Tata Ruang, Banjir, dan Pemulihan Ekonomi
KEMARIN, 8 November diperingati Hari Tata Ruang Nasional (Hantarunas) bersamaan dengan perayaan WorldTown Planning Day (WTPD). Tema Hantarunas tahun ini ialah ‘Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional Melalui Pelayanan Penataan Ruang dan Pertanahan yang Profesional’.Kegiatan Hantarunas kali ini diperingati masih di tengah suasana pandemi covid-19, serta ancaman bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir badang, dan longsor di berbagai lokasi seperti beberapa kabupaten di Kalimantan, Sulawesi, dan terkini di Kota Batu, Jawa Timur. Kerusakan hutan lindung, akibat perubahan peruntukan tata ruang untuk pembangunan perumah an dan perkebunan, menyebabkan degradasi kualitas lingkungan kawasan resapan air itu.
Memutus mata rantai bencanaWarga terpaksa dievakuasi ke berbagai tempat evakuasi bencana dengan protokol kesehatan terbatas. Perekonomian kota/kabupaten lumpuh akibat terendam banjir berharihari. Kerugian masyarakat, yang terdampak banjir terus berulang setiap tahun kala memasuki musim penghujan. Proses pemulihan ekonomi pun terhenti. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?Pertama, jika pemerintah ingin memutus mata rantai bencana banjir dan mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional (PEN), pemerintah wajib mengevaluasi, merevisi, dan menata ulang rencana tata ruang kota/kabupaten terhadap program pembangunan daerah/wilayah dan program mitigasi bencana. Pemerintah dituntut tegas menegakkan aturan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.Kawasan-kawasan yang terbukti melanggar tata ruang harus dikembalikan ke peruntukan semula.
Proses perizinan dan surat perizinan yang sudah dikeluarkan kepada pengembang/pengusaha, tetapi terbukti tidak sesuai tata ruang harus dibatalkan/dicabut demi hukum. Kebijakan tata ruang pro lingkungan sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan lingkungan kota/kabupaten itu sendiri sekaligus menjaga asa kehidupan kota kita.Kedua, kawasan sumber-sumber air di perbukitan dan pegunungan harus dikonservasi menjadi hutan lindung.
Pemberian izin pembangunan harus diseleksi sangat ketat dan terbatas dengan mengedepankan asas keberlanjutan lingkungan hidup, serta diikuti dengan pengawasan pembangunan dan pemanfaatan ruang secara berkala.Kawasan ruang terbuka biru (RTB) berupa situ, danau, embung, waduk (SDEW), hingga bendungan dapat dikembangkan sebagai kawasan hutan atau kebun raya yang berfungsi melindungi daerah tangkapan air alami, sekaligus pe ngendali banjir di kawasan pegunungan.
Program penghijauan kembali (reboisasi), pengembangan hutan multikultur sumber plasma nutfah dengan keanekaragaman hayati tropis untuk mendukung industri farmasi dan ketahanan pangan nasional, pembangunan kawasan ekowisata nasional, serta, pemberdayaan masyarakat adat/lokal merupakan kunci keberhasilan penataan ruang dan percepat an pemulihan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Ketiga, pembangunan lebih banyak hutan kota sebagai ruang terbuka hijau (RTH) kawasan perkotaan merupakan upaya perwujudan capaian luasan RTH kota/kawaan perkotaan sebesar 30% sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. RTH berfungsi sebagai daerah resapan air. Semakin luas RTH kota semakin baik daya resap kota dalam mengantisipasi banjir.Revitalisasi SDEW di kawasan perkotaan harus dikonservasi menjadi taman, atau hutan kota yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, pengendali banjir, sumber air baku, serta habitat satwa liar. RTB SDEW juga terhubung dan menampung limpasan air hujan dari sungai terdekat dan saluran air kota sekitar sehingga mampu mengurangi banjir lokal.
Baca Juga: Kasus BLBI, Sebuah Episode Yang Tak Kunjung AkhirBadan sungai juga perlu dibenahi, permukiman direlokasi ke hunian vertikal (kota) atau hunian layak huni dan aman bencana (kabupaten). Badan sungai diperlebar, diperdalam, dan dihijaukan bantarannya sehingga membebaskan kota dari banjir kiriman.Penataan RTH berupa hutan kota, taman kota, taman pemakaman, lapangan olahraga, kebun pertanian kota, yang dihubungkan koridor jalur hijau median jalan, bantaran sungai, bantaran rel kereta api, kolong jalan/ jembatan layang, serta bawah saluran udara tegangan tinggi, membentuk infrastruktur hijau penyeimbang ekologis kota.Keempat, kawasan pesisir pantai harus direstorasi ulang tata ruangnya. Permukiman dan bangunan di kawasan pesisir direlokasi, kawasan pantai dikembalikan sebagai RTH pantai berupa hutan pantai/mangrove minimal 500 meter ke arah daratan.
Hutan benteng alami pantai ini berfungsi mencegah abrasi pantai, meredam terjangan tsunami, menghalau intrusi air laut, membebaskan kawasan pesisir dari banjir rob, serta mengembalikan ekosistem tepi pantai yang berkelanjutan dan bernilai ekonomi tinggi bagi pemulihan ekonomi nasional.Penataan ruang yang berkelanjutan akan mampu mencegah, memitigasi, dan membebaskan kota/ kabupaten dari ancaman bencana banjir di masa datang. Penataan ruang yang terpadu, profesional, dan berkelanjutan dapat menjamin keberlanjutan lingkungan hidup kota/kabupaten, menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi daerah/nasional, serta memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Semoga.( Nirwono Joga, Pusat Studi Perkotaan)
Tinggalkan Balasan