BERBAGAI kalangan, termasuk Presiden Joko Widodo, meyakini 2022 akan menjadi momentum pemulihan ekonomi Indonesia setelah dua tahun berada dalam situasi pandemi covid-19. Sejalan dengan itu, sejumlah peraturan perundang-undangan digelontorkan pemerintah. Salah satunya, yakni Peraturan Presiden No 2/2022 tentang Pengem­bangan Kewirausahaan Nasional Tahun 2021-2024. Perpres itu, ditandatangani Presiden Jokowi pada 3 Januari 2022. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mengatakan Perpres No 2/2022 sangat diperlukan, untuk mengejar ketertinggalan jumlah wirausaha di Indonesia yang masih mencapai 3,47%. Menurut Teten, pemerintah menargetkan pertumbuhan rasio kewirausahaan per 2024 mencapai 3,95% agar struktur ekonomi nasional lebih kuat.

Perpres No 2/2022 menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan dalam mengembangkan kewirausahaan nasional periode 2021-2024 (situs resmi Kementerian Koperasi dan UKM). Melalui artikel ini, penulis ingin menganalisis musabab rasio kewirausahaan di Tanah Air yang masih rendah hingga efektivitas Perpres No 2/2022 terhadap akselerasi penumbuhan rasio kewirausahaan. “Entrepreneurship is living a few years of your life like most people won’t so you can spend the rest of your life like most people can’t.” Kata-kata di atas merupakan kutipan Warren G Tracy Student. Kalau diartikan, kira-kira artinya begini: “Kewirausahaan ialah menjalani beberapa tahun dalam hidup Anda seperti kebanyakan orang tidak melakukannya sehingga Anda dapat menghabiskan sisa hidup Anda seperti kebanyakan orang tidak bisa melakukan­nya.

” Wirausaha atau wiraswasta atau entrepreneur memiliki sejumlah definisi. Namun, pengertian paling umum ialah kegiatan usaha atau bisnis mandiri yang sumber daya dan kegiatan menjadi tanggung jawab pelaku usaha atau wirausahawan dalam membuat perencanaan, produk, hingga pemasaran. Mengutip dari situs uny.ac.id, banyak teori mengenai entrepreneurship. Akan tetapi, teori paling banyak berpengaruh ialah teori Schumpeter (1911), Knight (1921), atau Kirzner (1973). Schumpeter, misalnya, sepakat kalau entrepreneur sebagai kendaraan utama untuk menggerakkan perekonomian. Bicara soal kewirausahaan, data menunjukkan jika Indonesia masih kalah dari negara tetangga di Asia Tenggara dan dunia. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat rasio kewirausahaan Indonesia baru 3,47%, tertinggal dari Thailand (4,26%), Malaysia (4,74%), dan Singapura (8,76%). Negara maju lainnya 12%. Untuk jadi negara maju, rasio kewirausahaan minimal 12%.

Sejumlah faktor Guru Besar UGM Prof Boediono menyatakan ada sejumlah faktor yang mengakibatkan rasio kewirausahaan Indonesia kalah dari negara-negara tetangga. Faktor-faktor itu meliputi regulasi, kestabilan ekonomi makro, infrastruktur, perbankan, dan tenaga kerja. Penulis menilai ada faktor lain, yakni mindset masyarakat terhadap wirausaha. Sebagaimana kutipan Warren G Tracy Student, kehidupan wirausaha tidak seperti kebanyakan orang, terutama bagi mereka yang kerja kantoran. Perencanaan yang tidak mudah hingga eksekusi bisnis yang berpotensi meleset dari target menjadi dua dari sekian faktor yang bikin tidak banyak orang mau jadi entreprenuer. Di sisi lain, ada pekerjaan yang menawarkan kenyamanan bagi sebagian orang. Pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN), misalnya. Tahun lalu saja, ada 4.542.798 orang yang mendaftar jadi CPNS. Adapun jumlah PNS mengacu pada data Statistik Indonesia 2021 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 4.168.118. Mengapa fenomena demikian terjadi? Mungkin banyak yang sudah sering mendengar kredo “PNS adalah menantu idaman mertua”. Faktanya memang demikian. Masyarakat masih memandang tinggi ASN karena dianggap memiliki derajat lebih tinggi daripada golongan masyarakat, sekalipun wirausaha terkemuka.

Pandemi covid-19 telah berdampak kepada kehidupan masyarakat dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai imbas dari penurunan aktivitas ekonomi seiring pengetatan kegiatan masyarakat menjadi sesuatu yang lazim ditemukan. Tak ayal, satu per satu masyarakat mulai banting setir jadi wirausaha. Digitalisasi yang kian marak memicu hal itu. Sebagai contoh, sejak diluncurkan Mei 2020, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) mendorong 9,2 juta UMKM (data 2021) masuk ekosistem digital. Keberadaan Perpres No 2/2022 diharapkan mampu menggenjot percepatan penumbuhan rasio kewirausahaan. Apalagi jika dicermati, dalam perpres itu tertuang kemudahan, insentif, dan pemulihan bagi wirausaha yang sudah menjalankan usahanya dan yang baru merintis. Kemudahan mencakup pendaftaran perizinan secara elektronik, fasilitasi standardisasi dan sertifikasi dalam negeri dan untuk ekspor, akses pembiayaan dan penjaminan, pengutamaan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta pengutamaan dalam akses pasar digital BUMN.

Baca Juga: Pranata Humas Tidak Boleh Gaptek

Komite pengembangan Selain itu, tertuang kemudahan untuk mendapatkan akses penyedia­an bahan baku dan/atau bahan penolong; mengakses fasilitas umum meliputi lahan area komersial, pada tempat perbelanjaan, dan/atau tempat promosi yang strategis pada infrastruktur publik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan riset dan pengembangan usaha, serta mendapatkan akses peningkatan kapasitas usaha melalui pendampingan, pendidi­kan dan pelatihan, dan bimbingan teknis.

Belum lagi ada pengurangan, keringanan, dan/atau pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah, subsidi bunga pinjaman pada kredit program pemerintah, dan/atau fasilitas pajak penghasilan. Intinya, di atas kertas, perpres ini relevan dengan kebutuhan wirausahawan. Namun, jangan sampai perpres ini tidak tereksekusi dengan baik di lapangan karena ada ego sektoral. Untuk itu, penting agar Komite Pengembangan Kewirausahaan Nasional yang bertanggung jawab kepada Presiden dibentuk. Berdasarkan perpres ini, pelaksana komite diketuai Menkop UKM, dengan Wakil Ketua Menteri BUMN, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Mendagri. Komite beranggotakan 20 K/L itu selanjutnya akan menyusun Dokumen Pengembangan Kewirausa­haan Nasional, dan Rencana Aksi Pengembangan Kewirausahaan Nasional untuk mengembangkan kewirausahaan nasional. Harapannya, tentu tidak berakhir di dokumen, tetapi aksi konkret yang diperlukan wirausahawan demi mendongkrak rasio kewirausahaan. oleh: Erick Rompas  Pemerhati Ekonomi