AMBON, Siwalimanews – Tata kelola pemerintahan yang dilakukan Gubernur Murad Ismail dan Wakil Gubernur Barnabas Orno dinilai paling buruk sepanjang Provinsi ini berdiri.

Pasalnya, sejak dilantik pada April 2019 oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, tidak ada perubahan dalam konteks pengelolaan pemerintahan.

Sebaliknya, hingga penghujung masa jabatan Murad Ismail dan Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno yang berakhir pada 31 Desember 2023 mendatang justru meninggalkan sejumlah persoalan.

Salah satu indikator yang menjadi tolak ukur penataan birokrasi yang carut-marut yakni birokrasi yang lebih banyak diisi oleh Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas.

Akibat dari tata kelola pemerintahan yang buruk ini, DPRD Provinsi Maluku dalam kewenangannya berulang kali telah menyoroti namun sayangnya tidak ada upaya perbaikan dari Gubernur dan Wakil Gubernur.

Baca Juga: Jaksa Didesak Periksa Direktur RS Haulussy

Sejumlah jabatan yang masih diduduki Pelaksana tugas dan Pelaksana Harian diantaranya, Kepala Dinas Kesehatan, Meikyal Pontoh yang merangkap Kepala Dinas Pariwisata.

Ada juga Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku yang dijabat dosen Fakultas Pertanian Unpatti, Insun Sangadji. Tak hanya itu, jabatan kepala dinas Kehutanan Maluku juga masih dijabat, Haikal Baadila sebagai Pelaksana Harian.

Terakhir kebijakan Gubernur Murad Ismail yang terkesan tidak populis dengan mencopot Muhamat Marasabessy dari jabatannya sebagai Kadis PUPR dan diganti dengan Ismail Usemahu yang saat ini sedang menjabat sebagai Kepala BPBD Maluku.

“Tata kelola pemerintah provinsi sangat terburuk, di zaman pemerintahan Murad-Orno ini, coba di lihat Plh dan Plt begitu banyak,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Jantje Wenno kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Selasa (22/8).

Wenno prihatin dengan kondisi Birokrasi di Maluku dibawah kepemimpinan Gubernur Murad Ismail dan Wakil Gubernur Barnabas Orno.

Padahal, masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur hanya tersisa empat bulan tetapi justru mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan.

“Jika mereka belum melakukan pemeriksaan dugaan pemalsuan NIP tapi sanksi telah dijatuhkan, apalagi dijadikan dasar SK pencopotan itu sangat keterlaluan,” tegasnya.

Wenno menjelaskan sesuai Peraturan Mendagri Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatangan Persetujuan Tertulis untuk Melakukan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah.

Dalam Permendagri itu ditegaskan, bahwa gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.

“Kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri, kebijakan ini tidak benar, makanya saya bilang tata kelola pemerintahan ini sangat buruk sepanjang daerah ini ada,” kesalnya. (S-20)