AMBON, Siwalimanews – La Joni Ali, mantan bendahara Setda Kabupaten Buru meninggal di tahanan. Terdakwa kasus korupsi SPPD Fiktif Buru itu meninggal di Rutan Namlea karena sakit. Joe Syaranamual penasehat hokum terdakwa yang dikonfirmasi Siwalima Rabu (13/1) membenarkan informasi tersebut. “Saya tidak tahu almarhum meninggal karena sakit apa. Saya cuma tahu beliau itu sakit dan betul beliau sudah meninggal. Entah sakit serangan jantung atau apa, saya tidak tahu,” ujar Joe. Terpisah, Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette menga takan, menyangkut status kasus pasca meninggal dunia, nantinya akan digugurkan oleh hakim. Gugur dalam artian kewenangan jaksa menuntut gugur.

“Nanti dalam persidangan selanjutnya, hakim akan menyatakan gugur. Gugur dalam artian kewenangan jaksa menuntut gugur. Jadi jaksa gugur dalam kewenangan menuntutnya,” jelas

Sapulette.

Gugurnya kewenangan jaksa dalam menuntut sambung Sapulette diatur dalam KUHP. Menurutnya hal itu tertuang dalam pasal 77 KUHP yang menyebutkan, kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia. Disisi lain, meski kewenangan menuntut dari jaksa gugur, kasus korupsi tersebut terus berlanjut.

“Dalam hal ini apabila nantinya dalam persidangan terbukti ada kerugian negara, ahli waris patut untuk menyelesaikan atau mengganti rugi kerugian Negara tersebut. Gugurnya kewenangan

Baca Juga: Kejati tak Masukkan Tentua dalam DPO

menuntut tapi tidak menghapuskan kalau ada kerugian negara itu nanti tetap. Jadi penuntut umum nanti menyerahkan berkas ke pengacara negara untuk dilakukan gugatan.

Karena kerugian negara itu harus ditanggung sampai ahli warisnya,” beber Sapulette. Ditambahkan, sesuai dengan aturan dalam pasal 34 Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, disebutkan dalam

hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan

gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Namun dalam kasus ini, La Joni Ali tidak dituntut membayar kerugian negara. Pasalnya, La Joni Ali hanya dituntut hukuman penjara selama 7 tahun kurungan penjara.

Tunda Putusan

Sementara itu, kasus dugaan korupsi SPPD fiktif dan penyalahgunaan keuangan daerah Kabupaten Buru seharusnya dijadwalkan pembacaan vonis Rabu (13/1) kemarin. Pihak pengadilan yang

dikonfirmasi terkait penundaan pembacaan vonis terhadap mantan Sekda Buru, Ahmad Assegaf dan La Joni Ali menolak berkomentar. Melalui Humas Pengadilan Negeri ex Officio Pengadilan Tipikor Ambon, Lucky Kalalo yang dikonfirmasi enggan berkomentar. Untuk diketahui, dalam kasus SPPD Fiktif Buru dan penyalahgunaan keuangan daerah Kabupaten Buru, mantan Sekda

Buru Ahmad Assagaf dan mantan bendahara Setda, La Joni Ali didakwa melakukan tindakan korupsi dugaan penyalahgunaan pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Buru tahun 2016-2018.

Keduanya didakwa dua pasal, pertama pasal 2 Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tipikor, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Tipikor junto pasal 55 dan 56 KUHP junto pasal 65 ayat (1) KUHP.

Selanjutnya pasal 3 Undang- Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Tipikor junto pasal

55 dan 56 KUHP junto pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Maluku Ahmad Assagaf, terdakwa telah memperkaya di sendiri, dengan mengambil keuntungan dari

belanja perawatan kendaraan bermotor, belanja sewa sarana mobilitad, belanja sewa perlengkapan dan peralatan kantor TA. 2016, 2017 dan 2018 serta belanja penunjang operasional KDH/WKDH Tahun Anggaran 2018 untuk kepentingan pribadi sebesar Rp. 11.328.487.705. “Terdakwa menggunakan tiga

modus untuk melakukan korupsi,” ujar JPU Ahmad Attamimi usai membacakan dakwaan 11 September 2020 yang lalu.

Tiga modus itu yakni pertama, belanja dipertanggungjawabkan lebih tinggi dari pengeluaran sebenarnya. Kedua, belanja dipertanggungjawabkan untuk kegiatan yang tidak dilaksanakan.

Tiga, BPO direalisasikan lebih tinggi dari anggaran yang tersedia. Baik Assegaf maupun La Joni Ali, keduanya memerintahkan pegawai untuk membuat laporan pertanggungjawaban yang tidak

pernah dilakukan. Lalu, dana yang berasal dari belanja yang dipertanggungjawabkan lebih tinggi dari pengeluaran sebenarnya dan dari kegiatan yang tidak dilaksanakan itu, diserahkanke Ahmad. Dananya diberikan secara tunai, melalui transfer bank, atau bahkan melalui orang-orang yang ditunjuk. JPU juga menyebutkan, semua tindakan tersebut berdasarkan perintab Ahmad Assagaf. Dia memerintahkan Mansur Mamulatu selaku Plt. Asisten III Setda menyediakan kelengkapan bukti pertanggungjawaban Belanja Sarana Mobilitas berupa Salinan STNK dan SIM untuk kemudian diserahkan kepada staf Setda.

Dia juga memerintahkan saksi Syahril Kalang, Salma Assagaf, Rahma Sanaky, Ayu Pricillia selaku staf Setda Kabupaten Buru TA. 2016, 2017 dan 2018 untuk membuat bukti pertanggungjawaban atas kegiatan yang tidak dilaksanakan. Lalu, Safrudin selaku PPK-SKPD Setda TA. 2016, 2017 dan 2018 (Januari 2016 s.d Juni 2018) tidak menguji kebenaran bukti

pertanggung jawabar dan mengetahui bahwa kegiatan tersebut tidak dilaksanakan.

Selanjutnya, Joni lalu memerintahkan saksi Syahril untuk membuat kuitansi pertanggung jawaban yang tidak sesuai derigan realisasi pengeluaran sebenarnya dengan cara menuliskan isi, tanggal,

dan nilai kuitansi berdasarkan memo yang ditulis tangan.

Para staf Setda tersebut lalu membuat nota pembelian/sewa untuk distempel dan ditanda tangani oleh para penyedia barang/jasa. Selain itu, dia juga memerintahkan staf untuk menandatangani kuitansi untuk kegiatan yang tidak dilaksanakan tersebut.

Dia juga memerintahkan untuk menuliskan nama dan nilai belanja pada lembar kuitansi internal dan kuitansi penyedia barang/jasa sesuai dengan memo yang dituliskan. (S-49)