FILM Serpico (Sidney Lumet, 1973) mengisahkan kegelisahan Frank Serpico, polisi yang mendapatkan penghargaan dari satuan Kepolisian Kota New York (New York City Police Department/NYPD, Medal of Honor). Waktu ia baru bergabung di kepolisian, jiwanya gelisah menyaksikan berbagai ketidakberesan. Ia senang ketika suatu hari diangkat menjadi detektif karena akan lebih dekat dengan kejahatan yang berusaha ia tumpas. Namun, ketika menjadi detektif, ia menyaksikan lebih dekat betapa kejahatan mustahil diberantas di masyarakat. Polisi kongkalikong dengan penjahat, mereka disuap agar kejahatan terus dibiarkan. Sebuah adegan yang begitu kuat menempelak rasa keadilan ialah saat Serpico sukses menangkap mafia bernama Rudy Corsaro. Setelah Rudy ditangkap, ia malah tertawa dan bercanda bersama beberapa polisi lain di kantor polisi.

Serpico yang amarahnya sudah tak terkendali awalnya hanya bersiul-siul. Namun, adegan berikutnya tak terduga; dia banting Rudy ke lantai, robek pakaiannya, dan lemparkan ke dalam sel kecil yang ada di kantor itu. Film Serpico menggugah kesadaran, korupsi begitu susah diberantas sejak dulu. Wewenang dan jabatan disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri. Setelah Perang Dunia II, banyak negara menjadikan demokrasi sebagai dasar bagi pemerintahan mereka. Demokrasi yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno dianggap relevan dengan suasana zaman. Kekuasaan pemerintah dibatasi konstitusi, yang itu membuat pemerintah tak bisa berlaku sewenang-wenang kepada rakyat. Demokrasi yang demikian disebut constitutional government atau limited government (Budiardjo, 1989:52). Namun, pembatasan kekuasaan lewat konstitusi kerap terabaikan. Terlebih ketika masyarakat banyak yang menganggap bahwa menjadi penguasa atau birokrat ialah sesuatu yang serta-merta mengundang rasa hormat atau disegani masyarakat, hal yang sangat kuat terjadi pada zaman Orde Baru. Yang penting menjabat, uang pasti didapat. Itulah mental yang terbentuk sejak lama di bangsa kita, menjadi ‘warisan’ di kalangan para pejabat dan birokrat.

Jabatan tak hanya mempertinggi gengsi, tapi juga membuka celah untuk melakukan korupsi. Azyumardi Azra, guru bangsa yang baru saja berpulang, cukup sering membahas korupsi dalam tulisan-tulisannya. Salah satunya ialah tulisan berjudul Darurat Korupsi (Kompas, 4/2/2021). Ia menyatakan Indonesia dalam kondisi darurat korupsi, menggelinding ke lubang gelap tidak berdasar (abyss). Ia mengatakan pemberantasan korupsi tak bisa ditangani dengan sikap biasa. “Korupsi sebagai ‘kejahatan luar biasa’ harus diberantas tak hanya dengan hukum konvensional, tetapi juga perlu terobosan kebijakan dan tindakan politik,” tegasnya. Pada awal September lalu kita tertegun melihat 23 koruptor dibebaskan bersyarat. Hukumannya ringan, juga banyak potongan. Beberapa hari kemudian, kita membaca seorang kepala SMP di Manggarai Barat ditahan karena diduga menyelewengkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar Rp653.473.536 (Media Indonesia, 14/9). Terakhir, publik heboh dengan kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe. Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan dugaan transaksi tidak wajar yang melibatkannya. Satu yang mencengangkan, Lukas melakukan setoran tunai di kasino judi senilai US$55 juta, atau sekitar Rp560 miliar (Media Indonesia, 21/9).

Pendidikan antikorupsi Korupsi susah diberan­tas, tapi bukan berarti tak bisa dicegah. Tantangan terbesar dalam dunia pendidikan ialah melak­sanakan fungsi preventif atau pencegahan. Hal pertama yang paling dibutuhkan dari pendidikan antikorupsi ialah para pendidik yang sadar bahwa korupsi ialah kejahatan besar. Pendidikan ialah soal keteladanan, kalau para pendidik saja korup, bagaimana anak-anak didik? Namun, hal inilah yang membuat kita pesimistis. Soalnya, di lembaga pendidikan pun, kasus korupsi yang terjadi tak sedikit. Dari data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (Antikorupsi.org, 19/10/2021), kasus korupsi di sektor pendidikan pada waktu 2007 hingga 2021 menimbulkan kerugian negara Rp1,6 triliun. Azyumardi Azra benar, untuk urusan korupsi, bangsa kita sedang ‘menggelinding ke lubang gelap tidak berdasar’. Namun, tetap perlu upaya preventif agar kita tak menggelinding tanpa kendali. Nilai dan praktik yang berhubungan dengan antikorupsi perlu diajarkan di seluruh satuan pendidikan. Beberapa nilai atau praktik antikorupsi yang diajarkan bisa berhubungan dengan keuangan dan moral, seperti mengelola pendapatan dan pengeluaran dengan cermat, menekankan keutamaan integritas dan kesederhanaan, juga mengenalkan menabung dan berinvestasi sejak dini. Murid yang diajari mengelola pendapatan dan pengeluaran secara cermat akan menjadi sosok yang cakap dalam memenuhi kebutuhan dan mencukupkan diri.

Murid yang diajari tentang pentingnya integritas dan kesederhanaan akan menyadari bahwa gengsi dan kemewahan tidak serta-merta meningkatkan harga diri. Murid yang diajari menabung dan berinvestasi akan lebih bijaksana dalam mengeluarkan uang dan memiliki pandangan yang visioner untuk menyiapkan hari depan. Sebesar apa pun penghasilan seseorang, kalau ia tidak pandai mengelola keuangan dengan bijak dan mentalnya serakah, tetap akan melakukan korupsi. Sekecil apa pun penghasilan seseorang, kalau ia pandai mengelola keuangan dan selalu menjaga integritas, akan menjauhi korupsi. Itu juga dapat diajarkan. Masih banyak nilai dan praktik antikorupsi yang bisa diajarkan kepada murid. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, misalnya, perlu dipikirkan bagaimana mengintegrasikan pendidikan antikorupsi ke dalam pelajaran seperti agama, pendidikan kewarga­negaraan, atau ilmu pengetahuan sosial.

Baca Juga: Urusan Pemerintahan Konkuren “Harapan dan Tantangan”

Di level perguruan tinggi, perlu ada mata kuliah khusus yang berfokus tentang pendidikan antikorupsi. Atau kalaupun ia terintegrasi dengan mata kuliah lain yang bersifat umum, pendidikan antikorupsi perlu diprioritaskan baik dalam eksplorasi materi, jumlah jam belajar, maupun evaluasi pembelajaran. Korupsi ialah kejahatan luar biasa yang dapat melahirkan kejahatan-kejahatan lain di masyarakat. Terorisme dan separatisme juga bahkan dapat muncul karena ulah para penyelenggara negara yang korup dan serakah. Bangsa kita jangan-jangan sudah jemu mendengar slogan mencintai tanah air atau nasionalisme karena tiap hari mendengar para penguasa mencuri uang rakyat. Pendidikan antikorupsi pun dengan demikian menjadi berarti karena akan membuat kita lebih wawas diri. Oleh: Sidik Nugroho Penulis dan guru, tinggal di Pontianak.