Kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Fiktif Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar  semakin menarik.

Satu persatu saksi mengungkapkan ada sejumlah pejabat yang menerima dana segar itu untuk digunakan bagi kepentingan pribadi mulai dari anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Maluku, anggota DPRD, mantan anggota dewan dan terakhir mantan Bupati KKT, Petrus Fatlolon.

Oknum BPK RI misalnya mengakui menerima uang sebesar Rp350 juta dan itu untuk memuluskan agar laporan keuangan Kabupaten Kepulauan Tanimbar mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian.

Selain itu sejumlah oknum anggota dewan juga tak ketinggalan kecipratan anggaran SPPD Fiktif BPKAD KKT tersebut.

Mantan Bupati KKT, Petrus Fatlolon dalam keterangannya di persidangan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan mengaku sejumlah anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, meminta uang pelicin saat proses pembahasan APBD Tahun 2020.

Baca Juga: Tolak Tahap II Bernuansa Politik?

Penyebab pembahasan LPJ saat itu deadlock karena salah satu Wakil Ketua DPRD menyurati BPK soal dana Pemda KKT yang ditempatkan di bank dalam bentuk deposito.

Berdasarkan surat tersebut BPK kemudian melakukan audit dan penjelasan BPK bahwa dana yang disimpan di bank dalam bentuk deposito telah sesuai mekanisme dan justru bunganya masuk kas daerah sehingga menguntungkan daerah.

Keterangan para saksi ini diungkapkan dalam persidangan dengan enam terdakwa yaitu, Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020, Liberata Malirmasele Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020, Letharius Erwin Layan, Kabid Aset BPKAD tahun 2020 dan Kristina Sermatang,Bendahara BPKAD tahun 2020.

Jaksa Penuntut Umum Kejari Tanimbar dalam dakwaannya menjelaskan, tindak pidana yang dilakukan para terdakwa terjadi pada awal Januari sampai Desember 2020.

Saat itu anggaran perjalanan dinas sebesar Rp9 miliar lebih dikelola para terdakwa untuk membiayai  perjalanan dinas dalam daerah maupun di  luar daerah.

Namun, atas perintah pimpinan anggaran itu digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Akibatnya atas perbuatan 6 terdakwa itu, negara mengalami kerugian keuangan negara sebesar Rp6.682.072.402.

Fakta persidangan seharusnya menjadi bukti kuat bagi Kejaksaan Negeri Tanimbar untuk menjerat tersangka baru. Fakta persidangan itu menjadi pintu masuk bagi penyidik Kejari Tanimbar mengungkap tersangka baru.

Hal ini penting, karena oknum-oknum yang menerima uang dan menikmati uang korupsi itu harusnya diproses hukum oleh Kejari Tanimbar dan bukan sebaliknya tidak diproses hukum.

Kejari Tanimbar haruslah melihat fakta persidangan itu sebagai pintu masuk untuk segera mengusut oknum-oknum yang diduga menerima dana segar itu bagi kepentingan pribadi. Ini penting untuk memenuhi rasa keadilan, sehingga tidak muncul opini kejaksaan melindungi oknum-oknum pejabat sementara ASN yang menikmati dana SPPD fiktif itu dijerat. Hal ini bisa menimbulkan ketidakadilan dalam praktek hukum.(*)