AMBON, Siwalimanews – Warga gereja meminta segera dilakukan perom­bakan besar-besaran di yayasan maupun RS.

Desakan agar Gereja Protestan Maluku selaku pemilik Rumah Sakit Sumber Hidup melakukan perombakan manejemen, semakin menguat, menyusul berbagai per­soalan yang tak mampu dise­lesaikan eks direktur, pelaksana tugas direktur sekarang dan pihak Yayasan Kesehatan GPM.

Mulai dari gaji pegawai dan jasa tenaga medis tahun 2019-2020 yang tak dibayarkan hingga mundurnya para dokter, jadi alasan utama.

Beberapa pegawai yang men­datangi Siwalima Selasa (7/9) mengaku, mereka ada dan ber­tahan sampai saat ini hanya karena rasa cinta mereka terhadap rumah sakit milik GPM itu.

Mereka juga mengeluhkan pe­ngurus yayasan yang terkesan tutup mata terhadap hak-hak pe­gawai yang dikebiri oleh rumah sakit.

Baca Juga: 256 Warga Leihitu Divaksin

Mereka lalu mencontohkan, dana BPJS dimana di dalamnya termasuk  hak perawat dan dokter, sudah dibayarkan oleh BPJS sam­pai pertengahan tahun ini, namun tidak pernah sampai ke tangan pe­rawat, bidan, maupun dokter.

“Perawat, bidan dan dokter itu bekerja karena ini adalah pelayanan kepada banyak orang dan kecin­taanya kepada RS. Tetapi manajemen RS tidak tahu diri,” kata salah satu diantaranya, sambil meneteskan air mata.

Di isisi lain, lanjut dia, ambu­r­a­dulnya manajemen rumah sakit tersebut akibat dari rekruitmen pe­gawai non medis yang terlampau besar, sehingga berpengarh terha­dap pembayaran gaji pegawai.

“Harusnya ada perampingan pe­gawai. Terutama tenaga non­medis. Pembengkakan pembayaran gaji juga disebabkan jumlah tenaga non­medis yang tidak rasional,” ung­kapnya.

Informasi lainnya, untuk hak-hak pegawai, jasa medis yang belum terbayarkan, pernah dilaporkan ke Depnaker pada Januari 2021 di Jakarta. Tapi Depnaker mengem­balikan penyelesaian kepada internal rumah sakit.

“Kami pernah membawa kasus ini ke Depnaker dan  Depnaker me­nyu­rati yayasan dan pihak rumah sakit untuk segera diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi sampai hari ini ternyata yayasan dan rumah sakit mengabaikan semua itu,” kata sumber itu.

Pelaksana Direktur merangkap Ketua Yayasan Rumah Sakit Sumber Hidup, Elviana Pattiasina yang di­konfirmasi Rabu (8/9), lagi-lagi tidak merespon panggilan telepon mau­pun pesan WhatsApp yang dikirim padanya.

Siwalima lalu berinisiatif untuk datang ke kantor Yayasan Kese­hatan GPM, Rabu (8/9) siang.

Kantor yang terletak persis di be­lakang RS Sumber Hidup, itu terlihat sepi dan tak ada tanda-tanda akti­fitas. Setelah pintu kantor diketok berkali-kali, seorang ibu paruh baya keluar dan mengaku beberapa hari ini tidak ada pegawai yayasan yang datang. “Beta cuma sebagai penjaga kantor. Ibu belum datang, mungkin masih di DPRD,” ujarnya tanpa mau menyebutkan namanya.

Sementara pantauan Siwalima, di Kantor DPRD Maluku, Pattiasina yang merupakan anggota Komisi IV diketahui tak berkantor sejak Senin (6/9).

”Dari hari Senin kemarin, ibu Nia belum datang di DPRD,” terang salah satu staf DPRD Maluku yang enggan namanya dikorankan.

Diputus BPJS

RS Sumber Hidup memang dililit banyak masalah, salah satunya pemutusan kontrak BPJS tanggal 15 Juni 2019, menyusul berakhirnya status akreditasi pada tanggal 14 Juni 2019 lalu.

Dengan pemutusan kontrak kerja­sama itu, peserta JKNe-KIS tidak lagi dilayani di Rumah Sakit Sumber Hidup Ambon.

Hal disampaikan Kepala BPJS Kesehatan Cabang Ambon  Afliana Latumakulita, melalui surat pembe­ritahuan yang di keluarkan BPJS Kesehatan Cabang Ambon.

Langkah ini dilakukan BPJS Kese­hatan, lantaran tidak terpenuhi sya­rat kerjasama sesuai dengan perun­dang-undangan yang berlaku yaitu belum adanya sertifikat akreditasi RS.

Setelah heboh diberitakan, pihak RS yang kala itu dipimpin Henny Tipka buru-buru mengambil langkah dan per tanggal 13 Juli 2019 RS Sumber Hidup kembali terakreditasi.

Dibenahi

Menanggapi kondisi rumah sakit yang manajemennya amburadul itu warga GPM angkat bicara. Akade­misi Fisip UKIM Ongky Samson mendorong pembenahan manaje­men rumah sakit milik GPM tersebut.

“Kalau masalah seperti ini maka harus diubah managemen rumah sakit,” tegas Samson.

Menurutnya, perombakan perlu dilakukan agar masalah-masalah yang terjadi sejak tahun 2020 lalu dapat dituntaskan, khususnya ber­kai­tan dengan pembayaran gaji pe­gawai dan tenaga kesehatan rumah sakit.

Sementara Ketua GMKI Cabang Ambon, Josias Tiven  mengatakan GPM sebagai pemilik yayasan dan RS Sumber Hidup, harus serius melihat permasalahan yang terjadi sejak tahun 2019- 2021 ini.

Menurutnya, rumah sakit sumber hidup yang sebelumnya memiliki nama RS GPM, dahulunya merupa­kan rumah sakit dengan tata kelola serta manajemen keuangan yang baik sehingga menjadi kebanggaan warga Kota Ambon.

Sayangnya, sejak tiga tahun ter­akhir RS Sumber Hidup ini meng­alami kemunduran yang sangat signifikan sebagai akibat dari per­gantian pimpinan yayasan dengan harapan agar dapat mengatasi masalah melainkan tetap sampai saat ini belum bisa diselesaikan.

“Wajar saja banyak dokter yang berhenti kerja serta tenaga medis dan karyawan yang protes dan me­ngeluh, karena mereka telah men­jalankan kewajiban mereka namun hak-hak mereka tidak dipenuhi,” ujarnya.

Karena itu, pihak Sinode GPM harus mengambil langkah cepat untuk membenahi manajemen RS Sumber Hidup, bila perlu ketua yayasan diganti dengan orang yang lebih profesional. “Kalau bisa jangan lagi dari kalangan politisi,” tegasnya.

Tiven menegasakan Sinode GPM harus secapat mengambil langkah tegas dan tepat dalam membenahi tata kelola serta manajemen keua­ngan RS Sumber Hidup, karena ini menyangkut nama baik GPM di mata warga Kota Ambon.

Dengan adanya pembenahan maka diharapkan secepatnya hak-hak dari tenaga medis dan karyawan segera dipenuhi agar dapat bekerja dan menjalankan tugas mereka kembali.

Sebab, jika tidak maka kerugian juga dapat dirasakan bukan hanya tenaga medis dan karyawan RS Sumber Hidup, namun berdampak juga pada pasien-pasien serta orang-orang yang hendak berobat di sana.

Mismanejemen

Diberitakan sebelumnya, kualitas RS Sumber Hidup terus menurun, akibat mismanejemen kurun tiga tahun terakhir. Banyak dokter mundur dan memilih hengkang dari rumah sakit itu milik gereja itu.

Pilihan para dokter untuk mundur, tak lain dan tak bukan adalah karena jasa-jasa mereka setahun belaka­ngan tak dibayar.

Informasi yang dihimpun Siwa­lima menyebutkan, manajemen ke­uangan sudah berlangsung kurang lebih tiga tahun. Pihak yayasan yang diserahi tanggung jawab untuk mengelola rumah sakit itu juga tidak mampu melakukan pembenahan.

Akibatnya, Sidone GPM lalu mengganti pengurus yayasan yang sebelumnya dipimpin Senda Titaley, kepada Elviana Pattiasina.

Alih-alih pergantian pengurus itu akan bisa membawa perubahan di rumah sakit itu, kini malah pegawai dan tenaga kesehatan mengeluh dan mengungkapkan kekesalan mereka ke publik melalui media massa.

Satu pegawai RS Sumber Hidup yang menemui Siwalima Senin (6/9) menyebutkan, umumnya karya­wan rumah sakit bingung dengan cara pengelolaan. Pasalnya sekali­pun pasien yang resmi terdaftar ba­nyak, namun tetap saja tak ada uang untuk membayar hak-kak mereka.

“Manajemen keuangan bocor di mana-mana. Jadi begini, pasien masuk rumah sakit bayar. Operasi bayar. Logikanya begitu kan. Di­samping pembayaran, ada klaim BPJS. Pembayaran itu umum. Lalu uang-uang dan BJS itu akang ke mana? Mestinya uang-uang yang masuk itu digunakan untuk bayar jasa nakes. Sekarang apa yang terjadi, para dokter banyak mundur. Kan orang bekerja karena jasa. Lha kalau orang seng dapa bayar jasa, mana ada yang mau tetap kerja,” ungkap sumber itu.

Baru 70 Persen

Tenaga medis dan karyawan RS GPM, mengeluhkan hak mereka yang belum terbayarkan. Pasalnya, sejak Juni 2020 lalu, gaji pegawai dan tenaga medis baru dibayar 70 persen saja.

Sumber Siwalima di Rumah Sakit itu mengaku, sudah berbagai cara mereka tempuh untuk memperoleh hak-haknya, namun tetap menemui jalan buntu.

“Bayak cara sudah katong laku­kan, tapi hanya diberi janji saja,” kata sumber yang tak mau namanya ditulis itu, Jumat (3/9) lalu.

Menurut sumber itu, pihak yaya­san dan rumah sakit sejak 2020 ber­ulang kali berjanji akan menyele­saikan kekuarangan hak yang ha­rusnya diterima, tapi sampai seka­rang janji tinggal janji.

Bukan hanya kekuarangan gaji saja, tapi jasa medis BPJS perawat dan bidan pun tidak dibayarkan sejak Januari 2020. Termasuk jasa medis BPJS dokter spesialis juga tidak dibayarkan sejak akhir 2020 sampai sekarang. Alhasil, konsisi itu berimbas terhadap kinerja penata anastesi, perawat kamar operasi, perawat di ruangan dan bidan.

Termasuk pelayanan pasien ter­utama pasien operasi baik emergensi maupun pasien reguler tidak berjalan baik. Sebelumnya, masalah amburadul manajemen rumah sakit kebanggaan GPM itu sudah tercium sejak 2019-2020.

Kala itu Direktur Rumah Sakit Sumber Hidup masih dipegang oleh Henny Tipka. Kepemimpinan Tipka ini berimbas kepada mogoknya para pegawai pada Desember 2020 lan­taran hak-hak mereka tidak diba­yarkan.

Saat pegawai mogok, Tipka ber­janji akan membayar hak-hak mereka berupa THR, jasa medis selama 1 tahun, serta kekurangan gaji 30 persen seluruh karyawan. Disisi lain, Sinode GPM tak tinggal diam. Pihak Sinode GPM lalu mengambil kebi­jakan, untuk mengucurkan dana sebesar Rp 1,5 miliar, agar hak-hak pegawai dapat tertangani.

“Ibu pelaksana tugas direktur su janji mau menyelesaikan masalah ini sejak Februari 2021 lalu, ternyata sampai skarang masalahnya masih tetap sama. Kasihan perawat, bidan dan keluarganya. Gaji 70 persen dan jasa tidak jelas,” ungkap sumber itu.

Mogok 2020

Untuk diketahui akibat belum dibayarnya semua hak pegawai RS Sumber Hidup, maka seluruh pega­wai baik tenaga medis, maupun pega­wai non medis, melakukan aksi demo dan mogok kerja, Kamis, 24 De­sember 2020 lalu. Mereka menuntut hak mereka berupa jasa medis selama 1 tahun yang belum dibayarkan, serta kekurangan gaji 30 persen, sebab sejak Agustus 2019 yang di­terima hanya sebesar 70 persen.

Selain itu, aksi protes itu dilaku­kan untuk meminta perhatian dari kepada Pimpinan Yayasan RS Sum­ber Hidup, dikerenakan mereka be­lum menerima THR, padahal tinggal menghitung jam umat Kristiani sudah memasuki perayaan Natal.

Aksi kedua dilakukan Senin, 28 Desember 2020. Masih dengan tuntutan serupa, karyawan dan nakes meminta hak mereka berupa jasa medis selama 1 tahun diba­yarkan serta kekurangan gaji 30 persen sejak Agustus 2019 yang belum diterima. (S-16/S-50/S-52)