DUA instrumen utama yang menjadi kunci dalam pengendalian mutu pendidikan yang masih tersisa dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ialah yang terkait dengan kebijakan kurikulum dan penilaian nasional. Instrumen yang terkait dengan kebijakan mutu pendidikan lainnya, seperti guru dan manajemen (kepala sekolah), sejak reformasi 1998, sudah diotonomikan terkait dengan pengangkatan, pembinaan, dan pengawasannya. Kurikulum sejak 2013 terus disempurnakan konsep dan implementasinya, sementara pemberitaan tentang pentingnya perubahan kurikulum secara berkesinambungan menjadi relatif lebih senyap. Sebaliknya, diskursus mengenai penilaian (terutama ujian nasional) selalu mengundang kontroversi; perlu atau tidak perlu dilakukan. Hampir pada setiap pergantian kepemimpinan kementerian, keberadaan penilaian nasional (baca: UN) akan selalu menjadi perhatian publik dan media massa.

Padahal kita paham betul bahwa penilaian (UN) itu sebenarnya hanya semacam kamera yang berfungsi untuk memotret kualitas hasil pembelajaran siswa. Sebagai kamera, UN tentu tidak akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan hasil pembelajaran siswa. Namun, hasil UN yang berupa data dan informasi hasil pembelajaran siswa, jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, akan dapat mendorong kualitas pendidikan. Jadi, kualitas pendidikan akan menjadi lebih baik dan mampu beradaptasi pada setiap perubahan zaman akan sangat tergantung pada bagaimana guru, pimpinan sekolah, dan pejabat dinas pendidikan memperlakukan data dan informasi hasil penilaian (ujian). Jika mereka sungguh-sungguh memperhatikan, menganalisis, dan melakukan perubahan berdasarkan hasil analisis, itu pasti akan berdampak positif terhadap kualitas pendidikan. Aktivitas semacam ini dilakukan Selandia Baru dan negara-negara yang punya skor PISA tergolong tinggi sehingga peringkat mereka pada PISA terus meningkat dan bertengger di papan atas.

Instrumen kebijakan terkait dengan penilaian nasional yang dimiliki Kemendikbud, meliputi ujian nasional (UN), yang sekarang sudah diganti dengan asesmen kompetensi minimum (AKM), dan akreditasi. Sebagaimana disebutkan pada UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 57 ayat (1) dan (2); evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik (AKM), lembaga, dan program pendidikan (akreditasi) pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. AKM berfokus pada pengukuran kompetensi hasil belajar siswa, sedangkan akreditasi mengukur kelayakan satuan atau program pendidikan atau mengukur kinerja sekolah. Meskipun berskala nasional, akreditasi nyaris luput dari perbincangan karena kegiatan itu mungkin tidak secara langsung berdampak pada keberadaan siswa sehingga kurang seksi untuk ‘digunjingkan’.

Akreditasi Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 60 ayat 1). Akreditasi sekolah/madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan satuan atau program pendidikan, yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan peringkat kelayakan yang dikeluarkan suatu lembaga yang mandiri dan profesional (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah: 2013). Pengakuan yang diberikan akreditasi mengindikasikan satuan atau program pendidikan tersebut, dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dan mutu lulusan yang dihasilkannya, telah memenuhi kualifikasi yang ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-S/M). Selanjutnya kualifikasi itu dirumuskan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, SNP harus dijadikan acuan guna memetakan profil kualitas sekolah atau madrasah. SNP yang dimaksud menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian disempurnakan dengan PP Nomor 32 Tahun 2013, Pasal 2 ayat 1, yang terdiri dari (1) standar penilaian pendidikan; (2) standar isi; (3) standar proses; (4) standar kompetensi lulusan; (5) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (6) standar sarana dan prasarana; (7) standar pengelolaan; dan (8) standar pembiayaan. Penetapan akreditasi oleh BAN-S/M dilakukan dengan menilai proses dan kinerja serta keterkaitan antara tujuan, masukan, proses, dan keluaran suatu satuan atau program pendidikan, yang merupakan tanggung jawab satuan atau program pendidikan.

AKM Asesmen kompetensi minimum (AKM) digunakan untuk memotret secara komprehensif mutu proses dan hasil belajar satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Informasi yang diperoleh dari AKM diharapkan akan digunakan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran di satuan atau program pendidikan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa. Salah satu komponen hasil belajar siswa yang diukur pada asesmen ini ialah literasi membaca dan literasi matematika (numerasi). AKM mengukur kompetensi mendasar atau minimum yang diperlukan individu untuk dapat hidup secara produktif di masyarakat. Karena itu, AKM diharapkan akan memantik strategi pembelajaran beragam sesuai dengan kemampuan siswa; teaching at the right level. Selain itu, AKM diharapkan akan memberikan inspirasi terbentuknya kultur belajar-mengajar yang memosisikan siswa sebagai fokus utama pembelajaran, menggeser paradigma dari mengajarkan materi menjadi menumbuhkan kompetensi secara konstruktif dan adaptif (Asrijanty: 2020). Selama ini kedua instrumen kebijakan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan berupa kegiatan penilaian dan akreditasi masih dikelola terpisah.

Baca Juga: Obat Covid-19

Butir pertanyaan/pernyataan instrumen akreditasi yang terkait langsung dengan hasil (skor) penilaian (UN) masih terkesampingkan, belum menjadi persyaratan penting untuk memperoleh peringkat baik/sangat baik dalam akreditasi, sehingga beberapa satuan atau program pendidikan perolehan hasil akreditasi dan penilaian (UN) sering kurang padu dan selaras. Beberapa satuan atau program pendidikan, misalnya, perolehan hasil (skor) akreditasi menunjukkan peringkat sangat baik, tapi hasil penilaian (baca: UN) menyatakan sebaliknya. Akibat pengelolaan kegiatan dan penilaian secara terpisah, inkonsistensi peroleh skor penilaian (UN) dan peringkat akreditasi sering terdeteksi terlambat.

Itu disebabkan informasi tersebut baru bisa diketahui melalui kajian kebijakan atau penelitian ilmiah. Untuk mengukuhkan kualitas dan integritas hasil akreditasi, instrumen akreditasi yang digunakan harus menjadikan skor perolehan AKM sebagai bagian terpenting dalam menetapkan peringkat akreditasi sekolah/madrasah. Rumusan hasil AKM ini bisa ditampilkan pada bagian standar kelulusan dan standar penilaian. Kemajuan pendidikan merupakan tekad dan upaya bersama (concerted efforts). Keberadaan lembaga independen yang mengelola kegiatan akreditasi dan penilaian hendaknya dapat terus bersinergi dan kompak, apalagi secara administratif kedua lembaga, BAN-S/M dan BSNP, dikoordinasikan Balitbang Kemendikbud. Wallahu a’lam.(Syamsir Alam, Divisi Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma)