AMBON, Siwalimanews – Tender rehab rumah pribadi Murad Ismail di Wailela, Kecamatan Teluk Ambon mendadak dibatalkan oleh Pemprov Maluku.

Langkah itu dilakukan, setelah tender rehab yang memakai APBD Tahun 2020 itu, dihujani kritikan tajam dari berbagai kalangan.

Selain rehab rumah dialo­kasikan anggaran sebesar Rp. 5.150.000.000,00, pem­prov juga mengalokasikan Rp 428.500.000,00 untuk pembangunan pagar rumah milik Murad.  Sehingga total anggaran yang digelon­tor­kan Rp 5.578.500.000.

Dalam Layanan Penga­daan Secara Elektronik (LPSE) Pemprov Maluku disebut­kan, kedua item pekerjaan itu sudah selesai ditender.

Setelah menuai kritikan tajam dari berbagai komponen masyarakat pemprov langsung menggelar rapat, Senin (7/12).

Baca Juga: Baharudin Djafar Tinggalkan Ambon Diantar Kapolda dan Wakapolda Maluku

Rapar digelar di lantai II kantor gubernur sekitar pukul 11.00 WIT. Rapat dipimpin Sekda Kasrul Se­lang. Kepala Dinas PUPR, Muhammat Marasabessy dan sejumlah stafnya juga hadir.

Rapat yang dilakukan tertutup itu baru berakhir sekitar pukul 13.00 WIT.  Wartawan yang melihat Muha­m­mat Marasabessy langsung men­cegatnya untuk mengkonfirmasikan tender rehab rumah dan pemba­ngu­nan pagar rumah pribadi gubernur.

Marasabessy yang mengenakan pakaian dinas harian berwarna cok­lat terlihat kaget saat dicegat war­ta­wan. Dengan gugup dan terbata-bata, ia mengatakan, masalah tender tersebut nantinya sekda yang menjelaskan.

“Oh kalau soal itu, saya sudah serah­kan ke pak sekda, nanti beliau yang jawab karena kita baru selesai rapat,” katanya singkat, sambil ter­buru-buru menuju ke mobil dinas­nya DE 30.

Sementara Sekda Kasrul Selang mengatakan, banyak faktor yang menjadi pertimbangan, sehingga tender rehab rumah pribadi guber­nur dibatalkan. “Banyak faktor yang kita pertim­bangkan secara teknis, termasuk de­sakan publik. Saya sudah perintah­kan dinas teknis batalkan,” kata Kasrul.

Ditanya kalau rumah dinas dinilai tak layak dihuni mengapa tidak dire­hab, namun rumah pribadi gubernur, Kasrul  menghindar, dan enggan men­­jawab. Ia hanya menegaskan, tender rehab rumah gubernur sudah dibatalkan.

“Kita sudah arahkan ke dinas teknis untuk batalkan, tidak ada lagi proyek tersebut,” tandasnya.

Disinggung soal  informasi yang beredar, kalau usulan proyek rehab rumah pribadi gubernur tidak dikonsultasikan oleh Dinas PUPR dengan dirinya selaku ketua tim anggaran, Kasrul mengaku, tahu usulan itu. “Saya sekali ketua tim anggaran pasti tahu usulan terse­but,” ujarnya singkat.

Ditanya lagi kenapa rumah dinas gubernur di Mangga Dua tidak direhab, Kasrul mengatakan, kalau direhab akan memakan anggaran cukup besar, karena kerusakannya cukup parah.

“Kalau rehab rumah dinas pasti akan memakan anggaran cukup besar, jadi kita sudah sepakat untuk membangun rumah dinas baru di kawasan Poka,” ujarnya.

Siapa yang bisa memastikan, kalau rumah dinas di Mangga Dua tidak layak ditempati, Kasrul mengaku,  ada tim yang sudah melakukan penilaian.

Kalau tak layak dihuni, kok bisa ditempati anak gubernur? Kasrul beralasan anak gubernur hanya menempati kamar bagian depan.

“Dia hanya tinggal di kamar depan, tapi bagian belakang kalian tidak lihat, banyak yang sudah rusak. Tetapi intinya proyek 5,1 miliar sudah kita batalkan,” tegasnya.

Lalu bagaimana dengan pemba­ngu­nan pagar rumah gubernur yang juga ditenderkan? Kasrul kaget mendapat pertanyaan itu. Ia terdiam sesaat, lalu mengatakan, akan ditinjau lagi.

“Kalau pagar akan kita tinjau kembali, sudah ya saya pergi dulu,” ujar Kasrul sambil bergegas menuju ke mobil dinasnya DE 9.

Dapat Diproses Hukum

Akademisi Hukum Unpatti, Jhon Pasalbessy mengatakan, penggu­naan anggaran daerah untuk rehabi­litasi rumah pribadi gubernur de­ngan nomenklatur rumah jabatan sebentara dapat diproses secara hukum

“Rehabilitasi rumah pribadi Gu­bernur Maluku dengan mengguna­kan uang daerah dapat dioroses se­cara hukum,” ujar Pasalbessy, kepa­da Siwalima, Senin (7/12).

Pasalbessy mempertanyakan da­sar hukum apa yang digunakan oleh pemprov untuk menjadikan rumah pribadi Murad Ismail sebagai rumah jabatan sementara gubernur. Sebab masih ada rumah jabatan gubernur yang berada di Mangga Dua.

“Kalaupun Pemprov Maluku ingin melakukan rehabilitasi terhadap rumah jabatan gubernur maka seha­rusnya dilakukan terhadap rumah dinas yang berada di kawasan Ma­ngga Dua yang selama ini digunakan oleh gubernur-gubernur sebelum­nya,” tandasnya.

Kendati begitu, kata Pasalbessy, perlu dilihat apakah sebelum diten­der dalam LPSE, telah dibuat per­janjian antara pemprov dengan Murad Ismail atau tidak. Misalnya, jika sudah selesai menjabat, rumah di Wailela dikem­balikan sebagai aset daerah.

“Harus telusuri dahulu apakah dalam perjanjian ada diatur soal setelah selesai dari gubernur dikembalikan sebagai aset  daerah atau tetap melekat sebagai rumah pribadi,” ujarnya.

Lanjutnya, bila ada perjanjian terkait aset maka tidak perlu dipersoalkan. Tetapi jika tidak ada perjanjian, maka sudah ada indikasi kuat terjadi perbuatan melawan hukum yang berujung diproses hukum.

Pasalbessy menambahkan, jumlah anggaran yang digunakan sebesar Rp 5,5 miliar cukup besar, sehingga KPK dapat melakukan pengusutan.

“KPK bisa membidik karena sesuai aturan di atas 1 miliar dilakukan KPK,” ujarnya.

Praktisi hukum Djidon Batmamolin meminta KPK mengusut jika tender rehab rumah pribadi gubernur tidak dibatalkan.  “Kalau jalan terus, KPK harus turun tangan usut,” tandasnya.

Anggaran daerah, kata Batma­molin, harusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Apalagi banyak masyarakat yang susah akibat pandemi Covid-19.

“Masyarakat lagi susah kok urus rumah pribadi gubernur. Kenapa tidak rehab rumah dinas di Mangga Dua,” ujarnya.

Sebelumnya Direktur Maluku Crisis Center, Ikhsan Tualeka mengata­kan, rumah dinas yang perlu diang­garkan untuk direnovasi adalah rumah dinas sebagai aset daerah.

Rumah pribadi kemudian dilabeli “rumah dinas sementara” demi men­dapat legitimasi untuk direnovasi rasanya terlalu dipaksakan.

“Terlebih lagi nilainya tak main-main.  Pemerintah terkesan kurang peka di tengah berbagai kesulitan yang dialami  dan dihadapi masya­rakat sekarang,” tandas Tualeka, kepada Siwalima, Minggu (6/12).

Menurutnya, proses renovasi rumah dinas juga harus melewati berbagai kajian, kemudian diusulkan ke DPRD Maluku. Anggarannya pun harus proporsional dan rasional.

“Kalau memang rumah dinas tak layak huni, mestinya kriteria atau penilaian itu diberikan atau dilaku­kan oleh otoritas terkait. Melewati satu penelitian yang akurat, setelah itu atas temuan yang ada, peme­rintah provinsi kemudian mengusul­kan untuk dilakukan relokasi rumah dinas ke DPRD Maluku,” ujar Tua­leka.

Bila disetujui dan dianggarkan, sambil menunggu relokasi rumah dinas selesai dilakukan, kata Tualeka, diputuskanlah satu lokasi sebagai rumah dinas sementara.

“Bisa saja itu di rumah pribadi gubernur, kemudian dialokasikan dana renovasi untuk rumah pribadi yang akan menjadi rumah dinas sementara itu, tapi tentu dengan besaran yang proporsional, karena yang direnovasi itu bukan aset negara,” tandasnya.

Laskar Anti Korupsi Maluku, Rony Aipassa menilai, kebijakan untuk memakai uang daerah untuk merehabilitasi rumah pribadi gubernur merupakan tindakan yang melanggar hukum. “Itu melawan hukum,” tegasnya.

Menurutnya, bila pemprov hen­dak melakukan rehabilitasi harusnya rumah dinas gubernur di Mangga Dua, bukan rumah pribadi gubernur.

Aipassa mempertanyakan, bila nantinya Murad Ismail telah selesai menjabat gubernur, apakah pemprov bisa mengklaim rumah tersebut sebagai aset daerah.

“Pemprov diminta harus rasional dalam mengambil setiap keputusan soal penggunaan anggaran daerah,” ujarnya. (S-39/S-50/S-49)