TANTANGAN ekonomi beras Indonesia tahun 2024 amatlah berat, mungkin setara dengan tantangan serupa saat krisis ekonomi dan krisis politik yang menjatuhkan Presiden Soeharto pada 1998. Kekeringan ekstrem El Nino yang melanda hampir seluruh sentra produksi di Indonesia telah berdampak sangat buruk pada sistem produksi beras. Beberapa dimensi penting ekonomi saling berhubungan sehingga jika salah satu dimensi bermasalah, dimensi lain seakan saling mengunci. Artikel ini menganalisis tantangan ekonomi beras melalui penjelasan rinci empat dimensi penting, yaitu produksi, harga, perdagangan internasional, dan manajemen stok. Penutup artikel ini ialah rekomendasi perubahan kebijakan sistem produksi beras ke depan.   Empat dimensi penting ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT Pertama, estimasi produksi beras 2023 turun lebih dari 1 juta ton, terutama karena kekeringan ekstrem El Nino.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode kerangka sampel area (KSA) menunjukkan bahwa produksi turun dari 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2022 menjadi 53,51 juta ton GKG pada 2023 atau turun 2,26%. Jika dikonversi dalam bentuk beras, produksi turun dari 31,53 juta ton pada 2022 menjadi 30,81 juta ton pada 2023 atau turun 2,28%. Akibat El Nino, musim tanam padi mundur menjadi November-Desember sehingga musim panen raya juga diperkirakan mundur menjadi April 2024. Hampir seluruh sentra produksi padi di Indonesia mengalami penurunan karena luas panen turun signifikan, kecuali di Lampung, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah. Daerah-daerah itu umumnya memanfaatkan lahan kering, lahan rawa, dan sumber-sumber air swadaya. Kedua, harga beras merangkak naik sejak awal 2023 hingga bertahan tinggi melebihi Rp14.000/kg pada awal Desember 2023. Harga beras yang tinggi ini memperlambat upaya penurunan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem yang menjadi target pemerintah. Selain karena rendahnya produksi, kenaikan harga beras berhubungan dengan berubahnya sistem produksi beras di lapangan. Sektor swasta besar semakin agresif melakukan pembelian gabah petani serta menjalin kemitraan dengan pengepul dan petani padi. Perubahan ini mengejutkan banyak pihak, baik petani, pedagang, Bulog, maupun pemerintah pusat dan daerah. Semua pihak seakan tidak siap menghadapi persaingan pasar beras yang semakin kompetitf ini karena selama ini terbiasa dipimpin oleh pemerintah dan Bulog. Harga gabah merangkak naik dari Rp5.000/kg (setingkat harga pembelian pemerintah/HPP) menjadi Rp6.000/kg, lalu Rp7.000/kg, dan masih akan lebih tinggi lagi. Akibatnya, harga beras rata-rata juga terdorong naik ke atas, dari Rp12.000/kg ke Rp13.000/kg, dan sekarang di atas 14.000/kg, rekor harga tertinggi selama beberapa tahun terakhir.

Penggilingan padi skala kecil banyak yang kesulitan memperoleh gabah sehingga berhenti beroperasi, bahkan gulung tikar. Ketiga, perdagangan beras global semakin tidak sehat, terutama dipicu oleh tingkah laku India yang melarang ekspor beras untuk tujuan politik dalam negerinya. Harga beras global langsung bergolak dan mencapai sekitar US$630/ton. Dampak menipisnya stok perdagangan beras global ialah kenaikan harga di beberapa negara new rice consumers sangat liar. Misalnya, kenaikan harga di Uzbekistan hampir dua kali lipat, di Tanzania naik 45%, di Haiti naik 40%, di Mali naik 25%, dan lain-lain. Singkatnya, arus perdagangan beras menghadapi masalah serius karena perdagangan yang tidak fair, di samping persoalan struktur pasar, isu mikro bisnis, persaingan branding, dll. Hal yang cukup menarik ialah hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI, 2023) yang memuat bahwa dampak El Nino terhadap produksi beras lebih buruk di Asia Tenggara daripada di Asia Selatan.

Produksi beras di India, Pakistan, dan Bang­ladesh masih cukup normal, hanya sedikit yang terkena dampak El Nino 2023. Bahkan, Tiongkok akhirnya ‘terpaksa’ mulai mengekspor beras karena permintaan impor beras tumbuh tinggi, termasuk dari Indonesia. Selama ini, Tiongkok menganggap lebih efisien mengimpor beras dan mengelola cadangan pangan domestiknya sangat ketat, mengingat jumlah penduduk yang telah melampauai 1,4 miliar jiwa. Keempat, Perum Bulog tidak banyak mampu mengontrol atau menguasai harga gabah karena hubungan dengan mitra pedagang dan penggilingan padi tidak sebaik zaman dulu. Saat ini pasar gabah semakin kompetitif, bahkan semakin sulit menjumpai struktur pasar oligopsoni murni. Faktor non-ekonomi, seperti kedekatan hubungan tengkulak dengan petani, kolaborasi khusus dengan mitar dagang, dll tampak lebih dominan dalam skema pembelian gabah petani. Total pengadaan beras dalam negeri Bulog hingga November 2023 sekitar 960 ribu ton, sangat jauh jika dibandingkan dengan pengadaan luar negeri atau impor beras yang mencapai 2,6 juta ton.

Di sektor hillir pun fenomena penguasaan pasar oleh Perum Bulog tidak jauh berbeda. Walaupun impor beras tahun 2023 telah melampaui 2,5 juta ton, harga eceran beras belum juga turun. Tingginya harga eceran beras di tengah guyuran impor begitu besar telah menyisakan tantangan tersendiri karena pola kenaikan harga beras masih diselimuti banyak faktor stokastik, yang dapat berdampak buruk di masa depan.   Rekomendasi perubahan kebijakan Berikut ialah rekomendasi perubahan kebijakan yang harus dilakukan pemerintah dan para pengampu kepentingan ekonomi beras, setidaknya dalam jangka pendek ke depan. Pertama, percepatan tanam, pemanfaatan lahan rawa, penggunaan varietas baru tahan kekeringan seperti Inpari 42, Inpari 43, dan Inpari 44 perlu disebarluaskan dan dikawal ketat. Varietas baru ini mensyaratkan pemupukan yang tepat waktu dan praktik pertanian yang baik (GAP) yang cukup intensif. Sekali lengah melakukan pengawalan, maka manfaat peningkatan produksi dan produktivitas dari teknologi baru itu sulit direalisasi. Kedua, dialog lebih terbuka dengan industri beras swasta besar, bukan dengan strategi koersif yang justru dapat berdampak lebih buruk. Dialog terbuka dan pendekatan bisnis biasa akan menghasilkan titik temu dan kesepahaman antara Perum Bulog dan swasta besar, serta pengampu kepentingan lainnya, setidaknya tentang formula bermitra bisnis dengan petani padi. Di sisi lain, kenaikan harga gabah di tingkat petani perlu dijadikan momentum untuk mengajak petani meningkatkan kualitas produksi beras hingga mencapai mutu beras premium dll. Ketiga, diplomasi ekonomi dan kerja sama ekonomi perdagangan dapat memperbaiki iklim perdagangan beras global, apalagi kini semakin banyak negara menjadi rice consumer.

Baca Juga: Hasil PISA 2022, Matematika Indonesia Masih Stagnan

Bagi Indonesia, sikap India yang tetap berkukuh dengan larangan ekspor beras tidak perlu diikuti dengan tindakan retaliasi dagang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan lain-lain. Manfaat diplomasi yang diharapkan ialah bahwa India tidak menjadi trouble maker dalam iklim perdagangan beras global. Indonesia akan berjasa besar jika berhasil mencapai hal ini. Keempat, reformasi menyeluruh dan penyempurnaan sistem kemitraan Bulog dengan para mitra dan unit penggilingan gabah dan beras (UPGB), yang pernah menjadi andalan Bulog dalam penyerapan gabah petani. Insentif perlu dirancang kembali agar menghasilkan sistem kemitraan saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Ketahanan pangan nasional sering dimulai dari suatu perbaikan hubungan usaha yang bersifat mikro lapangan. Oleh : Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Ekonom Indef, Ketua Umum Perhepi. (*)