AMBON, Siwalimanews – Sebagai Bupati Kabupaten Maluku Tenggara, Taher Hanu­bun dinilai bertanggung jawab terhadap pengelolaan penggu­naan dana Covid-19 yang diduga dikorupsi.

Hanubun sebagai mantan orang nomor satu di kabupaten tersebut, semestinya bertanggung jawab ter­hadap penyalahgunaan dana Covid-19 bernilai ratusan miliar.

Pengelolaan dana tersebut berpo­tensi korupsi karena mengalami pe­rubahan, dimana perubahan tersebut juga tidak diketahui pimpinan-pimpi­nan OPD.

Awalnya anggaran dana Covid se­besar Rp36 miliar di tahun 2020 dan kemudian direvisi menjadi Rp40 miliar, namun dalam dokumen pertanggung­jawaban keuangan pada BPKAD ter­nyata jumlahnya bukan lagi 40 miliar, tetapi naik 96 miliar, berbeda lagi pada laporan pertanggungjawaban bagian Inspektorat anggaran menjadi 110 miliar.

Anggaran dana Covid-19 Kabupa­ten Malra ini dibidik Ditreskrimsus Polda Maluku, tercatat sedikitnya 13 saksi yang terdiri dari pimpinan OPD di Pemkab Malra telah dimintai ke­terangan.

Baca Juga: Jaksa Periksa Tiga Tersangka Kasus DIPA Poltek

Menurut Praktisi Hukum Djidon Batmomolin, jika pimpinan OPD tidak mengetahui adanya refocusing anggaran, maka penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku harus juga mintai keterangan dari mantan Bupati Malra, Taher Hanubun.

Sebagai bupati, Taher dinilai sa­ngat mengetahui pengelolaan ang­ga­ran dana Covid-19 tahun 2020 di Kabupaten Malra.

“Jika pimpinan OPD tidak me­ngetahui adanya anggaran pada dinas masing-masing yang direco­fusing, maka harus ditanyakan ke­pada Bupati dan bagian keuangan

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (2/11) Batmomolin menjelaskan, dalam laporan ke­uangan tidak dapat dibenarkan adanya anggaran yang berubah-ubah. “Itu kan sudah nyata-nyata ada penggelembungan anggaran dari 36 menjadi 110 miliar artinya ini ada indikasi dugaan korupsi yang terjadi dalam penggunaan anggaran covid-19,” ungkap Batmomolin.

Kata dia, menjadi pertanyaan publik terkait alasan terjadinya pe­nggelembungan anggaran yang mencapai puluhan miliar rupiah, sebab tidak dapat diterima oleh akal sehat maupun secara hukum.

Ditreskrimsus Polda Maluku lanjut Batmomolin, harus melakukan penyelidikan yang lebih mendalam terkait dengan kasus Covid-19 ka­rena sangat merugikan keuangan daerah.

Salah satu upaya yang harus dila­ku­kan dengan meminta pertang­gung­jawaban mantan Bupati Ma­luku Tenggara dan bagian keuangan terkait dengan anggaran, sebab apapun alasannya pasti diketahui kedua orang tersebut.

“Jadi intinya bahwa semua orang yang terlibat di dalam kasus ini baik bupati, bendahara, keuangan harus turut diperiksa  supaya bisa keta­huan siapa aktor dibalik dugaan itu,” tegasnya.

Batmomolin pun mengingatkan Ditreskrimsus Polda Maluku agar tidak tebang pilih dalam pengusutan kasus dugaan korupsi Dana covid-19 sebab siapapun yang diduga ter­libat harus bertanggung,” ujarnya.

Harus Berani Tindak

Terpisah, praktisi hukum Alfred Tutupary menjelaskan, pertang­gung­ja­waban keuangan daerah biasanya tidak terjadi perbedaan nominal belanja antara satu instansi dengan yang lain.

Jika faktanya telah terjadi per­bedaan nilai anggaran covid-19 maka patutlah diduga telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi yang harus diusut kepolisian.

“Aparat penegak hukum harus menelusuri itu kasus covid-19 dan menyimpulkan siapa balik kasus ini, sebab secara umum diduga telah terjadi tindak pidana korupsi pada perkara tersebut,” jelasnya.

Polisi kata Tutupary semestinya  tidak boleh segan-segan untuk menindak siapapun itu yang terlibat dalam perkara dimaksud termasuk bupati

“Siapapun itu yang terlibat di dalamnya itu harus dipanggil untuk dimintai keterangan dan pihak ditreskrimsus Polda Maluku tidak boleh takut untuk menetapkan siapa­pun itu sebagai tersangka jika pihak ditreskrimsus telah mengantongi minimal 2 bukti,” tegasnya.

Indikasi Korupsi Nyata

Sebelumnya, praktisi hukum, Fileo Pistos meminta Polda Maluku me­ngusut tuntas kasus dugaan penya­lahgunaan anggaran dana Covid-19, Kabupaten Malra.

Pasalnya, indikasi korupsi 70 miliar dana Covid sangat jelas, se­hingga penanganannya juga harus­lah transparan.

Menurut Noija, jika dilihat dari aspek hukum maka indikasi korupsi telah nyata terjadi dalam kasus dana Covid-19 di Malra.

Indikasi korupsi tersebut kata Noija, terlihat dari nilai anggaran covid-19 yang berbeda antara satu instansi dengan yang lain.

“Sebetulnya ada indikasi ada dugaan terjadi tindak pidana korupsi karna jumlah itu berubah-ubah bukan berubah-ubah turun tapi berubah-ubah naik. Nah persoa­lannya ialah kenapa ia berubah naik, itu yang menjadi persoalan,” tegas Noija.

Dijelaskan, dalam dokumen per­tanggungjawaban keuangan biasa­nya besaran anggaran diploting satu kali untuk seluruh belanja pe­merintah, bukan berubah naik.

Indikasi tersebut lanjut Noija, telah membuktikan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi akibat dari penyelewengan jabatan oleh oknum-oknum tertentu di Pemkab Maluku Tenggara.

Dengan adanya fakta anggaran yang berubah-ubah, Noija pun me­minta Ditreskrimsus Polda Maluku untuk segera meminta pertanggung­jawaban oknum-oknum di Pemkab Malra termasuk mantan Bupati Malra dan bagian keuangan yang dipandang mengetahui anggaran tersebut.

“Bukan keberanian tapi polisi harus memanggil mereka, supaya ada kepastian penggunaan angga­ran tersebut,” jelasnya.

Noija juga mengapresiasi langkah polisi yang telah marathon mema­nggil dan memeriksa 13 OPD, sehi­ngga dirinya yakin polisi akan me­meriksa sejumlah OPD maupun pihak-pihak terkait yang berkaitan dengan kasus ini.

Seluruh OPD

Diberitakan sebelumnya, penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku, marathon menyelidiki kasus dugaan penyalahgunaan dana Covid 19, di Malra.

Tercatat sedikitnya 13 pimpinan Organisasi Perangkat Daerah di lingkup Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara telah dimintai keterangan.

Ditreskrimsus Polda Maluku, Kombes Harold Huwae mengatakan, sudah 13 pimpinan OPD yang di­mintai keterangan.

Menurut mantan Kapolres Ambon ini, dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil 33 OPD lagi untuk dimintai keterangan.

“Masih kurang 33 OPD lagi, panggilan akan dilayangkan,” ung­kap Huwae kepada Siwalima mela­lui pesan Whatsapp, Selasa (31/10).

Ditanyakan soal pemerksaan 13 saksi itu apakah ada temuan yang menjurus kepada perbuatan mela­wan hukum, Huwae menolak berko­mentar dengan alasan masih penye­lidikan. “Masih lidik,” ujarnya si­ngkat.

70 M Bermasalah

Sementara itu informasi yang diperoleh Siwalima terindikasi ang­garan dana Covid Malra berpotensi korupsi.

Hal ini karena anggaran tersebut mengalami perubahan, dan peru­bahan tersebut juga tidak diketahui pimpinan-pimpinan OPD.

Kepada Siwalima, Selasa (31/10) sumber yang meminta namanya tak dikorankan ini menyebutkan, dalam laporan pertanggungjawaban dana covid anggaran yang awalnya ter­tera sebesar Rp36 miliar di tahun 2020.

Selanjutnya anggaran tersebut direvisi menjadi Rp40 miliar.

“Anggaran total awalnya 36 miliar, kemudian direvisi menjadi 40 milar, dalam dokumen pertang­gung­jawaban keuangan pada BPKAD ternyata jumlahnya bukan lagi 40 miliar tetapi naik 96 miliar, berbeda lagi pada laporan pertanggung­jawa­ban bagian Inspektorat anggaran menjadi 110 miliar,” ujar sumber itu.

Sumber ini kemudian memper­tanyakan APBD ditetapkan tahun 2020 lalu datanya bisa berubah-ubah. Dimana tidak ada data tetap refocusing dan alokasi dana Covid tahun 2020 di Kabupaten Malra.

Selain itu dari jumlah anggaran tersebut, lanjut sumber, terindikasi ada selisih 70 miliar yang diduga di­korupsi namun ada dalam dokumen pertanggungjawaban bagian keua­ngan Pemkab Malra.

Mirisnya lagi, kata sumber itu, rata-rata pimpinan-pimpinan OPD di lingkup Pemkab Malra sama sekali tidak mengetahui anggaran refocusing dan alokasi dana Covid tersebut.

“Contohnya di Dinas Pendidikan yang tidak ada refocusing namun dalam laporan pertanggungjawaban keuangan ternyata ada, sebesar Rp13 miliar. Sehingga mengindikasi bahwa dokumen ini tidak pernah ada di pimpinan OPD. Dan diduga hanya dipegang oleh bagian keuangan dan bupati saja. Karena kalau dokumen-dokumen itu ada, maka tentunya pimpinan OPD mengetahui,” ujar sumber itu lagi.

Dia menyebutkan bahwa seba­nyak 20 OPD dari 42 OPD di lingkup Pemkab Malra yang refocusing anggaran dana Covid tersebut.

Selain itu, banyak kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan Covid dimana kegiatan tersebut murni menggunakan dana APBD Malra, tetapi dalam laporan perta­nggungjawaban justru mengguna­kan dana covid.

Tak Bisa Dipertanggung Jawabkan

Seperti diberitakan sebelumnya, penggunaan dana Covid-19 tahun 2020 di Kabupaten Maluku Teng­gara, kuat dugaan tak bisa diper­tanggungjawabkan.

Adapun penggunaan dan peman­faatan anggaran yang berasal dari refocusing anggaran dan realisasi kegiatan pada APBD dan APBD perubahan tahun anggaran 2020 yang digunakan untuk penanganan dan penanggulangan Covid 2019 di Kabupaten Kepulauan Aru berbau korupsi.

Dana Rp52 miliar seharusnya digunakan untuk penanggulangan Cobid-19, dialihkan Bupati Malra untuk membiayai proyek infra­struktur, yang tidak merupakan skala prioritas sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden No 4 Tahun 2020 tentang refocusing kegiatan, realisasi anggaran, dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.

Berdasarkan daftar usulan refocusing dan relokasi anggaran untuk program dan kegiatan penanganan Covid-19 Tahun 2020 kepada Men­teri Dalam Negeri dan Menteri Ke­uangan sebesar Rp52 miliar.

Padahal, berdasarkan Laporan Pertanggung Jawaban Bupati Malra tahun 2020, dana refocusing dan realokasi untuk penanganan Covid-19 tahun 2020 hanya sebesar Rp36 miliar, sehingga terdapat selisih yang sangat mencolok yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Pemkab Malra sebesar Rp16 miliar.

Anggaran Rp52 miliar itu ber­sumber dari APBD induk senilai Rp3,833.000.000 pada post peralatan kesehatan sama sekali tidak dapat dirincikan secara pasti jenis barang yang dibelanjakan, jumlah/volume barang dan nilai belanja barang per peralatan, sehingga patut diduga terjadi korupsi.

Selain itu, pada pos belanja tak terduga, pada DPA Dinas Kesehatan TA 2020 senilai Rp5,796.029.278,51 yang digunakan untuk belanja bahan habis pakai berupa masker kain (scuba) dan masker kain (kaos) sebesar Rp2,6 miliar, sehingga sisa dana pos tak terdua sebesar Rp3. 196.029.278,51, sisa dana ini tidak terdapat rincian pengguna­annya sehingga patut diduga terjadi ko­rupsi yang mengakibatkan kerugian Negara senilai Rp3.196.029. 278,51.

Sesuai dengan laporan hasil pe­meriksaan BPK Perwakilan Maluku atas laporan keuangan Kabupaten Malra TA 2020 menyatakan bahwa, belanja masker kain pada Dinas Kesehatan tidak dapat diyakini kewajarannya.

Sejumlah kejanggalan yang ditemukan yaitu, pencairan SP2D dari kas daerah dilakukan sebelum barang diterima seluruhnya. Hal ini merupakan bentuk kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran dan/atau perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya, pencatatan jumlah barang masuk pada kartu stok tidak sesuai dengan berita acara serah terima. Kesalahan ini tentu meru­pakan bukti otentik adanya sebuah konspirasi melawan hukum yang dilakukan pelaksana pengadaan barang dan pengguna.

Berikutnya tidak dilakukan peme­riksaan barang secara detail dan me­nyeluruh. Hal ini merupakan bentuk kesalahan dan bukan kelalaian karena adanya kesengajaan akibat kolusi yang dapat dikategorikan se­bagai perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian ne­gara, sehingga patut diduga adanya korupsi tersembunyi yang dimain­kan oleh pihak pengadaan barang dan pengguna barang.

Dengan demikian, diduga terjadi korupsi yang mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp9. 629.029.278,51 yang berasal dari DPA Dinas Kesehatan Kabupaten Malra TA 2020 pada mata anggaran (1) belanja peralatan kesehatan senilai Rp3.833.000.000.000. (2) belanja tak terduga untuk belanja masker kain scuba dan kai koas senilai Rp2.600. 000.000 dan sisa dana BTT yang tidak dapat diper­tanggung jawabkan senilai Rp.3.196. 029.278,51.

Tindakan ini dinilai melanggar keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan No. 119/2813/SJ No:177/KMK 07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 dalam rangka penanganan Covid serta pengama­nan daya beli masyarakat dan per­ekonomian nasional serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No: 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penye­baran dan Percepatan Penanganan Covid di lingkungan Pemerintah Daerah. (S-20)