AMBON, Siwalimanews –  Miliaran rupiah digelontor­kan untuk pengadaan air bersih di Dusun Mahia, namun hingga kini warga tak bisa menikmatinya.

Tiga proyek air bersih yang dibangun di Dusun Mahia, Desa Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon mengkrak dan tak bisa digunakan oleh masyarakat.

Alhasil di wilayah tersebut tidak bisa menikmati air bersih, padahal banyak pipa yang bertebaran di sepanjang Dusun Mahia.

Hasil penelusuran Siwalima di Dusun Mahia, Sabtu (2/7), ditemu­kan sedikitnya ada tiga proyek pe­ngadaan air bersih milik pemerintah.

Dua proyek dibangun Pemerintah Provinsi Maluku tahun 2017 dan 2020.  Sementara satu  lagi sumur bor milik Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku tahun 2021.

Baca Juga: 14 Bulan Jalankan Misi Kemanusian di Afrika, Pangdam Sampaikan Terima Kasih

Proyek pengadaan air bersih milik Dinas PUPR Maluku dibangun tahun 2017 mengambil mata air dari Dusun Naku dengan mesin diesel untuk memompa air. Sedangkan proyek tahun 2020 menggunakan solar sel untuk memompa air masuk ke rumah warga.

Dua proyek dengan tahun angga­ran berbeda ini hanya menggu­na­kan satu bak penampung dari sum­ber air di Dusun Naku. Air kemudian dialirkan ke  bak penampung yang di­bangun di dalam Dusun Mahia.

Ada dua bak penampung di dalam Dusun Mahia. Bak penampung per­tama dibangun tahun 2017 oleh Pemkot Ambon tepatnya di RT 01, untuk melayani warga di RT 1, 2 dan 3.

Sementara bak kedua penam­pung baru dibangun pada tahun 2020 di RT 4 untuk melayani warga di RT 4 dan RT 5 atau Mahia pantai.

Lalu bagaimana dengan proyek pembangunan yang dilakukan oleh BWS di Dusun Mahia? Ternyata em­pat sumur bor yang digali tidak satupun mendapatkan air. Padahal instalasi pipa sudah terpasang.

“Disini memang banyak pipa tapi air katong dapat paling susah, apalagi musim hujan seperti seka­rang ini, seminggu bahkan lebih baru katong dapat air, itupun selama dua jam tapi mengalirnya pelan,” te­rang Felix Telussa kepada Siwalima.

Ia menjelaskan, kelemahan peme­rintah menggunakan solar sel untuk mesin pompa air, itu hanya bisa digunakan saat musim panas saja. Sementara warga butuh air setiap saat bukan sesuai musim.

Lanjutnya, soal air jangan disini pipa banyak dalam kampung tapi air susah sekali.

“Seminggu katong dapat pun antrian dengan RT lain dan tergan­tung bak penampung itu penuh air atau tidak. Minggu ini di RT 3 misalnya. Katong tunggu dua sam­pai 3 hari kedepan agar bak penam­pung bisa terisi penuh baru disa­lurkan ke rumah warga, itu ter­gantung cuaca lagi,” jelasnya.

Dirinya berharap, pemerintah jangan lepas tangan karena banyak pipa yang ada ini tidak ada airnya.

Leri de Fretes, warga RT 4 juga mengaku hal yakni sama. Proyek dibangun pemerintah tetapi air tidak bisa dinikmati warga dengan baik.

“Air itu seminggu sekali baru mengalir itu pun dua jam dan jalan­nya pelan. Katong mau bilang cu­kup dan tidak cukup nanti semi­nggu lebih lai baru air jalan. Itu pun kalau cuaca bagus,” kesalnya.

Sebagai warga biasa dirinya tidak tahu harus mengaku ke mana, me­reka hanya menunggu kebijakan dari Pemerintah Provinsi yang mem­bangun proyek air bersih namun tidak bisa dinikmati dengan baik.

Belum Diserahkan

Sementara itu Kepala Dusun Mahia, Lodewijk de Fretes yang dite­mui Siwalima di rumahnya me­ngaku, sampai hari ini pembangu­nan air bersih milik Pemprov Ma­luku tahun 2020 belum diserahkan kepada dirinya untuk dikelola.

Ia menceritakan, untuk proyek air bersih milik Pemprov tahun 2020 dirinya bersama petugas dari Dinas PUPR  turun melakukan survei sam­pai di lokasi sumber air itu pada awal tahun 2020 lalu.

Mengetahui betul lokasi dan letak geografis wilayah, kepala du­sun kemudian menjelaskan kepada pe­tugas Dinas PUPR kalau air di­ambil sumbernya dari Dusun Tuni hanya bisa melayani masya­rakat di RT 4 dan 5, sementara RT 1, 2 dan 3 tidak bisa karena letaknya terlalu tinggi.

“Saya bilang ke petugas kalau air ini dia tidak bisa naik ke RT 1 dan 2 tetapi kalau mau harus membuat bak penampung di RT 2 disitu, nanti ditambah mesin untuk tembak air naik ke RT 1, mungkin sebagian ke RT 2. Selebih dari pada itu gratifikasi sampai ke pantai. Sekarang misal­nya katong pakai disini kemudian malam katong los ke bawah di RT 3 sampai RT 7, itu beta pung pikiran,” jelas sang kepala dusun.

Lanjutnya, tiba-tiba satu minggu kemudian tim datang lagi kemudian mensurvei sumber air di pantai Dusun Mahia, namun kemudian tidak bisa digunakan karena pemilik sumber tidak memberikan.

“Dong survei lagi ke pantai karena ada sumber air dibawa, namun seng jadi karena yang punya sumber tidak mau. Maka alternatif menggunakan sumber air milik proyek tahun 2017. Dan mereka nebeng bak penampung di proyek 2017,” terangnya.

Pembangunan proyek air bersih milik PUPR tahun 2020 yang dike­tahuinya memiliki anggaran Rp700-Rp800 juta. Karena minim anggaran Pemprov hanya membangun satu bak penampung di RT 4 untuk mengaliri air bagi RT 4-RT7.

“Kalau tidak salah anggarannya sekitar 700 sampai 800. Karena ang­garan tidak mencukupi, makanya mereka nebeng di bak penampung pada proyek 2017. Sementara jalur pipanya sendiri, mereka pakai pipa karet dan pipa besi sebagian,” ung­kapnya.

Dia membenarkan, kalau warga RT4 sampai RT 7 sangat kesulitan air bersih. Dan bak penampung itu 2 sampai 3 hari baru penuh.

Lanjutnya, pompa yang ada di sumber air itu tahun 2017 itu yang pakai diesel satu sudah rusak dan tersisa satu, kemudian ditahun 2020 dibangun lagi menggunakan solar sel oleh Pemprov Maluku. Sampai sekarang itu sulit mendorong air ke rumah warga kalau cuaca tidak bersahabat.

“Jadi kalau susah air yang jelas karena pakai solar sel itu kele­mahannya di cuaca mendung atau hujan, pasti air tidak bajalan,” urai­nya. Dan yang lebih aneh lagi tam­bahnya, sampai sekarang dirinya belum menerima kunci pengelolaan sumber air dari Dinas PUPR. Mereka bilang mau kasih tapi sampai seka­rang belum kasih, dan kalau mereka kasih pasti saya tolak karena pro­yek ini tidak beres, warga tidak me­nikmati air dengan baik” tegasnya.

Proyek Abal-abal BWS

Sementara itu di Dusun Mahia, juga BWS Maluku membangun proyek sumur bor tahun 2021.

Pantauan Siwalima, ada empat sumber yang dibor, namun kemu­dian dihentikan karena tidak men­dapatkan air tepatnya di RT 1 dan RT 2.

Terlihat sejumlah instalasi pipa sudah terpasang namun tidak ada air. Sejumlah lobang bekas galian tampak hanya ditutupi dengan ka­rung dan tidak terurus.

Jaringan pipa terpasang di se­panjang jalan Dusun Mahia dari RT1-RT3 namun tidak ada air yang mengalir dari dalam pipa.

Menurut kepala dusun, Balai Wilayah Sungai menjanjikan akan dibangun lagi di tahun 2023.

“Mereka janji beta akan bangun lagi tahun 2023 nanti tapi meng­gunakan sumber air dari Tuni dan menggunakan bak penampung proyek provinsi tahun 2017. Semua pake satu bak tapi pipa masing-masing,” tandasnya.

Tak Tuntas

Sebelumnya, Komisi III DPRD Maluku mengecam Balai Wilayah Sungai Maluku dalam pengerjaan proyek air baku Mahia,  yang hi­ngga pertengahan Juni belum juga tuntas dikerjakan.

Komisi menyebutkan proyek air baku Mahia, Desa Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon sebagai proyek abal-abal yang ter­bengkalai dan tak dapat difungsi­kan bagi kepentingan masyarakat.

Kecaman keras ini dilontarkan sekretaris Komisi III DPRD Provinsi Maluku, Rovik Akbar Afifuddin ke­pada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Selasa (13/6) lalu.

Dijelaskan, proyek air baku Mahia yang merupakan proyek air bersih untuk kebutuhan masyarakat tetapi sayangnya, sejak proyek ini di tahun 2020 sampai dengan saat ini tidak pernah bermanfaat bagi mas­yarakat.

“Saat rapat antara BWS dengan komisi III saya bertanya soal apa persepsi BWS tentang air baku, apakah dinyatakan seratus persen pekerjaannya itu infrastrukturnya saja, ataukah hingga airnya bersih untuk digunakan masyarakat,” ujar Afifuddin.

Menurutnya, jika proyek air baku hanya sampai pada pembangunan infrastrukturnya maka proyek ini selesai dengan kedalam sesuai de­ngan standar kontrak kerja, artinya masalah tidak mendapatkan air bersih bukan menjadi tanggung jawab BWS.

Akan tetapi jika proyek ini sampai pada tahap air bersih untuk dinik­mati masyarakat, maka Balai Wila­yah Sungai terkesan tidak serius untuk menuntaskan proyek bernilai 1.3 miliar rupiah ini sebab Komisi III sejak tahun 2021 hingga 2022 terus mengingatkan BWS tapi tidak tuntas.

Afifuddin menegaskan jika BWS serius membangun proyek untuk kepentingan masyarakat Mahia, maka seharusnya dicari dahulu sumber air bersih dan ketika ditemukan barulah dibangun jaringan dan reservoirnya untuk dialirkan kepada masyarakat.

“Ini air belum dicari, bangunan sudah selesai, faktanya seperti hari ini bangunnya sudah selesai menurut penjelasan BWS tapi airnya tidak dinikmati masyarakat, bahkan ketika sudah ramai aduan masyarakat, pemberitaan baru dimulai penggalian,” kesalnya.

Ditambahkan, pihaknya merasa binggung dalam memintakan pertanggungjawaban lantaran dalam pekerjaan ini terdapat tiga kontraktor diantaranya, kontraktor pelaksana, pengawas, dan perencanaan, tiga kontraktor yang menangani sehingga sulit dicari penyebab masalah proyek tak selesai ini.

Sumber Siwalima menyebutkan proyek air bersih milik BWS Maluku itu dikerjakan oleh CV Shinta, yang beralamat Jalan Dr Kayadoe Kudamati, Ambon.

Namun kata sumber itu, sebenranya yang mengerjakan proyek tersebut bukanlah pemilik CV Shinta, karena mereka hanya meminjam nama perusahaan untuk mengikuti lelang di BWS.

Masih menurut sumber di BWS yang enggan namanya ditulis, sesungguhnya yang mengerjakan proyek tersebut adalah Azis Tunny, yang minim pengalaman di bidang pengerjaan air bersih. “Perusahaan itu hanya dipinjam oleh Azis Tunny. Pekerjaannya terlalu kompleks, tak bisa dikerjakan oleh pemain baru seperti Asiz Tunny,” kata dia kepada Siwalima, Sabtu (2/7).

Pantauan Siwalima pada empat lokasi pengeboran tidak diperoleh air bersih yang memadai, sekalipun kedalaman masing-masing sumur itu  sudah melebihi 100 meter.

Ironisnya lagi, sekalipun mang­krak, seluruh anggaran proyek itu sudah dicairkan seluruhnya dari BWS. Oleh BWS, proyek ini dime­nangkan dengan nilai Rp1,3 miliar, pada 13 Januari 2020 lalu. (S-09)