Wacana sekolah kembali dibuka untuk pembelajaran tatap muka (PTM). Penyelenggaraan PTM ini seolah menjadi catatan sejarah. Hal ini tak berlebihan, sebab lebih dari setahun, para siswa dan pengajar tak bisa bersua langsung demi mencegah terpapar virus Covid-19.

Ikhtiar membuka sekolah ketika pandemi belum berakhir seperti saat ini memang bukan hal enteng. Selain rasa was-was terpapar Covid-19 masih meliputi proses PTM, polemik soal kebijakan ini pun seolah tak berkesudahan. Tak hanya di masyarakat bawah, pro kontra di ruang publik juga terlihat jelas manakala kebijakan yang diterbitkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim ini belum mendapat respons positif dari Walikota Ambon, Richard Louhenapessy.

Terlepas dari pro kontra yang masih terjadi, nyatanya beberapa pemerintah daerah telah memutuskan membuka gerbang sekolah mulai kemarin. Pemprov DKI Jakarta misalnya, kemarin telah menyelenggarakan lagi PTM di 610 sekolah. Jumlah ini memang masih kecil jika dibandingkan dengan total sekolah di provinsi ini yang mencapai 5.000 lebih. Namun langkah Pemprov DKI ini tentu juga sudah dipikirkan matang. Merujuk data yang beberapa kali diutarakan oleh Gubernur Anies Baswedan, PTM ini memang dibuka karena telah lolos sejumlah prasyarat, seperti vaksinasi pendidik, tenaga kependidikan, siswa maupun melihat perkembangan terkini dari kasus Covid-19 di suatu wilayah.

Ini terlihat adanya sikap kehati-hatian yang dilakukan Walikota Ambon untuk membuka PTM ini. Sikap Louhenapessy yang belum mau terburu-buru membuka PTM manakala wilayahnya belum lama lolos dari zona merah kasus Covid-19 juga patut dihargai. Kendati dari perspektif komunikasi birokrat, model kritikan semacam ini patut disayangkan, namun tentu Louhenapessy lebih memahami kondisi di wilayahnya ketimbang Menteri Pendidikan. Pada titik ini pun, sejatinya, semua pihak memiliki satu tujuan besar ingin menyelematkan generasi penerus bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Lebih dari itu, mereka juga berkomitmen ingin memastikan seluruh elemen yang terlibat dalam PTM ini benar-benar terjaga kesehatannya.

Cepat atau lambat pula, PTM di sejumlah wilayah di Kota Ambon akan dibuka. Justru ketika kebijakan ini berjalanlah yang patut mendapatkan pengawasan bersama. Monitoring dan evaluasi adalah sebuah keniscayaan karena untuk menjalankan protokol kesehatan di ranah sekolah juga bukan hal mudah.

Baca Juga: Berikan Sanksi Tegas

Kita tahu, sekolah diisi oleh generasi bangsa yang masih anak-anak. Lantaran predikatnya anak-anak, maka tingkat konsentrasi dan kedisiplinan mereka belum sebaik seperti orang yang lebih dewasa. Berangkat dari kesadaran ini, maka pola pengawasan yang terus menerus dan komprehensif menjadi hal yang tak boleh dibiarkan.

Namun persoalan di lapangan seringkali kian kompleks. Pe­ngawasan terhadap anak kerap terabaikan lantaran keterbatasan guru, tenaga pendidikan, anggaran, sarana dan prasarana maupun lainnya. Bagi Pemkot Ambon, mungkin saja persoalan ini bisa diatasi karena ketersediaan anggaran yang memadai. Namun bagi sekolah lain, bisa jadi banyak memiliki keterbatasan yang membuat pengawasan tidak bisa terus ketat.

Penerapan prokes sangatlah berpotensi menimbulkan penyebaran Covid-19. Situasi ini tentu tidak kita harapkan. Apalagi, bangsa ini baru saja lolos dari gelombang tsunami Covid-19 pada tiga bulan terakhir. Ingatan kolapsnya layanan kesehatan, banyaknya nyawa hilang, nakes bertumbangan dan ambulans kematian berseliweran di jalan masih begitu membekas di benak kita semua.

Melihat realitas ini, pengawasan atas PTM tidak bisa ditumpukan kepada penyelenggara sekolah semata. Semua stakeholder PTM, seperti guru, siswa, orang tua, komite sekolah, pemerintah daerah, satgas Covid-19 harus secara aktif memantau di lapangan untuk memastikan kebijakan ini berjalan aman dan baik. Ikhtiar itu lebih efektif dan murah ketimbang kita kembali menghadapi gelombang Covid-19 yang sangat mungkin melenyapkan segalanya. (*)