SDM yang tidak mempunyai motivasi yang terbentuk dengan direct motive yang tinggi, akan mulai bekerja karena tekanan. Tekanan kekhawatiran, tekanan ekonomi, dan tekanan karena keharusan untuk bekerja (inertia)

“Mengapa kamu ingin bekerja”, salah satu pertanyaan yang selalu keluar dari pewawancara pada saat seleksi dalam proses rekruitmen. Jawaban yang diterima pewawancara pun beragam.

“Mau cari duit, Pak…”, “Mau bantu orang tua, Pak…”, “Agar tidak nganggur, Pak…”, “Mau mengabdi di perusahaan ini, Pak..”, Mau menerapkan ilmu yang sudah diperoleh waktu kuliah, Pak…”.

Tidak sedikit pula yang terbata-bata menjawab dengan jawaban yang tak jelas dan ujung-ujungnya mengatakan yang penting bisa bekerja. Jika si pewawancara, misalnya HRD Manajernya orang yang suka iseng, maka bisa jadi tanggapannya adalah:

“Wah, kalau mau cari duit, nggak bakal kamu dapat disini, karena nggak ada yang buang-buang duit…”. Atau, “Wah, kalau mau bantu orang tua, mendingan di rumah. Kamu bisa nyapu, masak, nyuci piring, dan sebagainya…”

Baca Juga: Kasus BLBI, Sebuah Episode Yang Tak Kunjung Akhir

Banyak lagi respons dari pewawancara yang menyebabkan si calon gelagapan dan akhirnya wawancara selesai, disuruh menunggu info selanjutnya. Bagi perusahaan yang punya rasa tanggung jawab sosial, informasi apakah si calon gagal atau diterima, pasti akan disampaikan. Tidak sedikit pula perusahaan yang mengabaikan info lanjutan dari hasil wawancara tersebut sehingga si calon akan menunggu dalam penantian yang tanpa batas. Tega benar perusahaan seperti ini.

Apapun jawaban dari si calon karyawan, dalam pertanyaan diatas, tidak ada yang salah, karena pertanyaan tersebut bukan masalah salah dan benar. Jawaban si calon karyawan yang mengikuti seleksi akan menunjukkan bagaimana tingkat motivasinya untuk melamar pekerjaan di tempat tersebut.

Tingkat motivasi untuk bekerja dari kandidat yang sedang diseleksi. Ada banyak indikator yang dapat menunujukkan bagaimana motivasi seseorang dalam bekerja. Apalagi pada kaum milenial yang selalu disebut sebagai generasi Y atau Z. Generasi Y dikategorikan yang lahir antara 1980 – 1995 dan Generasi Z yang lahir setelah 1995.

Generasi ini dikenal sebagai generasi yang produktif, penuh energi, selalu siap akan perubahan, dan terkenal effisien. Generasi ini juga dikenal sangat dekat dengan teknologi, terutama teknologi informasi.

Mereka juga sangat terbuka akan hal-hal yang baru, dan punya antusiasme yang tinggi dalam berkreasi dan berinovasi. Senang dengan iklan-iklan yang bersifat kekinian, dan sangat bertolerasni dengan berbagai hal.

Tidak suka denga status quo dan senantiasa menghendaki perubahan, terutama perubahan sosial. Dari berbagai penjelasan diatas, maka kita bisa melihat bagaimana dinamisnya kehidupan anak-anak generasi milenial ini.

Perusahaan yang merekrut anak-anak milenial, harus bersiap-siap dengan surat pengunduran diri karena mereka cenderung tidak bertahan lama dengan hal-hal yang bersifat rutinitas dan monoton.

Mereka juga biasanya sulit diatur dalam metode-metoda kerja yang konvensional, karena mereka akan menentukan sendiri cara kerja mereka. Buat mereka yang penting hasil akhir, bukan proses kerja.

Seyogyanyalah anak-anak milenial ini menjadi SDM handal yang kreatif dan inovatif, jika dikelola dan dimengerti oleh HRD Department atau Human Resources Division atau Bagian Sumber Daya Manusia, atau apapun nomenklatur yang mengurusi SDM di organisasi atau badan usaha dimana mereka bekerja.

Mereka menginkan kantor yang punya bar, meja bilyard, kolam renang, dan ruang yang terbuka untuk bekerja. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan ternama diluar benua sana, dan terbukti efektif dalam meningkatkan kinerja dan produktivitas.

Sepasang suami istri, Neel dan Lindsay berusaha menemukan apa faktor utama yang mendorong kinerja optimal.  Mereka menemukan bahwa fondasi dasar dari budaya kerja yang optimal adalah rangkaian motivasi tertentu yang mereka sebut sebagai Tomo: total motivation.

Tomo terdiri atas Direct Motive: Play, Purpose  & Potential.  Serta Indirect Motive: Emotional Pressure, Economic Pressure & Inertia.  Direct dan indirect motive tidak bekerja satu arah.  Untuk kinerja optimal, kedua jenis motivasi tersebut justru perlu bergerak berlawanan arah.

Budaya kinerja optimal akan muncul bila Direct Motive tinggi, orang bisa terlibat dalam kerjanya (play), bisa menemukan makna (purpose) dan mengembangkan potensinya (potential).

Sementara itu di sisi lain motivasi bekerja karena kekhawatiran/ketakutan (emotional pressure), tekanan ekonomi (economic pressure) dan keharusan (inertia) tidak begitu ia rasakan.

SDM yang bekerja dalam suasana play, akan sangat enjoy dengan pekerjaannya. Motivasinya bekerja didorong dengan kompetensi yang ia miliki, sesuai dengan bidang kerja yang ia geluti. Ia memilih bidang kerja yang sesuai dengan keinginannya dan ia dapatkan itu. Ia seolah-olah “bermain” dengan pengetahuannya, ketrampilannya, dan sikapnya menjadi sangat menikmati pekerjaanya. Ia ada, eksis dan terlibat secara total dengan apa yang ia lakukan. Motivasi kerjanya tidak usah diragukan lagi.

Sementara motivasi kerja yang masuk dalam kategori purpose, mempunyai tujuan tertentu dalam bekerja. SDM ini akan menemukan tujuan yang dapat memuaskan batinnya dengan implementasi dari ilmu yang ia miliki.

Kepuasannya dalam bekerja tidak sekedar mencapai target yang ditentukan dan memperoleh gaji dan berbagai kompensasi lain, tetapi lebih dari itu, ia akan mencoba terus untuk bereksperimen, berkreasi atau berinovasi untuk kerja cerdas, yang efektif dan efisien.

SDM yang bekerja untuk mengembangkan potensinya, mempunyai motivasi kerja yang tinggi, karena mempunyai tujuan tertentu yang akan dibidiknya untuk masa depan. Bisa jadi bidikannya itu ada diluar perusahaan tempat ia bekerja. Ia mempunyai suatu tujuan tertentu yang ingin ia dapatkan dan untuk itu, ia akan bekerja keras mengumpulkan modal dalam pekerjaan yang ia geluti sekarang. Motivasi kerja yang tinggi untuk memperoleh suatu tujuan yang ingin diraih.

SDM yang tidak mempunyai motivasi yang terbentuk dengan direct motive yang tinggi, akan mulai bekerja karena tekanan. Tekanan kekhawatiran, tekanan ekonomi, dan tekanan karena keharusan untuk bekerja (inertia).

Ketika para mahasiswa menyelesaikan studinya, dan diwisuda, kebanggaan dirinya dan keluarganya begitu tinggi dalam menyaksikan prosesi ini. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, masih belum bekerja, kebanggaan tersebut akan barangsur sirna.

Berubah menjadi kekhawatiran dan ketakutan sehingga muncul tekanan emosi (emotional pressure). Apalagi ditambah karena kebutuhan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pribadi karena sudah merasa malu untuk meminta uang jajan kepada orang tua.

Akhirnya muncul keinginan untuk bekerja apa saja, yang penting bekerja dan punya penghasilan sendiri. Dalam hal ini, latar belakang pendidikan tidak lagi dipersoalkan, ketrampilan dikesampingan, minat dan bakat terabaikan. Hanya ada satu motivasi, yakni,  “yang penting bekerja”.

Tidak peduli dalam perusahaan ketika bekerja akan bergabung dengan tamatan dengan level yang lebih rendah, tidak peduli yang dikerjakan juga tidak sesuai dengan bakat, minat dan tuntutan hati nurani. Sekali lagi, yang penting bekerja.

Untuk kondisi ini, memang ada yang bertahan, akhirnya menjiwai, walaupun, menurut teori Manajemen SDM, penempatan mereka di bagian itu merupakan “over qualification”, berpotensi untuk suatu saat bosan dan mencari lapangan kerja yang lain dan mendapat pekerjaan yang kira-kira sama kondisinya dengan yang semula.

Motivasinya tidak dapat diukur. Yang penting, hadir, tidak terlambat, pulang tepat waktu, bekerja sesuai perintah, tidak berbuat salah, dan mendapat gaji setiap akhir atau awal bulan. Titik.

Dari penjelasan diatas, kita sudah bisa melihat dan menakar bagaimana motivasi kerja para SDM atau calon SDM kita saat ini, terutama untuk yang usia produktif dan tentu saja didominasi oleh anak-anak Generasi Milenial.

Untuk mencetak SDM yang sesuai harapan, seperti yang dijelaskan diatas, peran perguruan tinggi, tentu saja sangat besar. Direct Motivation yang harus dimiliki calon SDM kita yang lulusan Perguruan Tinggi, negeri maupun swasta, semestinya telah terbentuk ketika mereka kuliah atau paling tidak saat di ujung program pendidikan tinggi yang mereka jalani.

Kita sangat berharap besar, bagaimana program pendidikan tinggi, proses belajar mengajar, sarana prasarana, dan ditambah Program MBKM yang dikeloala suatu perguruan tinggi, mampu menciptakan calon-calon SDM dengan motivasi kerja yang tinggi danperforma yang tinggi pula. (Drs Bahrum Jamil, MAP, Penulis adalah Dosen Tetap pada Fisipol Universitas Medan Area, Praktisi Di Bidang  Human Resources.)