AMBON, Siwalimanews – Akibat salah kebijakan yang diambil manajemen Bank Maluku-Malut, negara dirugikan sekitar Rp12 miliar. Penegak hukum diminta bertindak.

Betapa tiga tahun manajemen bank milik daerah itu sudah menikmati uang haram tanpa persetujuan RUPS, yang ditaksir sekitar Rp12 miliar, meliputi bonus triwulan, uang sekolah anak dan juga jasa produksi.

Sumber Siwalima menyebutkan, manajemen sudah menikmati uang haram itu sejak tahun 2020 hingga 2023.

“Ini mereka sudah menikmati tiga tahun tanpa didasari aturan, kok sekarang baru mau dilegalkan. Kenapa baru mau dilegalkan, karena ada temuan,” ujar sumber yang meminta namanya tidak ditulis itu, Kamis (17/8) siang.

Sumber yang sesehari bekerja di lantai tiga bank pelat merah itu bahkan menuding, ada persekongkolan jahat antara manajemen dengan Otoritas Jasa Keuangan, sebagai pengawas.

Baca Juga: 1.017 Napi Diusulkan Terima Remisi HUT RI

“OJK sebagai pengawas, semesti­nya jangan membuat keruh masalah. Semestinya, temuan itu ditindak­lanjuti, bukan malah diselesaikan dengan cara ilegal, seperti saran OJK,” kesalnya.

Masih menurut sumber tadi, te­muan tersebut bermasalah hukum dan lazimnya ditindaklanjuti sampai kepada penegak hukum.

“Temuan itu fraud dan bermasalah hukum, jangan seolah-olah OJK menganggap hal biasa. Nggak ada cerita, itu fraud dan harus disetor balik, bukan malah mencari celah aturan yang tak baku di perbankan,” kesalnya.

Dia meminta OJK dan manajemen bank harus bertindak adil dan tak pandang bulu, karena pada kasus lain, pegawai kecil bisa dihukum de­mosi hingga pemecatan karena adanya fraud.

“Kalau pegawai kecil, mereka mem­beri sanksi turun pangkat hi­ngga pemecatan. Kenapa OJK tidak memberikan sanksi yang sama terhadap manajemen bank. Ini kan tidak adil namanya,” lanjut dia.

Ditangani Penegak Hukum

Aparat penegak hukum baik Ko­misi Pemberantasan Korupsi, polisi, maupun jaksa, didorong mem­bong­kar praktik busuk dugaan pemberian remunerasi Bank Maluku Malut yang salahi aturan.

Pasalnya, pemberian remunerasi bagi jajaran direksi dan komisaris bank berplat merah itu sudah ber­langsung selama tiga tahun sejak 2021-2023 tanpa disahkan melalui RUPS yang memiliki kekuatan hu­kum mengikat.

Praktisi hukum, Fileo Pistos Noija mengatakan, langkah OJK yang meminta direksi Bank Maluku untuk memperbaiki kesalahan kebijakan, dengan meminta pemegang saham menandatangani persetujuan dalam bentuk circular letter, merupakan tindakan pembenaran terhadap hal yang salah.

Menurut Noija, dalam pendekatan hukum, seharusnya sebelum pemba­yaran remunirasi harus ada perse­tujuan pemegang saham terlebih dahulu, bukan setelah pembayaran baru diikuti dengan persetujuan.

“Ini kan mereka sudah melakukan kesalahan prosedur. Jadi surat yang tanda tangan setelah pembayaran bukan surat persetujuan tapi dari pendekatan pidana artinya mele­galkan perbuatan yang sudah dila­kukan dan itu perbuatan melawan hukum,” tegas Noija kepada Si­walima melalui telepon selulernya, Kamis (17/8).

Dikatakan, surat persetujuan yang diberikan kepada pemegang saham adalah tindakan perbuatan melawan hukum yang bisa di pidana maupun perdata.

Adapun solusi OJK agar menggu­nakan circular letter kata Noija, dapat dimaknai sebagai upaya OJK untuk berusaha membenarkan hal yang salah dilakukan oleh Direksi Bank Maluku.

“Jadi dia (OJK-red) menutup ke­curangan yang ada, mestinya tidak boleh seperti itu karena ini perbuatan melawan hukum,” kesalnya.

Sebagai lembaga pengawas, lanjut Noija, mestinya ketika menemukan adanya pelanggaran dalam pemba­ya­ran, OJK harus merekomendasi­kan proses hukum bukan melakukan pembenaran terhadap persoalan yang dibuat.

Noija pun mendesak aparat pe­negak hukum entah itu jaksa, polisi bahkan KPK sekalipun untuk masuk dan membongkar kasus pemberian remunerasi, sebab faktanya pem­bayaran dilakukan tanpa ada per­setujuan pemegang saham.

“Ini tidak dapat dibenarkan, maka­nya penegakan hukum dapat mela­kukan penyelidikan terhadap kasus perbuatan melawan hukum dari pendekatan pidana,” cetusnya.

Sesalkan OJK

Terpisah, praktisi hukum Djidion Batmomolin menyayangkan sikap OJK yang terkesan melindungi perbuatan salah yang dilakukan direksi Bank Maluku Malut.

Batmomolin menegaskan, se­panjang pengetahuan hukumnya suatu persetujuan ketika ditanda­tangani maka akan berlaku kedepan bukan sebaliknya berlaku surut.

“Solusi OJK ini salah sebab per­setujuan dan aturan itu tidak berlaku surut artinya, berlaku saat sudah ditandatangani dengan demikian kebijakan yang diambil itu salah,” tegas Batmomolin.

Menurutnya, OJK telah membe­narkan hal salah yang dilakukan oleh Bank Maluku dengan meminta pemegang saham memberikan per­setujuan melalui circular letter.

Padahal sebagian lembaga penga­was, OJK mestinya lebih teliti dalam memberikan solusi terkait dengan pelanggaran hukum yang telah di­lakukan bank dibawah pengawasan.

“Kalau sudah seperti ini kita do­rong saja aparat penegak hukum harus melakukan pengusutan kasus ini agar terbuka,” cetusnya.

Berpotensi Korupsi

Diberitakan sebelumnya, pembe­rian remunerasi bagi direksi dan komisaris Bank Maluku-Malut tanpa persetujuan pemegang saham, ada­lah penyalahgunaan kewenangan serius.

Praktisi hukum, Hendrik Lusikooy, kepada Siwalima, bilang, dalam suatu korporasi, keputusan rapat umum pemegang saham merupakan keputusan tertinggi yang dipatuhi jajaran direksi dan komisaris Bank Maluku Malut.

“Jadi kalau tahun 2023 pemegang saham mengeluarkan circular letter untuk menyetujui pembayaran remunerasi, maka hanya berlaku tahun-tahun kedepan, sedangkan pembayaran remunerasi sebelum persetujuan pemegang saham dika­te­gorikan penyalahgunaan kewe­nangan serius,” tegas Lusikooy, Selasa (15/8).

Menurutnya, kebijakan direksi dan komisaris terkait pemberian remunerasi yang mengikuti kebija­kan direksi-direksi sebelumnya, adalah perbuatan melawan hukum penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan bank dirugikan.

Bahkan, kerugian tersebut juga dialami oleh masyarakat sebab se­bagian besar saham pada Bank Ma­luku Malut merupakan modal milik daerah, artinya uang daerah adalah uang rakyat.

Tak ada Dasar Hukum

Sebelumnya, akademisi Hukum Unpatti, George Leasa mengatakan, tidak ada dasar hukum yang dipakai oleh Bank Maluku Malut melakukan pembayaran remunerasi bagi pega­wai tetap, direksi maupun komisaris, kare­na keputusan tertinggi adalah RUPS.

Mirisnya lagi, jika pembayaran remunerasi yang sudah berlangsung lama dan tanpa ada dasar hukum, maka tentu negara telah dirugikan begitu banyak.

“Kalau persetujuan besaran remu­nerasi tidak ada, tetapi dilakukan pembayaran atas dasar kebijakan direksi maka itu melanggar hukum sebab, hukum tertinggi adalah ke­putusan pemegang saham,” ungkap Leasa kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (14/8).

Menurutnya, RUPS merupakan lembaga tertinggi dalam Bank Maluku dan Maluku Utara, dimana setiap keputusan yang diambil oleh pemegang saham merupakan landa­san hukum bagi manajemen Bank Maluku untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya.

Tugas RUPS kata Leasa, yakni menetapkan pendapatan, belanja dari bank termasuk persetujuan besaran remunerasi bagi direksi dan komisaris.

Leasa mengatakan, apa yang dila­kukan dewan direksi dan komisaris dalam bank merupakan satu per­buatan melawan hukum kendati pun OJK kemudian memerintahkan agar diminta persetujuan circular letter kepada pemegang saham.

“OJK kan baru minta sekarang tetapi pembayaran telah dilakukan, artinya sudah terjadi dugaan penye­lewengan atau penggelapan baru diminta buat persetujuan, itu bagai­mana,” ucap Lessa.

Lanjut Leasa, walaupun nanti seluruh pemegang saham setuju dengan circular letter, maka mesti­nya persetujuan tersebut berlaku sejak dokumen tersebut ditanda­tangani oleh pemegang saham, bukan untuk perbuatan yang sudah terjadi di tahun kemarin.

Belum Disetujui

Kepala OJK Perwakilan Maluku, Ronny Nazar mengakui menemukan pembayaran remunerasi bagi pega­wai, direksi maupun komisaris Bank Maluku Malut.

Pasalnya, pembayaran remunerasi tersebut belum memenuhi syarat administrasi yakni persetujuan pemegang saham.

Walau demikian, hal itu bukanlah merupakan kejahatan perbankan dalam proses pembayaran remune­rasi tersebut.

Kepada wartawan di Gedung OJK, Karang Panjang, Ambon, Senin (14/8), Nazar bilang, remunerasi yang diterima oleh direksi dan komisaris Bank Maluku merupakan hal yang normal dan hampir terjadi seluruh BPD maupun bank lain dengan pola pemberian remunerasi seperti itu.

Bahkan, pembayaran remunerasi bagi direksi dan komisaris Bank Maluku Malut bukan baru berlang­sung dua tahun belakangan tetapi sejak tahun 2012. Artinya, periode pembayaran remunerasi di Bank Maluku Malut telah terjadi sejak lama dan sudah hal yang bisa di Bank Maluku bahkan diketahui oleh pemegang saham.

“Supaya ini tidak menjadi isu secara administrasi, sehingga kami minta ada dua cara yakni RUPS secara fisik dan melalui circular,” bebernya.

Menurut Nazar, baik RUPS mau­pun circular letter memiliki kekuatan yang sama sebab dijamin oleh UU Tentang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.

Salahi Aturan

Seperti diberitakan sebelumnya, Direksi dan komisaris Bank Maluku Malut, diduga melakukan praktik menyimpang yang tak boleh dilakukan oleh manajemen bank di era modern.

Hal itu dilakukan untuk menutup hasil temuan Otoritas Jasa Keua­ngan tahun 2023, tentang pemberian remunerasi kepada Direksi dan dewan komisaris bank milik daerah yang dinilai telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

Mereka mencoba mengakali te­muan OJK itu, dengan modus menjalankan circular letter, yang didistribusikan ke seluruh bupati dan walikota, serta Gubernur Malu­ku dan Maluku Utara, sebagai pemegang saham.

Pelaksanaan RUPS Sirkuler ini, pada intinya meminta persetujuan para pemegang saham tentang remu­nerasi bersifat variabel berupa bonus triwulan atau dalam bentuk apa­pun, yang telah kurun 2021 hingga saat ini, namun belum mendapat persetujuan dari pemegang saham.

Praktik busuk ini dilakukan untuk mengakali pemberian bonus triwu­lan kepada direksi dan komisaris yang telah berlangsung sejak tahun 2021 sampai 2023, namun belum pernah disetujui pemegang saham sama sekali.

Dengan kata lain, direksi dan komisaris meminta persetujuan untuk dilakukan pemutihan seluruh dana yang sudah masuk ke kantong mereka tahun 2021.

Hal ini tentu saja melanggar ke­tentuan dan berdampak pada tingkat kerugian bank secara material dengan nilai yang cukup fantastis.

Pada Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2015 pasal 26 ayat 1 disebutkan, “Bank dapat menunda pembayaran Remunerasi yang( Bersifat Variabel yang ditangguhkan (malus) atau menarik kembali Remunerasi yang Bersifat Variabel yang sudah dibayarkan (clawback) kepada pihak yang menjadi material risk takers dalam kondisi tertentu”.

Sesuai bunyi POJK Nomor 45/POJK.03/2015 pasal 26 ayat 1 tersebut, maka seluruh remunerasi yang telah dibayarkan ke direksi dan komisaris berupa bonus triwulan, harus dikembalikan ke bank atau disetor kembali, karena dalam aturan tersebut tidak mengatur tentang pemutihan atas apa yang telah dibayarkan.

Bila nantinya direksi dan komi­saris tidak melakukan penyetoran kembali, atau mengembalikan selu­ruh biaya yang sudah mereka terima selama ini, otomatis bank akan mengalami kerugian materiil dan hal ini dapat dipersamakan dengan tindakan fraud dan atu kejahatan perbankan.

Hanya Menyatukan

Direktur Bank Maluku Malut, Syahrizal Imbran yang dikonfirmasi Siwalima mengungkapkan, langkah yang dilakukan dengan menyurati seluruh pemegang saham Bank Maluku Malut adalah hanya untuk menyatukan saja dan bukan karena ada penyimpangan.

“Tidak, kita RUPS setiap tahun. Betul kita surati dan itu hanya untuk menyatukan saja, karena selama ini terpisah-pisah,” ujar Syarizal kepada Siwalima melalui telepon seluler­nya, Minggu (13/8).

Menurutnya, pihaknya melak­sanakan RUPS setiap tahun dan seluruh laporan keuangan diterima oleh seluruh pemegang saham dalam RUPS tersebut, sehingga langkah yang dilakukan dengan melakukan circular letter adalah untuk menya­tukan saja.

“Iya kita lakukan C/L itu atas usul dan saran komisaris karena selama ini kan terpisah-pisah karena ba­nyak itu pemegang saham, sehingga dilakukan untuk menyatukan, dan tidak ada penyimpangan karena laporan keuangan kita kan Wajar Tanpa Pengecualian,” ujarnya.

Ketika ditanyakan apakah kebi­jakan C/L ini dilakukan kepada sejumlah pemegang saham di Provinsi Maluku dan Maluku Utara karena adanya temuan dari OJK, Syarizal membantahnya, karena tidak ada temuan tetapi kebijakan itu dilakukan. (S-20)