AKHLAK mulia ialah dua kata yang sangat sering ditemukan dalam kalimat visi sekolah-sekolah di Indonesia. Ketika dicari penjelasan lebih lanjut mengenai makna dari kata akhlak mulia dalam visi tersebut, ada sekolah yang memberikan penjelasan, tetapi ada lebih banyak sekolah yang tidak membuat penjabarannya. Sekolah-sekolah yang menjelaskan maksud penggunaan kata-kata akhlak mulia sebagian besar merujuknya pada hal-hal yang dikaitkan dengan tingkat religiositas. Sayangnya, tingkat religiositas masih sering diukur dengan kuantitas pelaksanaan ritual agama. Jika dikaitkan dengan ibadah, sebagian orang masih memaknai ibadah sebagai pelaksanaan ritual agama. Tindakan-tindakan lain di luar ritual agama, walaupun merupakan tindakan baik, masih sering dilupakan sebagai bagian dari ibadah. Menurut Syed dan Metclafe (2014), akhlak biasa digunakan pada hal-hal yang berkaitan dengan karakter yang baik, beretika, dan bermoral.

Adibah (2013) menyampaikan bahwa kata akhlak memiliki relasi yang sangat dekat dengan kata khalik (pencipta) dan makhluk (manusia dan lainnya) sehingga bisa dimaknai bahwa kata akhlak mengisyaratkan pentingnya hubungan yang baik antara makhluk dan penciptanya serta antara makhluk dan makhluk lainnya, termasuk di dalamnya antarmanusia. Dengan penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa ketika kita ingin membentuk akhlak mulia pada siswa, seharusnya kita perlu benar-benar memastikan apakah para siswa sudah kita dampingi secara maksimal untuk menjadi manusia yang, selain rajin beribadah untuk membangun relasi langsung yang baik dengan Sang Pencipta, mampu membangun relasi yang baik dan memberikan manfaat untuk manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Kepedulian sosial Dalam hidup manusia sebagai anggota masya­rakat, ada banyak masalah sosial yang terjadi, yang membuat mereka terkadang tidak bisa menjadi manusia yang seutuhnya karena hak-hak dasar mereka, seperti hak pangan dan hak kesehatan, belum ataupun tidak terpenuhi. Mereka yang memiliki kuasa berusaha melanggengkan kesenjangan dan mementingkan kepentingan baik diri sendiri maupun kelompok mereka, antara lain dengan melakukan korupsi, sehingga mengaki­batkan banyak anggota masyarakat terzalimi dan hak-hak dasar mereka tidak terpenuhi. Kesenjangan akses dan kuasa serta ketidakadilan menjadi akar beragam masalah sosial di masya­rakat. Jika merujuk pernyataan yang disampaikan Johan Galtung (1969, 1990), pakar studi perdamaian, perdamaian yang dirasakan belumlah perdamaian yang seutuhnya karena masih ada masalah struktural dan kultural yang menghalagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Kepedulian terhadap masalah ketidakadilan sosial sudah seharusnya menjadi salah satu fokus utama dalam sektor pendidikan.

Pendidikan harus mampu membentuk pembelajar yang sadar dan peduli pada beragam masalah ketidakadilan sosial. Bukan sekadar sadar dan peduli, selanjutnya pendidikan juga harus mampu mendorong pembelajar untuk berperan aktif dalam usaha mewujudkan keadilan sosial sehingga tercipta masyarakat yang damai (Harris & Morrison, 2013, Toh & Floresca-Cawagas, 2010). Jika dikaitkan dengan definisi akhlak mulia yang sudah disampaikan di atas, inilah yang seharusnya kita maknai dalam kata akhlak mulia; yaitu ketika pembelajar mampu menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dia dapatkan selama proses belajar. Hal itu dilakukan untuk berkontribusi pada upaya penyelesaian masalah-masalah ketida­kadilan sosial.

Tugas sekolah Sekolah memiliki tugas penting untuk membentuk akhlak mulia siswa. Pemaha­man akhlak mulia memang tidak bisa kita pisahkan dari aspek religius siswa, tetapi bukan berarti akhlak mulia hanya menjadi tanggung jawab mata pelajaran agama. Ketika kita ingin membentuk siswa yang berakhlak mulia, yang mampu memberi manfaat bagi manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, pembentukan akhlak mulia harus bisa dimunculkan dalam semua mata pelajaran. Setiap mata pelajaran perlu dirancang dan disampaikan sedemikian rupa. Dengan begitu, dalam setiap pembelajarannya siswa selalu ingat dan paham bahwa mereka belajar bukan hanya untuk mencapai prestasi akademik dan lulus ujian. Tujuan belajar mereka yang jauh lebih penting ialah mem­pelajari baik pengetahuan maupun keterampilan yang bermanfaat untuk masyarakat dan ling­kungan, yang bermanfaat untuk mewujudkan ma­syarakat yang damai dan berkeadilan sosial. Untuk mewujudkan siswa yang memiliki pemahaman seperti dijelaskan di atas, tugas guru menjadi penting.

Baca Juga: Tantangan Pendidikan di Negeri Sarat Korupsi

Guru sebagai pendamping siswa dalam belajar harus mengajak siswa untuk selalu peduli pada masalah-masalah sosial di sekeliling mereka. Guru harus selalu menghadirkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi ke dalam setiap pertemuan dan menggunakan materi yang diajarkan sebagai alat untuk memahami beragam fenomena tersebut. Sebagai contoh, seorang guru matematika yang mengajarkan materi mengenai jarak mengangkat fenomena akses pelayanan kesehatan. Guru mengajak siswa menghitung jarak rumah siswa dari tempat layanan kesehatan dan membandingkannya dengan jarak yang ditempuh anggota masyarakat lain untuk mengakses layanan kesehatan. Perbedaan jarak dan dampak yang ditimbulkan pada masyarakat yang ingin mengakses layanan kesehatan bisa menjadi bahan diskusi masalah-masalah apa saja yang bisa muncul jika akses layanan kesehatan sulit dijangkau.

Dengan tetap memanfaatkan materi mengenai jarak, siswa bisa diajak untuk memikirkan solusi-solusi yang bisa diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lingkungan sekolah juga bisa memberikan contoh bagaimana akhlak mulia diterapkan mengingat sekolah sebenarnya bisa menjadi cerminan dari masyarakat tempat sekolah berada. Sebagai contoh ialah pemenuhan hak mendapatkan pelajaran agama bagi siswa yang memeluk agama minoritas. Masih sering ditemukan pembahasan mengenai penyediaan pembelajaran agama bagi siswa minoritas hanya menjadi pembicaraan antara manajemen sekolah dan siswa dan orangtua siswa yang bersangkutan. Siswa lain tidak mendapatkan informasi mengenai apa yang sedang dihadapi teman mereka dan merasa itu bukan urusan mereka. Padahal, jika sekolah menyadari betapa pentingnya topik keberagaman dan cara meresponsnya dengan benar, sekolah seharusnya menggunakan kesempatan tersebut untuk menunjukkan dan memberikan pelajaran kepada siswa mengenai cara memperlakukan mereka yang berada di kelompok minoritas.

Siswa yang berakhlak mulia bukanlah siswa yang sekadar memiliki kemampuan akademik yang mumpuni, keterampilan yang beragam, dan rajin melaksanakan ritual agama. Siswa yang berakhlak mulia sadar bahwa beribadah memiliki spektrum yang luas dan bukan sekadar melaksanakan ritual agama. Lebih lanjut, mereka mampu menggunakan kemampuan akademik dan pengetahuan yang mereka miliki untuk kebaikan. Kebaikan bukan hanya diri sendiri dan orang-orang terdekatnya, melainkan yang jauh lebih penting lagi juga untuk kebaikan manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. Dengan demikian, tercapai masyarakat dan lingkungan yang damai dan berkeadilan sosial. Oleh:: Dody Wibowo Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma, dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM.