PARTAI NasDem baru saja menggelar rapat kerja nasional (rakernas) pada 15-17 Juni 2022. Tentu banyak hal telah dibincangkan di forum tersebut, mulai konsolidasi internal partai dari tingkat pusat hingga daerah, perumusan strategi pemenangan, sampai yang ditunggu-tunggu publik, yakni bandul politik NasDem di pencapresan.

Perbincangan tentang siapa yang akan diusung oleh NasDem gegap gempita disuarakan kader-daerah lewat pandangan para pengurus 34 Dewan Pengurus Wilayah Partai NasDem, Kamis (16/6). Dalam konteks ini, suara dari arus bawah tentu harus menjadi salah satu pertimbangan elite utama NasDem dalam menentukan bandul politiknya dalam kandidasi.

Agenda penguatan

Jika berkehendak untuk terus berakselerasi, tentu rakernas ini harus menjadi momentum strategis bagi penguatan institusi sebagai partai modern. Paling tidak ada dua catatan penting yang bisa menjadi perhatian uta­ma dari gelaran rakernas NasDem ini. Pertama, inst­i­tusi partai harus melakukan refleksivitas orga­nisasi. Poole, Seibold, dan McPhee dalam A Struc­tura­tional Approach to Theory Building in Group Decision Ma­king Research  (1986) memandang perlu melaku­kan refleksivitas (reflexivity) untuk perbaikan organisasi.

Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan anggota organisasi untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan mem­perbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik de­ngan agenda-agenda terukur, terencana, dan membu­mikan gagasan besar seperti restorasi Indonesia dalam arus gerakan perubahan multisektor. Dengan begitu, restorasi menge­jawantah dalam kerja politik yang dipandu gagasan, bukan se­mata-mata slogan.

Baca Juga: ANDAIKAN NEGERI INI BEBAS KORUPSI ?

Kedua, Partai NasDem jika ingin memiliki kontribusi berke­lanjutan harus memaksimalkan bauran dua kesadaran penting, yakni kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan ke­sadaran praktis (practical con­ciousness). Kesadaran diskursif dengan cara mendinamisasi per­bincangan publik, baik melalui isu, wacana, maupun narasi yang terhubung langsung dengan penguatan norma kewarga­ne­garaan, politik keterwakilan, serta penguatan peradaban demo­krasi Indonesia.

Sejumlah program yang sudah dieksekusi seperti public lecture, focus group discussion, serta sejumlah mimbar akademik lainnya penting untuk dipertahankan dan dilanjutkan sehingga bisa menjadi ‘oase’ di tengah kering kerontangnya perbincangan politik gagasan dalam praktik politik praktis Indonesia saat ini.

Kesadaran praktis terhubung dengan agenda partai untuk turut hadir dalam sejumlah upaya menyelesaikan agenda-agenda kebangsaan. Partai harus menjadi artikulator suara publik, sekaligus ada kemauan dan kemampuan untuk mengadvokasi ragam persoalan publik yang mengemuka dengan menghadirkan sejumlah solusi. Misalnya dalam survei McKensey soal risiko potensial yang bisa mengemuka dalam 12 bulan ke depan. Kita diingatkan dengan risiko ketidakstabilan politik global atau konflik, inflasi, covid-19, gelembung aset, dan lain-lain (McKensey.com).

Belum lagi dari sisi politik, seperti tergambar di Indeks Demokrasi 2021 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) pada Februari 2022, yang masih me­ngategorikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang cacat (flawed democracy). Skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71 dari skala 0-10. Indonesia kini berada di peringkat 52 dari 167 negara yang dikaji.

Adapun dari lima indikator yang diukur oleh EIU untuk menentukan indeks demokrasi, skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni keberfungsian pemerintah, dari 7,50 menjadi 7,86. Kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18. Sementara partisipasi politik naik dari skor 6,11 menjadi 7,22. Namun, masih ada dua aspek yang stagnan jika dibandingkan dengan tahun lalu. Proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Adapun indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06). Oleh karena itu, hal ini perlu kerja bersama termasuk partai-partai untuk menguatkan demokrasi Indonesia saat ini dan di masa depan.

Game changer? 

Satu hal lagi yang menjadi informasi penting bagi khalayak dari rakernas Partai NasDem ialah siapa sosok yang akan diusung di pilpres mendatang. Jika melihat rekap usulan pengurus dewan pimpinan wilayah (DPW) dari 34 provinsi, nama Anies Baswedan diusulkan 32 DPW, Ganjar Pranowo 29 DPW, Erick Thohir 16 DPW, Rachmat Gobel 14 DPW, dan Andika Perkasa 13 DPW. Di tengah konstelasi yang masih bersifat cair, sepertinya Partai NasDem dari sisi strategi lebih memilih model dua tahap.

Tahap pertama mengerucutkan banyak nama menjadi tiga, kemudian tahap kedua strategi zone of possible agreement (ZOPA) dengan membawa tiga nama ini untuk menjadi pembuka area di ruang negosiasi dengan kekuatan lain. NasDem tidak bisa mengusung paket pasangan capres dan cawapres sendirian. Perolehan suara NasDem di Pemilu 2019 ialah 9,05% suara atau 59 kursi (10,26%). Sementara ambang batas syarat pencapresan 20% kursi DPR RI atau 25% suara nasional.

Saat ini, konstelasinya sudah mulai di fase konsolidasi awal. Misalnya potensi adanya tiga poros mulai terbaca dengan pergerakan partai-partai yang membangun komunikasi poli­tik lintas kekuatan. Poros pertama mungkin akan diisi oleh PDIP (128 kursi) dan Partai Gerindra (78 kursi) dengan total 206 kursi. Poros ini sangat mungkin mewujud jika capres atau cawapresnya PDIP Puan Maharani. Jika Megawati Soe­karnoputri sebagai veto player di PDIP jadinya mengusung Ganjar Pranowo, dari perspektif keuntungan politik Gerindra sepertinya akan sulit berada di dalam kongsi yang sama.

Poros kedua diinisiasi dan dimainkan oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Kongsi Partai Golkar dengan 85 kursi, PAN 44 kursi, dan PPP 19 kursi sudah me­lampaui syarat ambang ba­tas karena memiliki modal 148 kursi. Dengan demikian sudah mengunci satu tiket. Kesu­litan­nya mereka tidak memiliki figur yang kuat dari sisi elektabilitas. Kondisi tersebut juga berpe­luang mengayun (swing) ke poros-poros yang lain, terutama ke figur yang didukung oleh pemegang kuasa politik dan kuasa ekonomi saat ini.

NasDem harusnya bisa memosisikan diri sebagai salah satu pengubah permainan (game changer). Di antara PDIP dan KIB, NasDem dengan pe­ngalaman di dua pemilu terakhir saat mengusung Jokowi sebagai capres, harusnya mampu memun­culkan potensi kongsi atau poros ketiga. Ruang jelajah komunikasi politik NasDem bisa lentur dan luwes, mengingat asih tersedia sejumlah partai yang memungkinkan diajak bersama. Ada PKB de­ngan 9,6% suara (10,09%/58 kursi), ada Partai Demokrat dengan 7,77% suara (9,39%/54 kursi), dan ada PKS dengan 8,21% suara (8,70%/50 kursi).

NasDem tidak memiliki hambatan psikopolitis dengan partai-partai tersebut. Berbeda dengan PDIP yang sulit berjumpa dengan Demokrat dan PKS. Pun demikian, PKS sulit berkongsi dengan Gerindra. Dalam konstelasi inilah harusnya NasDem bisa memainkan peran sebagai pengubah permainan. Tidak mudah, tetapi bandul politik NasDem berpotensi mendinamisasi konstelasi yang ada saat ini. (*)