BERAWAL dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Tapanuli Utara Terbit Rencana Perangin-angin pada Selasa (18/1). Terkuaklah tabir di luar masalah dugaan suap proyek lelang dan penunjukan langsung pelaksanaan paket proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Langkat, yang menjerat sang bupati. Masalah lain yang dimaksud adalah perihal adanya kerangkeng manusia yang berada di dalam rumah sang bupati tersebut.  Berdasarkan hasil temuan di lapangan— tepatnya di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara—, di dalam kerangkeng manusia tersebut diduga telah terjadi praktik perbudakan dan tindak kekerasan berupa penganiayaan. Hal yang sangat mengherankan karena praktik tersebut diperkirakan telah berlangsung lama, yaitu sejak 10 tahun lalu.  Namun, pihak Terbit Rencana Perangin-angin membantah dugaan adanya praktik perbudakan di dalam kerangkeng manusia. Ia menyatakan bahwa kerangkeng itu digunakan untuk merehabilitasi para pecandu narkoba. Kata dia, tempat rehabilitasi itu bertujuan untuk membantu warga setempat dan juga dibangun karena ada permintaan dari warga. Hal itu dinyatakannya saat diperiksa oleh pihak Komnas HAM di kantor KPK di Jakarta, Selasa (7/2).

Pihak kepolisian yang terdiri dari Ditreskrimum Polda Sumut serta tim forensik RS Bhayangkara Polda Sumut juga telah mengautopsi dua jenazah dari makam yang diduga sebagai korban penganiayaan terkait dengan kerangkeng manusia (12/2). Dua makam yang digali itu berlokasi di TPU Pondok VII, Kelurahan Sawit Seberang, dan pemakaman keluarga Dusun VII Suka Jahe, Desa Purwobinangun, Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat. Sejumlah pernyataan dari berbagai lembaga telah banyak memberikan penjelasan terkait kasus yang sangat menghebohkan itu; mulai dari Polri, Komnas HAM, LPSK, Migrant Care, termasuk opini dari berbagai kalangan. Penjelasan/opini yang diberikan, pada intinya, menyatakan bahwa terdapat dugaan kuat terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO), praktik perbudakan dalam bentuk kerja paksa, serta terjadinya tindak kekerasan berupa penganiayaan. Lantas apa yang dimaksud dengan perda­gangan orang (trafficking) dan perbudakan modern (modern slavery) serta relasi antara kedua hal itu? Pembahasan secara singkat atas hal tersebut akan dilakukan dalam perspektif hukum HAM internasional.  Perdagangan orang pada dasarnya berkaitan erat dengan perbudakan. Bagian konsideran Konvensi PBB anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (UN Convention against Transnational Organized Crime/UNTOC) 2000 secara eksplisit menyatakan bahwa perdagangan orang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang terorganisasi (organized crime), di samping sejumlah kejahatan lainnya, seperti memproduksi dan memperdagang­kan senjata api secara ilegal, pencucian uang (money laundering), dan korupsi. Konvensi itu dikenal pula dengan nama Konvensi Palermo. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut pada 1 Januari 2009 dengan UU No. 5/2009.

Menarik untuk dicermati, konvensi PBB di atas memberikan kualifikasi terhadap TPPO sebagai kejahatan serius (serious crime). Itu diartikan sebagai perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dihukum melalui suatu perampasan kemerdekaan secara maksimum setidaknya lima tahun, atau suatu hukuman yang lebih serius (serious crime shall mean conduct constituting an offence punishable by a maximum deprivation of liberty of at least four years or a more serious penalty). Secara konseptual, perbudakan menurut Pasal 1 ayat (1) Konvensi untuk Menghukum Perdagangan Budak dan Perbudakan (the Convention to Suppress the Slave Trade and Slavery/the Slavery Convention) 1926 adalah status atau keadaan seseorang yang atasnya sebagian atau seluruh kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan dijalankan (slavery is the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised). Intinya, ada suatu keadaan seseorang berada di bawah kepemilikan/kekuasaan orang lain.  Kemudian, pada 1930 Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) memperluas scope perbudakan dengan memasukkan kerja paksa (forced labour).

Kerja paksa dirumuskan sebagai semua pekerjaan/jasa yang dituntut dari setiap orang di bawah ancaman hukuman dan orang tersebut tidak diberikan pilihan utuk memilih secara sukarela. Kerja paksa merupakan salah satu bentuk perbudakan modern.  Salah satu turunan dari konvensi di atas adalah Protokol Palermo untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, melengkapi Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the UN Convention against Transnational Organized Crime).  Pasal 3 Protokol di atas mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut, “Trafficking in persons shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.” Definisi ini, kemudian diadopsi ke dalam Pasal 1 UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO).

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan ada tiga unsur dalam perdagangan orang, yaitu unsur proses, antara lain berupa perekrutan; unsur cara, antara lain berupa penyalahgunaan kekuasaan; unsur tujuan, antara lain berupa eksploitasi dalam bentuk kerja paksa dan perbudakan atau praktik yang mirip dengan perbudakan (seperti kejahatan aphartheid dan kolonialisme).  Kita pun dapat melihat relasi antara perdagangan orang dan perbudakan modern, yaitu bahwa perbudakan modern diawali dari perdagangan orang. Ada pandangan yang menyatakan bahwa perbudakan modern adalah eksploitasi orang lain secara keras (severe exploitation) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau komersial.  Protokol Palermo menggambarkan layanan paksa (compelled service) dengan menggunakan sejumlah istilah yang berbeda-beda, termasuk penghambaan paksa (involuntary servitude), perbudakan atau praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan, jeratan hutang (debt bondage), dan pekerja paksa (forced labor).

Baca Juga: Efek Perpres Kewirausahaan

Jika dikaitkan dengan kasus kerangkeng manusia yang melibatkan Bupati Terbit Rencana Perangin-angin, sesungguhnya terdapat dugaan kuat telah terjadi praktik perbudakan modern yang diindikasikan dari unsur-unsur, antara lain adanya perekrutan atas sejumlah orang untuk bekerja; adanya penyalahgunaan kekuasaan; adanya eksploitasi dalam bentuk kerja paksa terhadap sejumlah orang (yang dipekerjakan di perkebunan sawit milik bupati tersebut).     Perekrutan menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 21/2007 tentang TPPO adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Unsur perekrutan ini dapat dikatakan terpenuhi berdasarkan temuan Migrant Care, yaitu adanya dua sel di dalam rumah Bupati Terbit yang digunakan untuk memenjarakan sekitar 40 orang pekerja dan kemungkinan lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan Jika mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, apa yang telah dilakukan oleh bupati Langkat tersebut, terkait dengan temuan kerangkeng manusia di rumahnya, dapat dikatakan telah memenuhi unsur penyalahgunaan kekuasaan. Karena tidak ada satu kewenangan pun yang diberikan oleh UU itu kepada seorang bupati sebagai kepala daerah untuk melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh Bupati Terbit Perangin-angin tersebut.

Lalu, pengertian eksploitasi menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 21/2007 tentang TPPO adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.  Unsur eksploitasi di atas juga terpenuhi jika mengacu kepada hasil temuan dari Migrant Care yang menyatakan bahwa para pekerja tersebut harus bekerja sedikitnya 10 jam dalam sehari. Lalu selesai bekerja, mereka dimasukkan kembali ke kerangkeng, sehingga tak mempunyai akses keluar. Bahkan mereka diduga hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak dan tak diberikan gaji.

Penyelesaian hukum atas dugaan terjadinya praktik perbudakan dalam kasus di atas sangat ditunggu oleh masyarakat. Hal tersebut penting, mengingat hak untuk terbebas dari perbudakan merupakan HAM yang berkarakter tidak dapat ditunda pelaksanaannya (non-derogable rights), sehingga negara berkewajiban untuk memberantas seluruh praktik perbudakan dalam bentuk apapun di Indonesia. Karena praktik perbudakan bertentangan dengan HAM serta nilai-nilai kemanusiaan yang paling fundamental.  Oleh Andrey Sujatmoko  Dosen, Ketua Bagian Hukum Internasional, Sekretaris Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM FH Usakti