AMBON, Siwalimanews – Bupati Kepulauan Ta­nimbar, Petrus Fatlolon kesal tidak diberi kesem­patan mengelola Participating Interest (PI) 10 persen Blok Masela, pa­dahal wilayahnya adalah daerah penghasil atau daerah terdampak.

Pemerintah daerah KKT menyebutkan me­re­ka meminta jatah 5,6 persen pe­ngelolaan PI itu sendiri merupakan hal yang wajar karena 1000 persen pemba­ngunan LNG Masela itu ada di KKT.

“Jadi pantas dong kita minta porsi hanya 5,6 persen dan bukan tidak punya alasan dan saya kira ada ruang negosiasi. Jangan 10 persen semua ke pro­vinsi. Itu pasti kami keberatan dan rakyat Tanimbar menangis kalau tidak dapat 1 persen pun dari PI 10 persen kita berjuang sampai ke presiden,” tegas Petrus dalam rapat bersama pimpinan dan anggota DPRD Maluku, di Baileo Rakyat Karang Panjang, Senin (15/3).

Diterangkan, menidaklanjuti surat Menteri ESDM kepada SKK Migas Nomor: 560/13/MEM.M/2019 tanggal 19 Desember 2019, maka Kepala SKK Migas menge­luarkan surat yang ditujukan ke­pada Gubernur Maluku Nomor: SRT-0886/SKKMA0000/2019/S9, tanggal 20 Desember 2019 pe­rihal Partisipasi Interest 10% wilayah kerja (WK) Masela.

Dalam surat dimaksud, gu­bernur diminta untuk menyiapkan BUMD yang akan menerima dan mengelola PI 10 persen WK Masela dalam kurun waktu paling lambat 1 Tahun.

Baca Juga: Rutumalessy: Sidang Jemaat Diharapkan Bantu Menata Pelayanan

Memperhatikan surat SKK Migas kepada Gubernur Maluku, maka sebelum berakhirnya waktu penyiapan BUMD dimaksud, pe­merintah KKT telah melayangkan 2 surat kepada Gubernur Maluku yakni pertama, surat Nomor: 542.1/83 tanggal 24 Januari 2020 perihal mohon pertimbangan penetapan 5,6 persen dari PI 10 persen bagi KKT dan surat kedua Nomor: 542/1112 tanggal 16 De­sember 2020 perihal penyam­paian minat pengelolaan PI 10 persen.

Kemudian mendasari surat kepala SKK Migas kepada Guber­nur Maluku Nomor: SRT0886/SKKMA0000/2019/S9, tanggal 20 Desember 2019, maka Gubernur Maluku mengeluarkan surat kepada kepala SKK Migas Nomor: 540/3592 tanggal 24 November 2020 perihal penunjukan BUMD PT Maluku Energi Abadi, sebagai penerimadan pengelola PI 10 persen WK Masela.

“Keputusan tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan konsep pengelolaan WK Masela dengan skema onshore dan po­sisi KKT sebagai daerah terdam­pak dan daerah perbatasan yang sewaktu-waktu bisa terdampak dari sisi pertahanan dan keama­nan negara. Sehingga kami ber­kesimpulan Maluku Energi Abadi mengelola 100 persen dari PI 10 persen WK Masela dan KKT tidak dilibatkan dalam proses pena­wa­ran PI 10 persen,” tegas Petrus.

Selain itu menurut Petrus, men­jawab keberatan dari Peme­rintah KKT, Gubernur Maluku Murad Ismail kemudian dua kali menyurati bupati KKT dengan surat Nomor: 542/288 tanggal 19 Januari 2021 yang intinya me­nyatakan bahwa PI 10 persen WK Masela adalah kewenangan Pemprov Maluku dan telah me­nun­juk BUMD Provinsi PT Maluku Energi Abadi sebagai penerima dan pengelola 100 persen dari PI 10 persen WK Masela serta menyatakan permohonan Peme­rintah KKT tidak relevan.

Menurutnya sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP No­mor 55  tahun 2005 tentang dana bagi hasil SDA, menyatakan bah­wa Kabupaten Penghasil Gas Alam akan memperoleh bagi hasil se­besar 12 persen, provinsi 6 per­sen, dan kabupaten lain dalam pro­vinsi tersebut sebesar 12 persen.

Sebagai daerah penghasil ada­lah daerah yang paling terdampak oleh kegiatan produksi gas alam dari lapangan yang berada di wilayah Kabupaten tersebut maka wajar kami meminta pursi hanya 5,6 persen,” pintanya.

Sementara itu dalam rapat juga Ketua DPRD KKT Jaflaun Batlayeri juga membacakan 3 rekomendasi hasil sidang Pari­purna DPRD KKT yakni, Pertama Rakyat KKT meminta gubernur dan DPRD Maluku untuk meng­usulkan dan merekomendasikan kepada pemerintah pusat melalui kementerian ESDM agar dapat menetapkan KKT sebagai daerah penghasil.

Kedua, kami meminta peme­rintah provinsi dan DPRD Maluku mengusulkan CSR sebesar 2-3 persen dan Ketiga, rakyat KKT meminta kepada gubernur dan DPRD Maluku memberikan porsi hak pengelolaan PI sebesar 6 persen kepada KKT.

“Saya kira sudah jelas kenapa kami semua datang ke sini, kami minta kepastian dari pimpian DPRD dan harus diputuskan,” pinta Batlayeri.

Dalam sidang itu sendiri, Ke­tua DPRD Maluku Lucky Watti­mury menjelaskan kalau aspirasi yang dibawa oleh teman-teman DPRD maupun pemerintah KKT akan disampaikan ke gubernur.

“Nanti kita kaji dulu, usulan ini, kemudian dalam waktu dekat pim­pinan DPRD bersama dengan faksi-fraksi bertemu dengan pak gubernur, membicarakan ini, setelah itu barulah kita bersama-sama bertemua dengan guber­nur,” kata Wattimuri sebelum menutup sidang.

Usai pertemuan, kepada war­ta­wan, Fatlolon mengatakan sa­ngat berharap kepada DPRD Ma­luku untuk membuka ruang pem­bi­caraan terkait dengan pengelo­laan PI. “Kami berharap segera ada ruang untuk kita membicarakan PI ini dalam satu konsep rumah Maluku. Jalangan sampai kita bawa kemana-mana. Kalau rumah Maluku mari kita bicarakan di Ambon tapi kalau tidak, kita akan menyelesaikan ke pemeritnah pusat,” ujarnya.

Dirinya mengaku kalau pimpi­nan DPRD dan gubernur punya kearifan dan punya kebijaksanaan yang tinggi dan akan memprio­ritaskan Tanimbar.

Sebagai daerah penghasil wajar kalau pemerintah KKT meminta lebih kepada pemerintah provinsi. Dan selama ini perjuangan sudah dilakukan sejak lama bukan terlambat berjuang.

“Kami tidak ingin orang tanimbar jadi penonton karena seluruh fasilitas ada di Tanimbar, masa barangnya ada di sana sementara orang tanimbar diabaikan,” katanya.

Fatlolon datang ke DPRD Maluku, didampingi seluruh anggota DPRD dan semua pimpinan OPD KKT. (S-39)