Tragedi Kanjuruhan: Fanatisme dan Situasi Anonimitas
KERUSUHAN dan aksi anarkhisme supporter di tanah air sebetulnya bukan hal baru. Aksi kerusuhan dan perkelahian antarsuporter sudah berkali-kali terjadi. Tetapi, kasus kerusuhan supoter yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang sungguh membuat kita miris. Hingga kini, minimal sebanyak 125 orang dilaporkan menjadi korban tewas dalam kerusuhan supporter ketika berlangsung pertandingan antara Persebaya dan Arema. Korban yang tewas semua berasal dari suporter Arema FC dan dua di antaranya anggota polisi. Korban tewas umumnya adalah para supporter yang sesak napas kemudian terinjak-injak dalam aksi kerumunan yang lepas kendali. Selain jumlah korban meninggal dunia yang luar biasa besar, 10 kendaraan polisi dan penonton dilaporkan rusak dan dibakar massa yang terlanjur beringas. Sebanyak 302 orang dilaporkan juga terluka ringan dan 21orang luka berat. Kasus kerusuhan yang yang terjadi di Malang ini merupakan tragedi suporter sepakbola yang terbesar di Indonesia. Dibandingkan kerusuhan supporter di Inggris di Hillsborough tanggal 15 April 1989 yang menewaskan 96 orang, tragedi Kanjuruhan jauh lebih memprihatinkan. Jumlah korban tewas di kerusuhan Kanjuruhan ini hanya dikalahkan kasus kerusuhan supporter yang terjadi di Lima, Peru, tanggal 24 Mei 1964.
Dalam tragedi di Peru itu, lebih dari 300 orang dilaporkan tewas dan 500 lainnya terluka dalam kerusuhan di Stadion Nasional setelah Argentina mengalahkan Peru dalam pertandingan kualifikasi Olimpiade. Dalam kerusuhan paling menghebohkan ini, kerusuhan pecah ketika wasit menganulir gol Peru ketika pertandingan dua menit lagi akan berakhir. Situasi Kerumunan Petaka dalam pertandingan antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan menambah daftar panjang tragedi suporter sepak bola yang terjadi di tanah air. Dalam laga tim-tim sepak bola yang sudah menjadi musuh bebuyutan seperti Arema Vs Persebaya, potensi konflik umumnya memang sangat terbuka terjadi. Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa setiap kali terjadi pertandingan antar tim sepak bola tertentu, potensi terjadinya konflik antarsuporter senantiasa besar karena masing-masing didukung fanatisme yang berlebihan. Pada saat para suporter sadar identitas dirinya dan tim yang mereka saksikan berlaga bukan tim kesayangannya, memang eskalasi konflik tidak akan meningkat secara dramatis. Tetapi lain soal ketika tim pujaan mereka dikalahkan tim lawan yang menjadi musuh bebuyutan.
Menurut Smelser (1984), beberapa faktor yang menjadi ciri kerumunan, yang membuat massa (suporter) mudah tersulut melakukan aksi anarkhisme adalah: Pertama, berbeda dengan suporter yang menonton tim sepak bola berlaga melalui televisi yang masih menyadari identitas sosialnya, suporter yang melihat langsung pertandingan di stadion lebih berpotensi teraduk-aduk emosinya karena situasi kerumunan. Horton dan Hunt (1984) mendefinisikan kerumunan sebagai respon tidak rasional dan tidak kritis atas godaan situasi massa yang terkumpul dalam suatu tempat bersama. Kedua, ketegangan struktural (structural strain), yakni perasaan merasa dirugikan dan adanya ketidakadilan cenderung mendorong orang melakukan tindakan ekstrem. Perilaku kolektif, seperti melakukan aksi anarkhisme umumnya akan muncul tatkala sekelompok orang merasa apa yang mereka miliki, seperti kebanggan akan tim kesayangannya, dirampas atau bakal hilang. Suporter yang tim kesayangannya kalah, bukan saja merasa dipermalukan, tetapi juga merasa tidak bisa menerima hal itu menimpa tim kesayangan dan dirinya. Ketiga, karena adanya faktor yang mempercepat (precipitating factor) munculnya tindakan ekstrem. Tak sekadar desas-desus, peristiwa yang dramatis dan suasana yang mencekam, dalam banyak kasus tindakan anarkhisme biasanya pecah ketika ada orang-orang tertentu yang menginisiasi melakukan aksi di luar batas kewajaran.
Teriakan satu-dua suporter terhadap suporter lawan tim kesayangannya, atau tindakan melempat batu, memukul suporter lawan, merusak pagar, tempat duduk dan lain-lain, niscaya akan berpotensi diikuti oleh massa yang mengalami kekecewaan yangh sama. Tindakan spontanitas dalam situasi kerumunan yang sudah lepas kendali, niscaya akan melahirkan eskalasi aksi dramatik yang makin lama makin anarkhis. Massa yang terkumpul dalam suatu tempat, tetapi sebetulnya tidak saling kenal, mereka biasanya melupakan identitas sosialnya dan terjerumus dalam perilaku yang tidak jelas. Situasi anonimitas, di mana identitas pribadi hilang, dan mereka kemudian tersembunyi dalam identitas massa atau kelompoknya, membuat suporter akhirnya hanya bertindak sesuai apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Massa yang terlanjur beringas, umumnya mudah dipengaruhi untuk melakukan aksi yang tidak masuk akal.
Dalam berbagai kasus kerusuhan suporter, intensitas emosi dan responsiveness niscaya akan mengalami peningkatan yang tidak terkendali. Mereka biasanya tidak berpikir bagaimana nasib mereka jika menjadi korban kerusuhan, bagaimana kesedihan yang terjadi jika mereka tewas meninggalkan keluarganya, semuanya tidak sempat terpikirkan karena yang ada hanyalah emosi yang meluap-luap dan godaan situasi kerumunan yang lepas kendali. Upaya Penanganan Mencegah agar aksi kerusuhan supporter tidak mudah pecah harus diakui bukan hal yang mudah. Dalam berbagai pertandingan berskala besar yang berpotensi konflik, aparat keamanan biasanya selalu berjaga-jaga dan menyediakan petugas dalam jumlah ekstra untuk mengamankan potensi konflik yang mungkin timbul. Dengan dukungan jumlah aparat yang terbatas, memang tidak mungkin polisi mampu mengcover semua wilayah dan memprediksi di mana titik konflik bakal pecah. Pada titik ini, mau tidak mau polisi harus bekerjasama dengan berbagai pihak lain, seperti pengurus suporter, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya agar potensi konflik dapat diredam. Memastikan agar suporter tidak berulah yang macam-macam niscaya membutuhkan strategi yang benar-benar tepat.
Baca Juga: Urusan Pemerintahan Konkuren “Harapan dan Tantangan”Sepanjang aparat bersedia bekerjasama dengan pengurus suporter di bawah pendekatan community support system, tentu sebagian dari kemungkinan terjadinya aksi anarkhisnya suporter akan dapat dikurangi. Melakukan rekayasa sosial (social enginering) agar perilaku suporter tetap dalam koridor normalitas yang bisa ditoleransi dapat dilakukan sedikit-banyak tergantung pada siapa orang-orang yang memiliki reputasi dan dihormati para suporter itu sendiri. Upaya lain yang tak kalah penting adalah kemampuan taktis aparat di lapangan dalam upaya pengendalian aksi kerumunan agar tidak lepas kendali. Kemampuan taktis mengendalikan aksi kerumunan ini harus diakui masih kurang dan membutuhkan pelatihan bagi aparat jika pertandingan sepak bola masih diijinkan berlangsung di masa depan. Bagaimana membuat suporter agar tetap menyadari identitas sosialnya, bagaimana memanfaatkan lagu kebangsaan dan ajakan bersholawat, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh kemampuan dan langkah taktis yang perlu dikuasai aparat dalam upaya penanganan aksi kerumunan. Studi yang dilakukan Bryan dan Horton (1978) menyarankan bahwa upaya penanganan kerusuhan dalam aksi laga tim sepak bola dapat dikurangi ketika aparat berhasil menyadarkan massa melalui hal-hal yang mampu menyentuh kesadaran dan mengingatkan kembali identitas sosial orang-orang yang terlibat di dalamnya.Oleh: Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga.
Tinggalkan Balasan