melalui pesan whats-Appnya, Kamis (6/1).

Puluhan Anggota

Untuk diketahui, sebanyak puluhan anggota dewan Kota Ambon diperiksa sebagai  saksi oleh tim penyidik Kejari Ambon masing-masing, pada Senin (13/12) Ketua DPRD Kota Ambon, Elly Toisutta, Wakil Ketua Gerald Mailoa, dan Wakil Ketua Rustam Latupono diperiksa penyidik Kejaksaan Negeri Ambon

Selasa (14/12) lima anggota DPRD Kota Ambon diperiksa yaitu, James R. Maatita, Frederika Latupapua, Margaretha Siahay, Jafry Taihuttu dan Zeth Pormes.

Kamis (16/12) penyidik Kejari Ambon kembali memeriksa 5 anggota DPRD Kota

masing-masing; Jhoni Paulus Wattimena, Astrid J Soplantila, Leonardo Lucky Upulatu Nikijuluw, Christianto Laturiuw dan Obed Soisa.

Jumat (17/12) kembali 5 anggota DPRD Kota Ambon diperiksa yaitu, Julius Joel Toisutta, Risna Risakotta, Taha Abubakar, Andi Rahman dan Saidna Azhar Bin Tahir.

Kemudian pada Senin (20/12) empat anggota DPRD kembali diperiksa penyidik Kejari Ambon yakni, Yusuf Wally, Johny Mainake, Morits Librech Tamaela dan Nathan Polondo.

Berikutnya Selasa (21/12) dua anggota DPRD, Johan van Capelle dan Patrick Moenandar. Dan Rabu (22/12) lima anggota lagi diperiksa yakni, Hadiyanto Junaidi Ricky David  Helaha, Helmy Tehupuring, Ary Sahertian dan Gunawan Mochtar..

Sedangkan anggota dewan yang lain yaitu, Hary Putra Far-Far yang dikonfirmasi Siwalima, Selasa (4/1) mengakui sebelum natal dirinya sudah diperiksa jaksa.

50 Diperiksa

Untuk mengungkapkan dugaan penyalahgunaan anggaran di DPRD Kota Ambon, penyidik Kejari Ambon sudah memeriksa 50 saksi. 49 saksi pada bulan November hingga Desember 2021, dan satu bendahara JS diperiksa, Rabu, 6 Januari 2022.

Mereka adalah pegawai DPRD Kota Ambon, kontraktor, mantan Sekwan dan juga sejumlah pejabat Pemkot Ambon yang duduk sebagai tim anggaran Pemkot Ambon.

Pemeriksaan berawal pada Kamis (18/11), dimana 5 orang diperiksa yakni Sekwan SD dan 4 staf JP, MP, SS, serta LS.

Selanjutnya Jumat (19/11), 4 PPK diperiksa yakni FN, FT, LN dan HM.

Berikutnya hari Kamis (25/11), 4 orang diperiksa yakni mantan sekwan ES, dan 3 staf yaitu YS, AS, MY.

Pada hari Senin (29/11) 6 orang staf masing-masing Setwan RNS, RL, AL, DS, FOS, dan AR diperiksa.

Selanjutnya, hari Rabu (1/12), giliran 8 pendamping Pansus yakni DAK, NT, FA, HPS, HT, AD dan FSP dicecar jaksa.

Kamis (2/12) 5 pokja pengadaan barang dan jasa yakni, CT, HP, YR, FM dan FA digarap jaksa.

Pada hari Jumat (3/12), Kepala BPKAD Apries Gaspers dilperiksa.

Kemudian Senin (6/12) 2 orang yakni Mantan Sekot Anthony Latuheru, dan Kepala Bappekot Enrico Matitaputy juga diperiksa.

Lalu Rabu (8/12), giliran 9 orang diperiksa, terdiri dari 8 PPK masing-masing LNH, MP, EL, CP, HM, FT, FN, JS dan staf keuangan yakni HT.

Temuan BPK

Seperti diberitakan sebelumnya, dari hasil pemeriksaan BPK, diketahui ada tujuh item temuan yang terindikasi fiktif. Adapun nilai keseluruhan temuan itu kalau ditotal berjumlah Rp5.293.744.800, dengan rincian sebagai berikut, belanja alat listrik dan elektronik (lampu pijar, bateri kering) fiktif sebesar Rp425.000.0001,

Temuan tidak saja untuk biaya lampu pijar dan alat listrik, namun biaya rumah tangga pimpinan dewan tak sesuai ketentuan dan ditemukan selisih sebesar Rp690.000.000

BPK dalam temuan menyebutkan, secara uji petik tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan atas 4 SP2D, dimana hasil diketahui bahwa realiasai belanja biaya rumah tangga dipertanggungjawabkan dengan melampirkan nota toko dari dua penyedia dimana nota dan kuitansi pembayaran yang dilampirkan melebihi nilai SP2D yang dicairkan.

Selain itu, terdapat banyak ketidaksesuaian nilai antara kuitansi dan nota yang dilampirkan, sehingga secara keseluruhan, terdapat kelebihan nilai nota yang dilampirkan dibandingkan degan total pencairan keempat SP2D sebesar Rp122. 521.000.

Dan ketika BPK melakukan konfirmasi kepada PPK kegiatan pengelolaan rumah tangga pimpinan DPRD, diketahui bahwa realisasi belanja biaya rumah tangga di sekretariat DPRD tidak dilaksanakan seperti yang dibuktikan pada dokumen pertanggungjawaban belanja realisai riil, namun yang dilakukan adalah uang hasil pencairan SP2D untuk belanja biaya RT sepenuhnya dibayarkan kepada masing-masing pimpinan DPRD setuap bulannya.

Dengan kata lain, PPK sama sekali tidak mengetahui rincian pembagian dan besaran yang dibagikan.

Selain itu, belanja biaya rumah tangga sebenarnya direalisasikan secara tunai kepada 3 orang pimpi¬nan DPRD Kota Ambon dengan besaran bulan yang berbeda,  untuk Ketua DPRD diserahkan sebesar Rp22.500.000/bulan,Wakil Ketua I dan II sebesar 17.500.000/bulan.

Untuk Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II total alokasi dan dalam setahun sebesar Rp690.000.000 (Rp 22.500.000.000 + (2x Rp17.500. 000.000) x 12 bulan. berdasarkan data tersebut, maka disimpulkan realisasi biaya rumah tangga terindikasi fiktif dan melampirkan bukti pertang-gungjawaban yang tidak dapat diakui sebesar Rp690.000.000.

Selain itu, pembayaran biaya RT kepada pimpinan DPRD tidak sesuai ketentuan sebesar Rp420.000.000, dimana hak keuangan dan administrasi pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam PP nomor 18 Tahun 2017, termasuk didalamnya mengenai biaya rumah tangga pimpinan.

Dalam PP nomor 18 tahun 2017 disebutkan bahwa, biaya RT masuk ke dalam tunjangan kesejahteraan bagi pimpinan DPRD, namun dije¬laskan pula bahwa belanja RT pim¬pinan hanya boleh diberikan bagi pimpinan yang menggunakan rumah dinas jabatan dan perlengkapannya.

Berdasarkan konfirmasi BPK, dan pemeriksaan atas aset tetap milik sekretariat DPRD, diketahui bahwa pimpian yang berhak hanya ketua DPRD Kota Ambon, sedangkan Wakil Ketua I dan 2 tidak berhak mendapatkan belanja RT, dan karenanya pembayaran atas belanja biaya RT yang dialokasikan kepada Wakil Ketua DPRD tidak sesuai ketentuan sebesar Rp420.000.000 (2xRp17.500.000)x12 bulan. (S-19)