Masyarakat pada umumnya seringkali mempertanyakan kenapa seorang narapidana dirasakan terlalu cepat dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Pertanyaan ini juga tentunya muncul pada mereka yang menjadi korban tindak pidana dan seakan merasakan ketidakadilan terhadap pelaksanaan pidana yang diterapkan kepada pelaku kejahatan di negeri ini. Pertanyaan demikian muncul dikarenakan kurangnya pemahaman korban pada khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang hak narapidana yang dapat diperoleh apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan terkait hak narapidana tersebut berkaitan erat dengan kewajiban (syarat) yang harus dipenuhi oleh setiap narapidana dikarenakan berbicara tentang hak tentunya tidak dapat dipisahkan dari kewajiban.

Hak narapidana sendiri mulai digaungkan ketika adanya pergeseran sistem pemidanaan di negeri kita dan dinamika ini jika melihat pada histori maka sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Pada fase awal kemerdekaan, hak narapidana juga mendapat perhatian dari pemerintah, salah satu contohnya diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 yang menjadi dasar diberikannya hak “remisi”. Perubahan besar-besaran terjadi saat lahirnya sistem pemasyarakatan yang dicetus oleh Sahardjo yang merupakan menteri kehakiman saat itu dimana sistem pemasyarakatan lebih menekankan pada pemulihan kembali hubungan antara narapidana dengan masyarakat (reintegrasi sosial). Upaya pemulihan hubungan tersebut tentunya tidak akan tercapai apabila hanya difokuskan pada narapidana itu sendiri dan mengabaikan peran masyarakat. Narapidana yang menjalani masa pidana di dalam LAPAS akan diberikan program pembinaan yang bertujuan memberikan bekal selama menjalani kehidupannya di lingkungan masyarakat sedangkan peran masyarakat yang sangat penting menurut penulis yaitu berkaitan dengan pengetahuan akan penerimaan narapidana yang telah menjalani masa pembinaan di dalam Lapas. Stigma negatif yang terus diberikan terhadap mantan narapidana (labeling) sudah seharusnya mulai ditinggalkan agar upaya pemulihan hubungan yang dimaksud dapat mencapai hasil yang maksimal.

Hak narapidana terdiri dari hak mutlak dan hak dengan syarat. Hak mutlak narapidana diantaranya adalah : Hak untuk beribadah, hak untuk pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, hak untuk pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan hak dengan syarat narapidana yang mungkin sering didengar namun rasanya perlu penulis sampaikan kembali diantaranya adalah :

  1. Remisi : pengurangan masa pidana

Diberikan kepada seorang narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Remisi terdiri atas :

  1. Remisi umum : diberikan pada tanggal 17 Agustus (Hari Kemerdekaan Republik Indonesia)
  2. Remisi khusus : diberikan pada saat hari besar keagamaan. Sebagai contoh narapidana beragama Islam diberikan saat hari raya Idul Firi dan narapidana beragama Kristen Protestan dan Katolik diberikan pada tanggal 25 Desember atau bertepatan dengan hari raya Natal)
  3. Remisi tambahan : diberikan kepada narapidana yang berbuat jasa kepada negara, bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, membantu kegiataan pembinaan di dalam LAPAS (pemuka).
  4. Remisi atas kejadian luar biasa : diberikan kepada narapidana yang setelah terjadi bencana alam dengan kesadarannya segera kembali ke dalam LAPAS.
  5. Remisi dasawarsa : diberikan setiap 10 tahun Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Terakhir diberikan pada tahun 2015 sehingga akan diberikan kembali pada tahun 2025.
  6. Remisi untuk kepentingan kemanusiaan : diberikan kepada narapidana berusia di atas 70 tahun atau narapidana yang mengalami sakit berkepanjangan (penyakit sulit disembuhkan, mengancam jiwa, dan memerlukan perawatan ahli).
  7. Remisi perubahan jenis pidana : diberikan kepada narapidana hukuman seumur hidup dan hukumannya telah dirubah menjadi pidana sementara. Selain itu narapidana tersebut maksimal telah menjalani 5 (lima) tahun masa pidana.
  8. Remisi susulan : diberikan kepada narapidana yang telah menjalani masa penahanan paling singkat 6 bulan atau lebih dan belum menerima putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Remisi susulan terdiri dari remisi khusus susulan dan remisi umum susulan.
  9. Asimilasi : Proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat dan diberikan kepada narapidana yang telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana. Proses asimilasi ini dilakukan sebelum seorang narapidana benar-benar dikembalikan ke dalam lingkungan masyarakat.
  10. Cuti Mengunjungi Keluarga : Program pembinaan untuk memberikan kesempatan kepada narapidana berasimilasi dengan keluarga dan masyarakat dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) hari.
  11. Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana ke dalam kehidupan masyarakat. Narapidana yang diberikan program ini adalah narapidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana. Pada ketiga program ini seorang narapidana dikembalikan ke dalam lingkungan masyarakat dengan pembimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) hingga yang bersangkutan selesai menjalani sisa pidana secara penuh. Khusus untuk program Pembebasan Bersyarat juga diawasi oleh Lembaga Kejaksaan.

 

Baca Juga: Kualitas Akreditasi melalui AKM

Seperti yang sudah penulis sebutkan bahwa hak narapidana tersebut merupakan hak dengan syarat sehingga hanya diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Syarat utama dalam pemberian hak tersebut adalah seorang narapidana harus berkelakuan baik. Yang dimaksud dengan berkelakuan baik adalah tidak melanggar aturan selama di dalam LAPAS dibuktikan dengan tidak terdaftar dalam register F (register pelanggaran) dan telah menjalani program pembinaan dengan baik. Perlu juga penulis sampaikan bahwa dalam pemberian hak narapidana, syarat khusus diberlakukan untuk narapidana :

  1. Tindak pidana korupsi : dimana narapidana yang bersangkutan harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan (justice collaborator) dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
  2. Tindak pidana narkotika, precursor narkotika, serta psikotropika dengan hukuman paling singkat 5 tahun : bersedia menjadi justice collaborator.
  3. Tindak pidana terorisme : bersedia menjadi justice collaborator, telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan menyatakan ikrar secara tertulis terkait kesetiaan kepada NKRI (WNI) dan tidak mengulangi perbuatan pidana (WNA).

 

Selain itu menurut penulis pada sistem pemasyarakatan juga tersirat sistem reward and punishment (penghargaan dan hukuman). Hak narapidana yang telah disebutkan diatas termasuk dalam kategori penghargaan sedangkan hukuman diberikan kepada narapidana yang melanggar aturan yang telah ditetapkan di dalam LAPAS. hukuman itu sendiri dapat berupa peneguran secara lisan dan tertulis, dimasukan dalam sel pengasingan dalam jangka waktu tertentu, dan penundaan hak dalam jangka waktu tertentu.  (La Ode Rinaldi Muchlis, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II Ambon)