AMBON, Siwalimanews – Kasus dugaan korupsi lahan PLTG di Namlea, Kabupaten Buru, ternyata lahan yang dibeli oleh pihak PLN bukan hanya milik Ferry Tanaya yang saat ini sudah ditetapkans ebagai tersangka, namun ada juga lahan milik orang lain.

“Pihak PLN beli itu ada empat titik yang saling berdekatan. Lahan milik saya, Ferry Tanaya, kemudian lahan milik keluarga Umagapi dan Junaidi Wance. Harga yang ditawar­kan pihak PLN ke kami berempat itu sama. Proses pembayaran dari pihak PLN juga dilakukan bersama satu paket didepan Muspika Namlea dan disaksikan tim 9,” beber eks Kepala PLN Cabang Namlea, Sain Bin Thaleb kepada wartawan, Rabu (10/6).

Ia menjelaskan, proses hingga  pemba­yaran lahan oleh pihak PLN disaksikan Muspika Namlea yang dihadiri dua jaksa di Namlea saat itu Agus Sirait dan Berty Tanate.  Karena itu, jika Ferry Tanaya dijerat sendiri dalam kasus tersebut sangat tidak beralasan.

“PLN saat itu sangat dibantu oleh pihak Kejaksaan Tinggi Maluku karena pemilik lahan termasuk saya minta harga yang lebih tinggi. Nah, oleh jaksa saat itu diarahkan dan diminta harus sesuai dengan harga pasar yang sudah ditentukan PLN yaitu Rp 125 per kanti meter, sama dengan harga yang dibayar juga ke Fery Tanaya, sehingga harga pembelian tanah untuk proyek ini sangat transparan dan disampaikan dalam forum terbuka di balai desa,” tandas Sain.

Sain mengaku, siap diperiksa oleh pihak jaksa terkait kasus tersebut. “Se­moga jaksa panggil saya supaya saya men­jelaskan semua secara detail. Jangan ker­ja seperti itu. Katong semua jual tanah ke PLN harga satuan semua sama,” ungkap Sain.

Baca Juga: DPRD dan 4 RS Swasta Bahas Masalah Penolakan Pasien

Sain juga mengaku saat itu dirinya masih menjabat sebagai Kepala PLN Namlea sehingga mengetahui pro­ses hingga transaksi lahan yang dilakukan para pihak kala itu.

“Survei itu beta belum pensiun beta masih di PLN. Semua orang di Namlea tahu lahan itu milik Ferry Tanaya. Lahan Ferry Tanaya punya itu untuk keperluan pusat pem­bangkit, sementara lahan punya keluarga saya untuk pekerjaan gardu induk. PLN bayar lahan itu Rp 125 ribu per kanti meter sama de­ngan Ferry Tanaya juga,” beber Sain.

Hal yang sama juga diungkapkan Karim Wamnebo. Menurutnya, ltim yang terdiri dari PLN Wilayah IX Maluku, BPN dan Muspika Namlea selama berproses tidak dipertemu­kan dengan Ferry Tanaya secara pribadi, namun dengan orang tuanya di Namlea.

Tim ini memohon kepada orang tua Ferry Tanaya (mama) untuk melepaskan lahan tersebut demi kepentingan umum yakni pembangunan PLTG.

“Jadi PLN itu ke rumah mama (orang tua pak Ferfy). Memohon supaya lahan itu dijual. Tapi karena alasan kepentingan umum, ya, mama menyetujuinya. Setelah proses itu berlalu, saatnya untuk pem­ba­yaran dilakukan di Kantor Desa disaksikan Muspika Namlea,” beber Karim.

Karim menuding jaksa  mengada-ngada dalam penetapan Tanaya sebagai tersangka. “Kalau Ferry tersangka, lalu bagaimana dengan pihak lain yang saat itu juga ikut bersama dengan Ferry Tanaya menjual lahan mereka. Kalau beralasan itu tanah negara, justru  Ferry Tanaya punya surat-surat tanah lengkap. Ini kan aneh,” tandas Karim.(S-32)