AMBON, Siwalimanews – Teller Welliam Ferdinandus di­sebut melakukan penarikan tunai tanpa kehadiran nasabah. Welliam melakukan transaksinya sebanyak enam kali.

Hal tersebut disampaikan, auditor internal BNI 46 Cabang Ambon, Frangky Akerina dalam sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi dan pembobolan dana nasabah BNI Ambon dengan pemeriksaan saksi, Selasa (18/8).

Dia menyebut, Welliam mela­kukan penarikan tunai memproses dari rekening BNI atas nama nasabah Jonny de Queljuw tanpa sepengetahuan nasabah.

Welliam juga melakukan tran­saksi tersebut tanpa melakukan verifikasi sesuai standar opera­sional prosedur. Dia membuatnya seolah-olah nasabah berada dihadapannya.

“Welliam melanggar ketentuan penarikan tunai. Harusnya nasa­bah wajib ke kantor, menandatangi formulir penarikan. Dia juga wajib melakukan verifikasi,” ujarnya.

Baca Juga: Jaksa Pasok Dokumen Korupsi Irigasi Sariputih

Welliam juga melakukan pela­nggaran terkait RTGS. Akerina me­nyebut, saat melakukan transaksi itu seseorang yang melakukan transaksi wajib membawa uang fisik. Namun, hal itu tidak dilakukan teller tersebut.

“Seorang teller harusnya verifi­kasi jumlah uang dan orang yang melakukan penyetoran,” katanya.

Akerina menuturkan, Welliam melupakan satu hal penting saat melakukan transaksi. Dia harus­nya melakukan panggilan (call) kepada nasabah, apabila nasabah tersebut tidak sempat hadir.

“Pemimpin juga harusnya melakukan kontrol. Transaksinya tidak boleh dilakukan. Wajib melakukan panggilan lalu pencatatan. Termasuk siapa yang dan kapan waktunya,” ujarnya. Dia menyebut hal itu tidak tidak dilakukan Welliam dalam semua transaksi.

Dalam sidang itu, jaksa penuntut umum juga menghadirkan mantan Pimpinan BNI Cabang Utama Ambon Ferry Siahainenia dan Wakil Pimpinan Pemasaran dan Bisnis BNI Cabang Ambon, Nolly Stevi Sahumena sebagai saksi.

Ferry menyebut, kejahatan itu terbongkar saat ada pelaporan dari Aru terkait selisih kas. Kemudian, tim audit melakukan audit  terkait dengan penarikan tanpa nasabah dan transfer uang tanpa fisik tersebut.

“Saya tahu dengan jelas setelah tim mengaudit,” katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Nolly. Dia mengetahui transaksi tersebut saat mendapat laporan ketika melakukan kunjungan kerja di Masohi. Keduanya lalu menjelaskan, transaksi yang dilakukan Welliam sesuai dengan dakwaan jaksa.

Sidang itu dilakukan secara online melalui sarana video conference. Majelis hakim,  jaksa dan penasehat hukum terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon. Sedangkan terdakwa berada di Rutan Klas II A Ambon.

Majelis hakim diketuai Pasti Tarigan, didampingi Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota. Sedangkan penasehat hukum adalah Markus Manuhutu.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum M. Rudy membeberkan peran Welliam. Dia menyebut, Welliam turut membantu Faradiba Yusuf melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa telah melakukan penarikan tunai tanpa sepengetahuan nasabah, transaksi setor tunai tanpa uang fisik, dan transfer RTGS tanpa uang fisik atas permintaan Faradiba.

Pada 13 September 2019, Welliam menerima transaksi setor tunai tanpa uang dari nasabah Jonny de Quelju sebesar Rp. 125 miliar. Saat itu, terdakwa menjabat menjadi Asisten Pelayanan Uang Tunai Kantor Kas Mardika. Dia juga memberikan password kepada Faradiba untuk otorisasi transaksi perbankan melalui kewenangan Andi.

Pada 17 September 2019, Welliam melakukan penarikan uang nasabah sebanyak 5 kali, masing-masing sebesar Rp. 5 miliar dari rekening BNI atas nama nasabah Jonny de Quelju. Atas transaksi tersebut, ia menerima uang Rp. 10 juta dari terdakwa Faradiba Yusuf melalui terdakwa Andi Yahrizal selaku KCP Mardika.

Pada 19 September 2019, Welliam melakukan penarikan tunai sejumlah Rp. 5 miliar tanpa sepengetahuan nasabah Jonny de Queljuw. Penarikan uang tersebut kemudian digunakan untuk ditransfer ke Tata Ibrahim Rp. 2,1 miliar tanpa disertai uang fisik, RTGS ke rekening Jonny senilai Rp. 500 juta sebagai cashback, penarikan tunai Rp. 2,3 miliar dan diserahkan ke Soraya Pelu, serta uang Rp. 100 juta yang diserahkan ke Faradiba. Faradiba lalu memberikan Rp. 15 juta kepada Andi, dan Rp. 10 juta ke Welliam.

Saat menjabat sebagai teller di Tual, Welliam juga melakukan RTGS tunai tanpa disertai fisik ke rekening atas nama Soraya Pelu senilai Rp. 3 miliar dengan keterangan membayar bahan baku mebel.

Selain itu, dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, dia juga yang melakukan penyetoran uang senilai Rp. 19,8 miliar BNI KCP Tual. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Perbuatan terdakwa diancam Pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1). KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH­Pidana.

Terdakwa juga dikenakan subsider sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan terdakwa juga diancam Pidana dalam Pasal 9 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Cr-1)