AMBON, Siwalimanews – Praktisi Hukum, Elizabeth Tutu­pary menegaskan, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi pintu masuk Kejari Ambon menjerat pimpinan DPRD maupun pihak-pihak lain dalam kasus dugaan penyalahgunaan angga­ran di DPRD Kota Ambon Tahun 2020.

Akibat penyalahgunaan kewe­nangan yang mengakibatkan anggaran Rp 5,3 miliar disalah­gunakan dapat dijadikan sebagai bukti untuk menjerat pimpinan DPRD.

“Kalau dari temuan BPK saja sudah ada penyalahgunaan ang­ga­ran, itu menjadi pintu masuk dan dijadikan bukti yang jelas untuk untuk menjerat pimpinan DPRD maupun anggota DPRD dan pihak-pihak lain yang ikut terlibat menikmati uang tersebut,” kata Tutupary.

Dalam kasus ini, Tutupary me­ngingatkan penyidik Kejari Ambon tidak tebang pilih.Siapapun yang diduga menikmati uang tersebut termasuk anggota dan staf sek­retariat dewan harus diperiksa.

“Penyidik jangan tebang pilih. Selain pimpinan, ada anggota dan sekretariat. Dimana sekretariat mulai dari sekwan dan stafnya. Itu semua harus diperiksa,” ujar Tutupary.

Baca Juga: Polisi Bekuk Pencuri di Terminal Mardika

Menurut Tutupary, dari pembe­ritaan media, jelas terdapat nama-nama pimpinan dewan hasil temuan BPK. Olehnya itu penyidik Kejari Ambon harus bekerja cepat mengungkap kasus jumbo itu.

“Apalagi, sejauh ini sudah begitu banyak saksi yang diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Ambon dan sudah pasti penyelidik telah me­ngantongi dugaan kuat terlibatan pemimpin DPRD, sehingga kejak­saan harus bergerak cepat. Mas­yarakat Kota Ambon saat ini tengah menunggu konsistensi Kejaksaan Negeri Ambon dalam menuntas­kan kasus yang dugaan awal melibatkan pimpinan DPRD Kota Ambon ini, sebab jika Kejaksaan negeri sedikit saja membuat kesalahan maka masyarakat akan menilai buruk proses penegakan hukum di Kota Ambon.

Hal sama juga ditegaskan praktisi hukum Paris Laturake. Menurutnya, dari bukti-bukti yang ada maka sudah pasti adanya keterlibatan unsur pimpinan DPRD Kota Ambon dalam kasus korupsi 5,3 miliar rupiah tersebut.

Olehnya, Kejaksaan Negeri Ambon tidak boleh ragu untuk menjerat pimpinan DPRD Kota Ambon jika memang berdasarkan hasil pemeriksaan indikasi pelaku mengarah kepada pimpinan DPRD.

“Memang dari bukti yang ada sudah pasti ada keterlibatan pimpinan DPRD dan jika memang ada indikasi pelaku tindak pidana itu pimpinan dewan maka harus segera dijerat,” tegasnya.

Dijelaskan, Kejaksaan harus memegang teguh asas persamaan didepan hukum, artinya siapapun yang melakukan pelanggaran hukum harus diperhadapkan dengan hukum agar hukum tidak tajam kebawah tetapi tumpul keatas atas karena akan melukai nurani masyarakat Kota Ambon.

Karena itu, Laturake berharap Kejaksaan Negeri Ambon dapat segera menjerat pimpinan DPRD Kota Ambon yang diduga terlibat dalam perkara tersebut bukan saja menjerat Sekwan dan staf.

Temuan BPK

Untuk diketahui, dalam temuan BPK disebutkan, realisasi belanja barang dan jasa pada Sekretariat DPRD Kota Ambon tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga meng¬akibatkan indikasi kerugian daerah sebesar Rp5.293.744.800.

Sebagaimana diberitakan, temuan BPK itu dimulai dari biaya lampu pijar dan alat listrik, hingga biaya rumah tangga pimpinan dewan tak sesuai ketentuan.

BPK dalam temuan menyebutkan, secara uji petik tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan atas 4 SP2D, dimana hasil diketahui bahwa realisasi belanja biaya rumah tangga dipertanggungjawabkan dengan melampirkan nota toko dari dua penyedia dimana nota dan kuitansi pembayaran yang dilampirkan melebihi nilai SP2D yang dicairkan.

Selain itu, terdapat banyak ketidaksesuaian nilai antara kuitansi dan nota yang dilampirkan, sehingga secara keseluruhan, terdapat kelebihan nilai nota yang dilampirkan dibandingkan degan total pencairan keempat SP2D sebesar Rp122.521.000.

Dan ketika BPK melakukan konfirmasi kepada PPK kegiatan pengelolaan rumah tangga pimpinan DPRD, diketahui bahwa realisasi belanja biaya rumah tangga di sekretariat DPRD tidak dilaksanakan seperti yang dibuktikan pada dokumen pertanggungjawaban belanja realisai riil, namun yang dilakukan adalah uang hasil pencairan SP2D untuk belanja biaya RT sepenuhnya dibayarkan kepada masing-masing pimpinan DPRD setuap bulannya.

Dengan kata lain, PPK sama sekali tidak mengetahui rincian pembagian dan besaran yang dibagikan.

Selain itu, belanja biaya rumah tangga sebenarnya direalisasi­kan secara tunai kepada 3 orang pimpinan DPRD Kota Ambon dengan besaran bulan yang berbeda,  untuk Ketua DPRD diserahkan sebesar Rp22.500. 000/bulan,Wakil Ketua I dan II sebesar 17.500.000/bulan.

Untuk Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II total alokasi dan dalam setahun sebesar Rp690.000.000 (Rp 22.500.000.000 + (2x Rp 17.500.000.000) x 12 bulan. berdasarkan data tersebut, maka disimpulkan realisasi biaya rumah tangga terindikasi fiktif dan melampirkan bukti pertanggungjawaban yang tidak dapat diakui sebesar Rp690.000.000.

Selain itu, pembayaran biaya RT kepada pimpinan DPRD tidak sesuai ketentuan sebesar Rp420.000.000, dimana hak keuangan dan administrasi pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam PP nomor 18 Tahun 2017, termasuk didalamnya mengenai biaya rumah tangga pimpinan.

Dalam PP nomor 18 tahun 2017 disebutkan bahwa, biaya RT masuk ke dalam tunjangan kesejahteraan bagi pimpinan DPRD, namun dijelaskan pula bahwa belanja RT pimpinan hanya boleh diberikan bagi pimpinan yang menggunakan rumah dinas jabatan dan perlengkapannya.

Berdasarkan konfirmasi BPK, dan pemeriksaan atas aset tetap milik sekretariat DPRD, diketahui bahwa pimpian yang berhak hanya ketua DPRD Kota Ambon, sedangkan Wakil Ketua I dan 2 tidak berhak mendapatkan belanja RT, dan karenanya pembayaran atas belanja biaya RT yang dialokjasikan kepada Wakil Ketua DPRD tidak sesuai ketentuan sebesar Rp420.000.000 (2xRp17.500.000)x12 bulan.

Uang Makan Minum

Berikutnya realisasi belanja makan dan minum di Sekretariat DPRD terindikasi fiktif sebesar Rp2.678.609.000.

Pada tahuhn anggaran 2020, Sekretariat DPRD Kota Ambon melaksanakan realisasi atas belanja makan dan minum sebesar Rp6.132.284.000 atau 97,96% dan yang dianggarkan sebesar Rp258.700.000.

BPK menemukan indikasi belanja fiktif pada realisasi belanja makan dan minum sebesar Rp912.931.000 pada 6 SPK, dimana pencairan atas dua SPK melalui 2 SP2D  nomor 3118/BL/L.S/BPK.AD/2020 dan nomor 3571/BL/LS/BPKAD/2020 dan nomor 3571/BL/LS/BPKAD/2020 pada kegiatan hari-hari besar keagamaan tidak dilaksanakan. Uang hasil pencairan dana atas kedua SPK tersebut diserahkan kepada pimpinan DPRD.

Hal ini dibuktikan dengan daftar pemnbayaran yang ditandatangani oleh masing-masing pimpinan DPRD.

Penyerahan uang pada termin dialokasi untuk Ketua DPRD, sebesar Rp83.920.594 untuk Wakil Ketua I sebesar Rp51.923.156 dan untuk Wakil Ketua II Rp51.923.156. Alokasi tersebut sebelum dipotong untuk fee/administrasi serta pajak terkait.

Sedangkan empat SP2D lain dicairkan oleh CV DG, kemudian uang hasil pencairan diserahkan kepada bendahara pengeluaran untuk dilakukan penyimpanan, namun wewenang untuk realisasi atas uang tersebut pada masing-masing ada pada PPK kegiatan.

Berikutnya terdapat indikasi fiktif atas realisasi belanja makan dan minuman yang melampirkan nota sebagai bukti pertanggungjawaban pada lima SP2D sebesar Rp1.270.250.000.

Selain itu, salah satu penggunaan uang hasil pencairan belanja makan minum mengutamakan nota dari CV DG adalah untuk membayar uang makan minum bagi pimpinan DPRD.

Adapun besaran alokasi untuk Ketua DPRD adalah Rp25.500.000/bulan, dan untuk Kedua Wakil Ketua masing-masing sebesar Rp20.895.000/bulan. jika diakumulasikan, maka total belanja makanan dan minuman yang diserahkan secara tunai kepada pimpinan DPRD adalah sebesar Rp807.480.000 (Rp25.500.000×12 bulan) + (2xRp20.895.000 x 12 bulan).

Kegiatan penyediaan makan dan minuman untuk Ketua dan Wakil Ketua DPRD di kantor dan rumah, tidak sesuai dengan PP No 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan administrasi pimpinan dan anggota DPRD, karena pimpinan tidak berhak atas uang makan minum yang diberikan secara tunai.

Dengan demikian secara keseluruhan, relaisasi belanja makanan dan minuman pada lima SP2D terindikasi fiktif sebesar Rp1.270.250.000.

Diminta Usut

Menanggapi hal ini, praktisi hukum, Munir Kairoti meminta jaksa dan polisi segera mengusut kasus ini. Dimana temuan BPK sudah sangat jelas sehingga membuka ruang bagi aparat penegak hukum usut.

“Jika ini temuan BPK berarti kami minta jaksa dan polisi usut, karena ini uang rakyat yang dipakai untuk pembiayaan sejumlah proyek di sekretariat DPRD Kota Ambon, sehingga temuan BPK ini bisa diusut jaksa atau polisi,” jelas Kairoti kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (11/11).

Kairoty mengharapkan, temuan BPK ini segera ditindaklanjuti karena sangat disayangkan jika sejumlah proyek yang dianggarkan dengan anggaran APBD tahun 2020 justru fiktif.

“Ini kan uang rakyat kok ada proyek yang fiktif, sehingga harus diusut. Apalagi ini dugaan korupsi yang tidak boleh dilindungi,” tegasnya. (S-50)