AMBON, Siwalimanews – Hakim Pengadilan Tipikor Ambon geram dan meminta jaksa segera menahan pegawai BPK, Sulistyo karena berbohong di persidangan.

Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (4/12), Ketua majelis hakim, Harris Tewa, naik pitam, lantaran Sulistyo membantah pernah me­minta uang senilai Rp350, seba­gaimana pengakuan saksi-saksi di persidangan sebelumnya.

Kala itu sejumlah saksi mengakui memberikan uang sebesar Rp350 juta kepada yang bersangkutan un­tuk memuluskan laporan keua­ngan Kabupaten Kepulauan Ta­nim­bar, menjadi wajar tanpa pengecualian (WTP).

Sebaliknya, Sulistyo mengaku, uang yang dia terima diberikan sebagai hadiah, karena sudah membantu KKT meraih WTP.

Karena pengaluan Sulistyo yang dianggap bohong, Harris Tewa yang didampingi hakim ang­gota, Antonius Sampe Samine dan Wilson Shriver meminta JPU untuk segera memproses hukum Sulistyo dan menahan yang bersangkutan karena dinilai telah berkata bohong dalam persidangan.

Baca Juga: Jaksa Kurung Tiga Pejabat Poltek Ambon

Hakim bahkan mengingatkan Su­listyo sudah dibawah sumpah sehi­ngga tidak bisa berbohong, karena beberapa saksi mengatakan membe­rikan uang kepadanya.

“BPK emang boleh terima uang? BPK punya intergritas kan? Bapak kan gak bodoh di sini. Gak usah munafik di sini. Stop jangan tipu-tipu, Bapak jangan coba coba. Se­perti itu.bisa tersangka orang ini. Sudah dua saksi ngaku. BPK terima uang kalau sesuai prosedur kenapa terima. Jangan basa basi,” tegas hakim ketua.

Hakim dengan tegas meminta JPU untuk menindaklanjuti pernyataan bohong Sulistyo yang mengaku tidak meminta uang dari Kepala Inspektorat KKT, Jedith Huwae.

“Pak jaksa ini berbohong, segera ditindaklanjuti. Sampai perkara belum selesai tahan dan proses. Enak saja, jangan bohong, sudah diakui kok, “ geram hakim.

Setelah diminta jaksa untuk tahan, Sulistyo akhirnya mengaku dirinya menerima uang  dari BPKAD melalui Kepala Inspektorat Jedith Huwae.

Kata dia, dia, pada tahun 2020 dirinya menerima Rp350 juta dari BPKAD sebagai hadiah balasan WTP KKT tahun 2020.

Meski sebelumnya berbohong, akhirnya Sulistyo mengaku mene­rima uang tersebut usai dicecar hakim, dan dikonfrontir dengan Saksi Albyan Touwelly, Saksi Ke­pala Inspektorat Jedith Huwae dan terdakwa Jonas Batlayeri.

“Benar saya terima uang, ketika diserahkan disampaikan bahwa uang tersebut sebagai rasa syukur,” akui Sulistyo,

Hakim kemudian menanyakan alasan Sulistyo menerima uang ter­sebut, meski sebagai BPK dilarang menerima bantuan atau gratifikasi dalam bentuk apapun.

“Saya terima sebab itu dibilang sebagai ungkapan syukur. Saya juga dipindahkan ke Jakarta karena terima uang tersebut dan menjalani hukuman disiplin,” paparnya.

Lebih jauh Sulistyo menjelaskan, jika perolehan WTP Tanimbar tak didapatkan dengan wajar.

“Perolehan WTP KKT sejak tahun 2019-2020 untuk 2021 saat tak tahu, sebab sudah dipindahkan. Perole­han WTP itu saya akui tak wajar, “ ungkap Listyo lagi ketika ditanya Hakim Harris Tewa.

Bantah Terdakwa

Sementara itu beberapa anggota DPRD yang dihadirkan dalam ruang sidang membantah pernyataan saksi Albyan Touwelly serta terdakwa Jonas Batlayeri dan Maria Goretti Batlayeri.

Bantahan yang disampaikan oleh Ketua Komisi B Apolonia Larat­mase. Dirinya secara berulang dan tegas mengaku tidak menerima sejumlah uang.

“Saya tidak pernah menerima uang di tahun 2020 dari terdakwa Jonas, Reti dan Albyan. Kalau di tahun 2019 seperti sebelumnya saya sampaikan bahwa pernah menerima di tahun 2019 atas perintah mantan bupati,” tegas Apolonia

Hakim kemudian mengkonfortir dengan terdakwa, namun tetap di­bantah Apolonia kalau dirinya tak menerima.

“Ini sejumlah saksi sudah menga­ku, saksi Stanislaus Kenjapluan juga mengaku pernah antar uang ke saksi di rumah, jawab Apolonia tetap membantah jika dirinya tak me­nerima Rp. 450 juta seperti yang disebutkan,” paparnya.

Tak hanya Apolonia, sejumlah saksi juga membantah pernah me­nerima uang. Misalnya Wan Lek­runa, Ivone Sinsu, Markus Atua, Godlief Siletty, Ambrosius Rahan­watty dan Nikson Lartutul.

Bantahan itu disampaikan para saksi saat diakui terdakwa Jonas, Jika pihak BPKAD menyerahkan uang senilai 170 juta kepada mereka melalui Godlief Siletty.

“Kami tidak pernah menerima uang seperti yang dituduhkan,” tutur para saksi.

Sementara Saksi Jaflaun Batlayeri mengaku menerima semen tetapi dalam bentuk adat. Dirinya mengaku tak tahu sumber uang yang dipakai membeli semen yang diantarkan kepadanya sehingga dirinya akan kembalikan.

“Majelis hakim, jujur saya terima semen tetapi itu pemberian karena adat. Namun jika demikian maka saya akan kembalikan semen tersebut. Kalau saya tahu dari awal tidak mungkin saya terima semen itu,” tuturnya.

Usai mendengar pernyataan ter­sebut, Hakim memastikan waktu pengembalian semen tersebut sem­bari menanyakan waktu pengem­balian.

“Saya akan kembalikan semen itu setelah ini,” ujarnya.

Usai mendengarkan keseluruhan Keterangan saksi, Hakim kemudian menunda persidangan dan akan dilanjutkan pekan depan dengan  menghadirkan sejumlah saksi.

350 Juta ke BPK

Seperti diberitakan sebelumnya, Sulistyo, disebut menerima Rp350 juta, untuk mengamankan status WTP Kabupaten Kepulauan Tanim­bar, tahun 2020.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan tindak pi­dana korupsi surat perintah perjalanan dinas fiktif di BPKAD, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, yang digelar di Ruang Tirta Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (27/11).

Sidang menghadirkan dua saksi yakni Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Apolonia Laratmase dan Kepala Inspektorat, Jeditya Huwae.

Dalam keterangannya, Huwae mengaku, dirinya merupakan orang yang dimintai untuk membantu mengantarkan uang senilai Rp 350 juta kepada Sulistyo.

“Benar, saya yang mengantarkan uang Rp 350 juta kepada Sulistyo, Anggota BPK RI Bidang Pengendali Teknis Tim Audit, karena mereka yang minta. Saya antar di Hotel Biz di Ambon setelah diantar kepada saya oleh Saksi Albyan Touwelly,” akui Huwae.

Dikatakan, uang Rp 350 juta itu sebagai pemulus untuk meraih predikat wajar tanpa pengecualian tahun 2020.

“Benar, mereka sendiri yang meminta saya untuk memfasilitasi pertemuan dengan Kepala BPKAD Jonas Batlayeri. Katanya, tolong bantu kami,” ujar Huwae.

Setelah itu, majelis hakim mengkonfrontir keterangan Huwae dengan terdakwa Yonas Batlayeri selaku Kepala BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Terdakwa mengaku nilainya Rp 450 juta tetapi terjadi tawar-menawar hingga persetujuan di angka Rp 350 juta.

“Apa yang disampaikan pak Edi (Kepala Inspektorat-red) tidak benar soal nilainya. Yang diminta awal adalah Rp 450 juta, akan tetapi saya sampaikan bahwa apakah tidak terlalu mahal, lalu jawab Sulistyo, kalau gitu bisa dikurangi sehingga kami setuju di angka Rp 350 juta. Hari itu dan besoknya, saya perintahkan Sekretaris, Maria Gorety untuk siapkan dan Albyan Touwelly yang mengantarkan,” beber terdakwa. (S-26)