AMBON, Siwalimanews – Pemerintah Provinsi Maluku diminta tidak asal mem­buat proyek, tanpa lebih dahulu memikirkan apa dam­pak negatifnya bagi warga sekitar.

Apalagi proyek dengan re­siko besar seperti pembangun­an fasilitas limbah berbahaya dan beracun (B3) di Negeri Suli, Kecamatan Salahutu, Ka­bupaten Maluku Tengah.

Karena selain harus meng­antongi analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal), ta­pi dokumen upaya pe­nge­lolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingku­ngan (UKL) juga harus dikaji dengan ma­tang dengan ting­kat survei akurat, sehingga kehadiran proyek itu tidak membawa dampak berkepanjangan bagi masyarakat.

Anggota DPRD Maluku, Fauzan Alkatiri menilai, proyek pembangu­nan fasilitas limbah B3 harus ada dalam sebuah perencanaan yang matang. Karenanya, dia meminta Pemprov Maluku tidak saja ber­orentasi pada proyek tetapi memi­kirkan dampak luas dari proyek yang dibangun itu kepada masyarakat.

“Artinya dalam sebuah perenca­naan usaha, kegiatan atau pemba­ngunan tentu diperlukan perenca­naan yang matang. Tujuannya ada­lah agar usaha, kegiatan atau pem­bangunan tersebut berjalan lancar. Dalam suatu perencanaan, tentunya dampak terhadap lingkungan juga perlu diperhatikan,” ujar anggota Komisi III DPRD Maluku ini kepada Siwalima melalui telepon selu­lernya, Senin (25/10).

Baca Juga: Periksa KCP Bobong, OJK Temukan Kelemahan Pemberian Kredit

Menurutnya, perhatian terhadap lingkungan sekitar wilayah tersebut perlu diperhatikan termasuk dampak dari proyek itu.

“Dampak dari pembangunan itu harus diperhatikan, Maka dari itulah diperlukan sebuah analisis mengenai dampak lingkungan. Jika ini tidak ada tentu sangat merugikan banyak masyarakat disekitar areal,” katanya.

Ia mendesak Pemprov Maluku untuk melakukan pengkajian lagi soal proyek ini UPL UKL maupun Amdal jika tidak maka masyarakatlah yang akan terkena dampaknya.

Jika perlu, lanjutnya, Pemprov Ma­luku melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada warga Suli, agar mengetahui lebih dalam terhadap proyek pembangunan limbah B3.

“Artinya jangan sampai membuat proyek yang besar namun tidak melihat apakah proyek tersebut mensejahtrakan masyarakat atau tidak sebab limbah B3 dengan kategori berisiko tinggi,” tegasnya.

Rugikan Rakyat

Hal yang sama juga diungkapkan anggota DPRD Maluku, Edison Sari­manela. Kata dia, dengan adanya penolakan dari masyarakat, maka seharusnya Pemprov mengkaji ulang atau memikirkan secara matang baik aspek lingkungan maupun aspek masyarakat.

“Hal ini dilakukan supaya masya­rakat jangan dirugikan, kalau terjadi sesuatu dalam proyek pembangu­nan siapa yang nantinya bertang­gung jawab,” ujarnya kepada Siwa­lima di Baileo Rakyat Karang Panjang, Senin (25/10).

Menurutnya, berbagai keluhan masyarakat Suli yang menolak proyek fasilitas kesehatan ini me­rupakan hal yang wajar, yang perlu perhatian serius Pemprov Maluku, karena merekalah yang merasakan dampak dari proyek pembangunan B3 tersebut .

“Jangan sampai sewaktu-waktu pro­yek pembangunan tersebut mer­u­gikan masyarakat oleh karenanya itu harus ada penjelasan yang konkrit terhadap proyek pembangunan B3 di Negeri Suli,” tegasnya.

Dia meminta, Pemprov Maluku maupun pemerintah pusat harus menyampaikan hal-hal teknis terha­dap proyek pembangunan B3 dan juga melakukan sosialisasi terkait dengan pembangunan ini.

“Harus dilakukan sosialisasi se­cara menyeluruh untuk warga Suli, jangan sampai masih ada warga Suli yang belum mengetahui terkait proyek pembangunan limbah B3,” pinta Sarimanella.

Ia menjelaskan, memang proses ini untuk kepentingan bersama, na­mun ada hal-hal yang harus diper­hatikan dan di kaji. “Kalau nantinya masyarakat terus keberatan, hal itu merupakan kewajaran karena itu bentuk dari kritikan mereka terhadap proyek pembangunan, jangan ang­kat proyek namun tidak melihat pertimbangan-pertimbangan yang ada,” tuturnya.

Sebelumnya, warga Negeri Suli secara tegas sudah menolak proyek pembangunan insinerator B3, lan­taran proyek tersebut belum me­ngantongi analisis mengenai dam­pak lingkungan (Amdal), karena proyek itu berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan kese­hatan masyarakat. Alasan penolakan lainnya yakni karena lokasi proyek berada di daerah resapan air, disam­ping juga dekat dengan permukiman warga.

Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Suli, Simon Luhu­lima kepada wartawan di Ambon Kamis (21/10) mengatakan, pemba­ngunan proyek itu dilakukan tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu oleh Dinas Lingkungan Hidup Pro­vinsi Maluku kepada masyarakat.

Selain itu, kata dia, lokasi pem­bangunan berdekatan dengan lokasi pembangunan kampus UKIM,  pemukiman warga dan lokasi wisata Talaga Tihu dan juga kompleks Rindam TNI, disamping terdapat daerah resapan air.

Awalnya lanjut Luhulima, proyek itu sudah dijalankan tapi masya­rakat tidak mengetahui kalau proyek tersebut belum mengantongi Amdal.

Luhulima menyayangkan pernya­taan Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Roy Siauta pada 11 Oktober bahwa yang menolak pembangunan proyek itu hanya segelintir warga.

“Kenyataanya kita semua mas­yarakat Suli baik di Suli, maupun di perantauan, 100 persen menolak pembangunan limbah medis ter­sebut. Kita punya bukti bukti peno­lakan melalui petisi penolakan. Ada petisi warga yang kurang lebih 4.000 orang, Negeri Suli negeri adat, ada penolakan juga dibuat tokoh-tokoh adat yakni kepala-kepala soa. Pernyataan Dinas LHK bahwa sosialisasi ke warga itu dihadiri ketua-ketua RT sekaligus menye­tujui kegiatan pembangunan limbah medis, itu pembohongan publik. Faktanya ketua-ketua RT tidak terlibat dalam kegiatan sosia­lisasi dan mereka pun menolak,” beber Luhulima.

Ia juga mengungkapkan, pernya­taan kadis bahwa masyarakat harus membuat dokumen kajian lingku­ngan sangatlah bertolak belakang dan sengaja memancing emosi warga Suli.

“Aneh, koq kami disuruh buat dokumen UKL UPL. Harusnya doku­men kajian lingkungan yang biasa disebut UKL UPL itu merupakan do­kumen publik yang harus diberikan kepada kami masyarakat supaya kami mengetahuinya. Apakah betul mereka sudah buat dokumen ter­sebut. Sampai saat ini dinas lingku­ngan hidup tidak memberikan ke­pada kami yang namanya dokumen lingkungan itu,” tandas Luhulima.

Awalnya, lokasi pembangunan sesuai pengumuman tender LPSE Kementerian LHK berlokasi di Wayame dan bukan di Suli.

“Kita memiliki bukti bukti lokasi yang ada di Wayame. Dari sosialisasi yang kita ketemu di kantor Gu­bernur, dikatakan dinas bahwa di Wayame itu hanya wacana belum pembangunan padahal tendernya sudah keluar di Wayame. Dan pengusulan perubahan lokasi itu baru dibuat pada tanggal 9 Agustus dan ditanda tangani Wagub Malu­ku,” ungkapnya.

Sekretaris Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Suli Nata­niel Lainsamputty menambahkan, persoalan pembangunan fasilitas limbah medis di Suli tidak sesuai tahapan dan cacat prosedur.

“Kenapa kami bilang cacat, karena sesuai UU 32 Tahun 2009 maupun PP 22 tahun 2001 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang penyeleng­garaan perlindungan dan pengelo­laan lingkungan hidup bahwa jenis usaha yang berisiko tinggi itu wajib mengantongi Amdal,” ujar Nataniel.

Dia  sangat menyesalkan pernya­taan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku karena ber­alasan proyek pembangunan fasi­litas limbah medis tanpa Amdal tersebut merupakan kebijakan pe­merintah pusat.

“Saat pertemuan di kantor Gubernur Maluku beberapa hari lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup mengatakan karena ada pendekatan kebijakan, ini tidak bisa. Terkait dengan pengelolaan limbah B3 ini sudah diatur jelas regulasinya,” kata Nataniel.

Menurutnya, dinas yang berta­nggung jawab atas proyek tersebut harusnya paham bahwa proyek yang memiliki dampak risiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan maupun kesehatan masyarakat ha­rus diperhatikan.

Tokoh masyarakat Suli, Jimmy Sitanala menyesalkan proses penta­hapan proyek itu diabaikan oleh pemda melalui dinas lingkungan hidup.

Kami sangat menyesalkan ini, dinas lingkungan hidup seharusnya memberi contoh kepada masyarakat bahwa proyek pemerintah itu harus mentaati apa yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah atau menteri terkait,” kata Sitanala.

Mantan Wakil Ketua DPRD Ma­luku Tengah ini mengaku, telah me­layangkan surat penolakan secara resmi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Komisi IV DPR.

“Apalagi ini proyek dari ling­kungan hidup harusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup, kita masyarakat mendorong dan mensuport tapi kita lihat semua aturan diabaikan, jadi kita tetap satu komitmen, menolak,” tegasnya.

Sikap GPM

Majelis Pekerja Harian Sino­de Gereja Protestan Maluku, secara tegas menolak rencana pemba­ngu­nan fasilitas limbah bahan berba­haya dan beracun, di Negeri Suli, Kecamatan Sala­hutu, Kabupaten Maluku Te­ngah.

Sikap tegas GPM itu dije­laskan secara tertulis dalam dokumen resmi yang bertajuk Evaluasi Lapangan dan Doku­men UKL UPL Pemba­ngunan TPA Limbah B3 Fasilitas Kesehatan Provinsi Maluku di Suli, Kabupaten Maluku Tengah.

Dalam dokumen yang salinannya juga diterima redaksi, dijelaskan kalau sikap GPM itu didasari kajian dan evaluasi mendalam terhadap dokumen UKL UPL proyek dimak­sud, dimana ditemukan adanya pe­langgaran pada ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Pada dokumen yang diteken langsung Ketua Sinode Pendeta ET Maspaitella dan Sekum Pendeta SI Sapulette, dijelaskan beberapa ke­salahan prinsip yang dibuat, misal­nya terdapat perbedaan nama ren­cana usaha dan atau kegiatan pada tahap awal atau proses tender, dengan dokumen lingkungan.

”Karenanya, Sinode GPM berke­simpulan dokumen UKL UPL ter­sebut, tidak sesuai pemeriksaan standar PPLH. Dimana berdasarkan PP. 22 Tahun 2021, pemrakarsa ha­rus mengajukan perubahan doku­men ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.”

Selain itu, terindikasi ada copy-paste dalam dokumen UKL UPL tersebut. Pasalnya dalam lembaran dokumen, tertulis daftar tabel ren­cana kerja pembukaan lahan Tana­man Pisang Abaka, tapi di dalam isi dokumen tidak terdapat informasi tentang daftar tabel tersebut, apalagi substansi dokumen tidak berhu­bungan dengan pembukaan lahan Tanaman Pisang Abaka. Artinya dokumen tersebut tidak melalui proses penilaian atau pemeriksaan.

Sinode GPM menilai proyek tersebut tidak harus diteruskan, karena memiliki dampak yang me­rugikan masyarakat dan lingkungan hidup secara tetap dan dalam waktu yang panjang. Di sisi yang sama, pembangunan tersebut akan ber­dampak langsung pada proses pencerdasan sumber daya manusia Maluku, melalui Kampus UKIM Suli yang sedang dalam proses pem­bangunan.

Karenanya, Sinode GPM meminta Pemerintah Provinsi Maluku untuk melakukan langkah yang tidak berdampak pada pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku, dan semata-mata menimbulkan efek jangka panjang kepada derita masyarakat. Pengalihan lokasi proyek dari Wayame ke Suli adalah suatu bentuk pelanggaran aturan normatif, apalagi tidak disertai dengan pentahapan AMDAL sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Urgen

Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku, Roy Siauta Kepada Siwalima, Kamis (21/10) siang mengaku, proyek pem­bangunan fasilitas limbah B3 merupakan kebutuhan yang urgen.

Proyek tersebut kata dia, akibat dari situasi pandemi yang dihadapi negara ini. “Pandemi Covid-19 merupakan bencana nasional non alam, dimana negara harus hadir guna menangani bencana nasional tersebut,” katanya.

“Seluruh rumah sakit di Maluku sendiri tambahnya, sampai sekarang tidak memiliki insinerator. Pada waktu pandemi, Maluku khusus Kota Ambon kesulitan, olehnya mendorong pemerintah pusat untuk proyek pembangunan fasilitas limbah B3 harus ada di Ambon.

Dikatakan, kehadiran proyek ini sangat penting bagi warga di Maluku untuk menangani persoalan limbah medis.

“Masyarakat tidak perlu khawatir karena alatnya ini sangat canggih dan ramah lingkungan, jadi tidak ada masalah,” yakinnya.

Soal kebijakan pembangunan fasilitas limbah B3 di Negeri Suli yang dilakukan tanpa mengantongi AMDAL terlebih dahulu itu terjadi lantaran situasi pandemi Covid-19.

“Jadi arahan kementerian ke kami nanti pada saat mau operasional baru bikin dokumen AMDAL,” ujar Siauta.

Ia berharap warga Negeri Suli memahami kondisi tersebut dan mendukung pembangunan fasilitas limbah B3. Karena fasilitas itu akan sangat berguna dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat di Maluku. Meskipun saat ini pembangunan proyek itu dihentikan lantaran aksi demo yang dilakukan warga Suli beberapa waktu lalu, namun Siauta berharap ada pengertian penuh dari warga setempat. (S-51)