AMBON, Siwalimanews – Bawaslu Maluku menemukan sejumlah masalah yang mewarnai proses pencoblosan pemilu serentak 2024, di Maluku, Rabu (14/2).

Temuan ini diungkapkan Ketua Bawaslu Maluku, Subair kepada Siwalima melalui tele­pon selulernya, Kamis (15/2).

Subair lalu menunjuk, per­soalan yang terjadi di Kabu­paten Maluku Tengah dimana proses perhitungan suara suara harus tertunda, akibat tidak adanya formulir C1 dinding yang tidak disediakan KPU, jadi salah satu penyebab PSU.

Tak hanya itu, lanjut dia, terjadi juga mobilisasi massa untuk menghentikan proses perhitungan suara di beberapa TPS yang tentunya mengham­bat proses perhitungan suara.

“Untuk C1 dinding yang tidak ada di beberapa kabupaten memang telah siasati dengan mencetak sendiri beberapa form C1,” ujar Subair.

Baca Juga: Pemilu di Maluku Berjalan Aman Prabowo Menang

Kejadian tidak adanya formulir C1 ini juga terjadi di Kabupaten Buru yang menyebabkan, petugas KPPS harus mencetak sendiri formulir C1 yang hampir mirip dengan asli.

Bahkan, ditemukan juga TPS di Kabupaten Buru tidak dilengkapi dengan printer atau scan fotocopy yang seharusnya ada karena ada anggaran untuk hal dimaksud.

Menurutnya, Bawaslu telah memberikan kemudahan dengan menggunakan komputer guna mempermudah proses pencatatan formulir model C1 salinan yang akan dibagikan ke saksi parpol, DPD, DPR, presiden.

“Formulir C1 salinan itu kan sangat banyak kalau manual itu belum selesai. Karena itu kami mudahkan dengan printer, fotocopy atau mesin scan, tapi ada kabupaten yang tidak punya itu padahal ada anggarannya,” kesalnya.

Sementara itu untuk Kabupaten Maluku Tenggara, Subair mengungkapkan terjadinya banyak intimidasi dan kekerasan sekelompok orang terhadap penyelenggara yang menyebabkan perhitungan suara dihentikan.

“Kalau di Malra itu banyak intmidasi dan kekerasan tapi terbatas jumlah personel polisi sehingga belum cukup memberikan rasa aman bagi penyelenggara,” bebernya.

Lebih lanjut, Subair juga membeberkan persoalan kotak suara yang dibuang ke laut oleh beberapa orang saat perhitungan suara yang mengakibatkan penghitungan suara dihentikan.

Dia memastikan semua persoalan yang terjadi masih dalam kajian Bawaslu jika terdapat unsur pidana maka akan ditindak sesuai aturan.

Subair mengungkapkan, PSU akan diambil setelah Bawaslu Maluku melakukan rapat hasil pengawasan pemilu serentak de­-ngan Bawaslu kabupaten dan kota.

“Kami baru saja melakukan rapat hasil pengawasan dan teridentifikasi potensi PSU di beberapa daerah sebab ada beberapa temuan, jika hasil kajian terpenuhi semua unsur dan dapat dibuktikan maka kita akan keluar­kan rekomendasi,” ujar Subair.

Beberapa TPS yang akan melakukan PSU tersebar di daerah enam daerah masing-masing Kabupaten Maluku Tenggara, Kota Tual, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tengah dan Kota Ambon.

Sedangkan untuk Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Maluku Barat Daya, Bawaslu masih menunggu laporan.

Ditanya soal temuan, Subair menegaskan berdasarkan hasil pengawasan terdapat beberapa persoalan seperti adanya pemilih yang tidak berhak untuk memilih tetapi diizinkan memilih.

Selain itu ada juga warga yang tidak terdaftar dalam DPT, DPK dan DPTb tetapi oleh KPPS diizinkan untuk memilih.

“Temuannya bervariasi tapi kebanyakan karena pemilih yang tidak berhak untuk memilih, memilih di TPS seperti orang yang tidak terdaftar di DPT, DPK dan DPTb tetapi diizinkan untuk memilih. Ada juga karena 1 orang memilih dua kali, ada di TPS yang sama dan ada TPS yg berbeda, jadi akan dilakukan PSU,” tuturnya.

Terkait dengan TPS yang akan dilakukan PSU, Subair mengaku masih mengidentifikasi jumlah TPS untuk dimasukan dalam tekomendasi PSU.

Percepatan Rekapitulasi

KPU Maluku mendesak Pengawasan TPS untuk segera mengeluarkan rekomendasi jika terdapat keganjilan saat pemungutan suara.

Anggota KPU Maluku, Hanafi Renwarin kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (15/2) mengungkapkan salah satu persoalan yang sering terjadi jelang rekapitulasi surat suara yakni rekomendasi pengawas TPS.

Rekomendasi PTPS inilah yang menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam melakukan Pemungutan Suara Ulang.

“Berdasarkan PKPU waktu PSU itu 10 hari sejak hari pencoblosan artinya sampai tanggal 24 Februari, jadi kita minta Pengawas TPS jangan lambat dalam mengeluarkan rekomendasi kalau memang menurut mereka ada yang tidak beres saat pencoblosan,” ujar Hanafi.

PTPS kata Hanafi tidak boleh menunda-nunda rekomendasi sebab akan berdampak pada rekapitulasi surat suara yang sejak hari ini dilakukan oleh PPK.

Menurut Hanafi, jika ada rekomendasi pengawas TPS maka rekapitulasi tidak dapat dilakukan PPK hingga PSU selesai dilakukan untuk TPS yang diduga bermasalah.

“Selepas dari pencoblosan itu sudah ada rekapitulasi ditingkat PPK karena memang tidak ada rekapitulasi di PPS lagi dengan catatan apabila kalau ada rekomendasi dari pengawas TPS maka tidak bisa dilakukan perhitungan dilakukan sampai rekomendasi PSU baru dihitung,” tegasnya.

Hanafi berharap pengawas TPS tidak menghambat proses rekapitulasi surat suara ditingkat PPK dengan menunda-nunda rekomendasi PSU.

KPU tak Siap

KPU Maluku dinilai tidak siap dalam menggelar pemilihan, alhasil tingkat partisipasi pemilih pun ikut menurun dan banyak dijumpai masalah yang berunjung terancamnya pelaksaan PSU.

Akademisi Fisip Unpatti Jeffry Leiwakabessy menjelaskan, penurunan terhadap partisipasi pemilih dalam pemilu serentak tidak dapat dilepas pisahkan dari peran KPU sebagai penyelenggara.

KPU Maluku kata Leiwakabessy dinilai tidak siap dalam menyelenggarakan pemilu dengan begitu banyak persoalan baik secara teknis maupun partisipasi.

“Kalau kita melihat partisipasi pemilih pada pemilu kemarin memang mengalami penurunan yang disebabkan karena KPU tidak siap sebenarnya,” ujar Leiwakabessy saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (15/2).

Leiwakabessy mengungkapkan setidaknya terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pemilih, diantaranya lemahnya sosialisasi terhadap mekanisme pencoblosan dengan lima surat suara. “Banyaknya surat suara, banyaknya partai yang diikuti dengan banyaknya calon mengakibatkan pemilih malas membaca, sehingga ni dapat mempengaruhi partisipasi,” ujar Leiwakabessy.

KPU seharusnya intensif melakukan sosialisasi kepada pemilih khususnya pemilih pemula, sebab mekanisme yang begitu sulit akan menimbulkan rasa tidak ingin memilih.

Tak hanya itu, waktu pencoblosan yang sempit juga ikut mempengaruhi sudut pandang pemilihan untuk menentukan hak pilih.

“Masalah yang paling krusial juga terkait dengan TPS, kenapa ada pemilih yang jarak tempat tinggal dengan TPS cukup jauh, makanya pemilih tidak ingin untuk memilih dan ini kesalahan dari KPU dalam melakukan verifikasi data TPS,” bebernya.

Terpisah Akademisi Fisip Unidar, Sulfikar Lestaluhu juga mengungkapkan kurangnya partisipasi pemilih pada pemilu serentak dikarenakan lemahnya sosialisasi yang dilakukan KPU kepada masyarakat.

Masyarakat selama ini kata Lestaluhu tidak diberikan pendidikan politik yang maksimal tentang pentingnya pemilu.

“Memang ada begitu banyak pemilih yang tidak ikut memilih karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang tata cara pemilihan dan mestinya KPU melakukan secara maksimal persoalan ini,” jelas Lestaluhu.

Salah satu masalah yang paling mempengaruhi partisipasi pemilih kata Lestaluhu juga berkaitan dengan tidak terdistribusinya surat pemberitahuan dengan baik kepada pemilih.

Pemilih pemilu selama ini terbiasa dengan adanya undangan yang disampaikan petugas KPPS sehingga ketika tidak ada undangan maka pemilih tidak hadir di TPS.

“Hal-hal teknis seperti inilah yang harus menjadi perhatian KPU sebab semuanya mempengaruhi keputusan untuk memilih,” pungkasnya. (S-20)