AMBON, Siwalimanews – Puluhan sopir truk yang meng­angkut logistik tujuan Namlea dan Namrole di Pulau Buru, Kamis (11/6), mengamuk di Pelabuhan Ferry Galala, lantaran sudah empat hari kapal ferry tunda keberangkatan.

Aksi protes para sopir akibat kapal batal berangkat sejak Senin (8/6). Kapal ferry tujuan Pulau Buru batal berangkat dengan alasan sopir truck harus menunjukan surat rapid test Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Kepada Siwalima di Pelabuhan Galala, sejumlah sopir truk me­ngaku kesal dengan tim kesehatan pelabuhan. Pasalnya, Gustu Covid-19 telah mengeluarkan surat untuk sopir truk logistik diizinkan ber­layar tanpa rapid test.

“Kita kesulitan, karena kemarin dari tim kesehatan pelabuhan min­ta untuk kita rapid kita protes, dan hari ini (kemarin Red) kami minta su­rat ke gustu provinsi, setelah su­rat ini kami kantongi, sampai hari ini, perwakilan dari tim kesehatan pe­labuhan tidak hadir di derma­ga,” ungkap Koordinator sopir truk Namlea, Andre Aipassa kepada Siwalima Kamis (11/6) malam.

Aipassa mengaku pihak ASDP sudah berkoordinasi dengan pihak kesehatan pelabuhan. Namun sa­yangnya, tim kesehatan pelabuhan tak menunjukan batang hidungnya. Padahal kapal yang hendak keluar pelabuhan harus mengantongi su­rat yang ditandatangani tim ke­sehatan pelabuhan.

Baca Juga: Peduli Tim Medis, Artha Graha Serahkan APD

“Saat ini ASDP sudah mengacu pada Perwali Nomor 16 Tahun 2020. Disitu dijelaskan untuk sopir angkutan barang atau logistik tidak mengunakan rapid test, namun pro­tokol kesehatan harus diutama­kan,” beber Aipassa.

Aipassa dan rekan-rekannya bah­kan sempat bertanya, kalau kondisi saat ini, tim kesehatan pe­labuhan me­nggunakan aturan yang mana. Kalaupun tak menggu­nakan perwali, seharusnya tim ke­sehatan pela­bu­han sosialisasikan ke masyarakat.

“Deng kondisi bagini kita pusing. Telur yang harus diangkut ke Pulau Buru mulai membusuk, termasuk ayam dan bawang merah.

“Sampai hari ini biaya opera­sional berapa banyak yang sudah kami keluarkan. Kita mau ikut aturan yang mana kementerian, gu­bernur atau walikota. Yang  bertanggungjawab terhadap hal ini siapa,” tandas Aipassa.

Sopir truk lainnya yakni Rovik juga mengatakan hal yang sama. Me­nurut Rovik, dengan adanya kon­disi se­perti ini, harus bayar rapit test de­ngan harga yang mahal, atu­ran yang dibuat ini semakin men­cekik leher.

“Aturan ini imbasnya ke kami de­ngan harga rapid yang mahal mem­buat kami juga kesulitan dite­ngah pandemi covid ini,” ujar Rovik.

Sopir lainnya Tonci (38) juga me­ngaku, biaya rapid yang mahal dan hanya berlaku tiga hari membuat mereka semakin sakit hati.

Ditempat yang sama, Nanang sopir logistik yang memuat ba­wang dan telur menyayangkan pi­hak pelabuhan yang sengaja mem­­permainkan para sopir truk.

Menurut Nanang, selama empat hari parkir di pelabuhan bawang yang diangkutnya mulai membu­suk dan tidak lagi bisa digunakan.

Hal yang sama di ungkapkan La Ilu, yang mengangkut lima ton ba­wa­ng yang saat ini sudah mem­busuk. “Di truk saya ada lima ton ba­wang dan wortel, sekarang mua­tan­nya sudah busuk dan tidak bisa lagi digunakan,” ungkapnya.

Sementara itu, Ati Sasoleh pe­numpang yang akan menggu­na­kan kapal tersebut mengungkap­kan, ia dan ketiga anaknya sudah melakukan rapid test pada Senin (10/9). dengan nominal Rp 300 ribu/orang. Kalau ditambah biaya angkutan biaya yang dikeluarkan cukup besar.

“Kita sudah rapid test deng harga yang mahal, baru kata­nya surat rapid yang dibuat hanya berlaku hingga tiga hari. Sekarang kalau ferry ini tidak juga berangkat ke Pulau Buru, saya dan keluarga sangat-sangat dirugikan.

Ati berharap kapal ferry tujuan Pulau Buru segera diberangkatkan oleh pihak berwenang, karena mas­yarakat pengguna moda trans­portasi ferry sudah dirugikan se­lama beberapa hari di Pelabuhan Galala.

Rapid Test Harus Gratis

Staf Pengajar Hukum Pemerin­tahan Daerah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon, Nasarudin Umar mengungkap­kan, pada prinsipnya Perwali Nomor 16 tahun 2020 memprioritaskan pe­ngangkutan logistik untuk kebu­tuhan sembako, karena itu seha­rusnya ada kebijakan khusus kepada para mobil angkutan logis­tik dalam rangka memenuhi kebu­tuhan dasar masyarakat.

Nasarudin mengatakan hal itu kepada Siwalima menyikapi aksi sopir angkutan logistik yang tidak diizinkan berlayar ke Pulau Buru menggunakan moda transportasi ferry milik ASDP lantaran tidak punya surat keterangan rapid test.

“Seharusnya biaya rapid tes sopir angkutan logistik ditanggu­langi oleh pemda,” timpalnya ke­pada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (11/6).

Dikatakan, pembatasan dapat dilakukan tetapi pemerintah memi­liki tanggung jawab untuk meme­nuhi kebutuhan dasar, yang ke­mudian itu diwujukan dengan ke­mudahan dan keringanan kepada semua pihak termasuk sopir ang­kutan logistik.

Disitulah harapannya, sehingga pemerintah pusat melalui Perpu Nomor 1 tahun 2020 tentang ke­bijakan keuangan dibidang Covid-19 memberikan kewenangan ke­pada pemerintah daerah mela­kukan rekofusing dan realokasi anggaran untuk menangani Covid-19.

Menurutnya dengan kewena­ngan yang diberikan, maka salah satu aspek yang mestinya dialokasikan oleh pemda yaitu anggaran untuk pembiayaan rapid test agar mem­berikan fasilitas gratis kepada masyarakat termasuk supir ang­kutan logistik. “Saya kira tidak tepat jika ada kebijakan pemerintah yang mem­bebani biaya rapid test ditanggung oleh supir angkutan logistik,” jelasnya.

Menurutnya, dapat dibayangkan jika para sopir mogok dan kemu­dian tidak mengangkut sembako, alhasil masyarakat sendiri tidak menda­patkan kebutuhan pokok maka yang rugi masyarakat sendiri akibatnya ekonomi tidak ajalan dengan baik.

“Artinya protokol kesehatan se­dapat mungkin tidak membebani masyarakat karena ada aspek dimana negara dan pemerintah harus hadir dalam memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Nasarudin meminta agar peme­rintah dapat lebih bijak lagi melihat persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak termasuk rapid tes harus dilakukan secara gratis.(Mg-4/Mg-5/ S-45)