Secara Administrasi Tanaya Jual Tanah ke PLN Sesuai Prosedur
AMBON, Siwalimanews – Akademisi Hukum Unpatti, Hendrik Salmon mengatakan, secara administrasi, pengusaha Fery Tanaya menjual lahannya ke PLN untuk keperluan pembangunan proyek PLTMG di Namlea Kabupaten Buru sesuai prosedur.
Pasalnya, dari segi administrasi, semua syarat sudah dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam UU Pokok Agraria, dimana proses tersebut sudah melalui apraisal yang didalamnya juga terdapat unsur kejaksaan.
“Tapi kalau menyimak kasus ini, saya berkesimpulan ini merupakan suatu inprosedural dalam praktek penyidikan sampai dengan penetapan Tanaya sebagai tersangka. Nah kasus ini kan dia prosedur dari segi admanistrasi, memenuhi prosedur sebagaimana diamanatkan dalam UU, dimana pengadaan tanah bagi kepentingan umum karena melalui suaru proses aprisal. Penilaian kemudian ada tim pembebasan lahan dan terlibat juga unsur kejaksaan,” jelas Salmon di Ambon Kamis (20/5).
Ia mengungkapkan, tuduhan Tanaya menjual tanah milik negara, harusnya penyidik buktikan. Sebab di Indnesia tidak ada tanah milik negara. Tanah itu dikusai oleh negara, sebagaimana diamanatkan dalam UU Pokok Agraria.
“Negara mengatur bukan memiliki. Kalau proses yang dialami pak Tanaya ini merupakan proses kriminalisasi terhadap yang bersangkutan sebab inprosedur. Menjual barang milik negara, kejaksaan harus hati-hati karena UU tidak ada tanah milik negara yang adalah hak menguasaiu negara untuk mengatur. Hak itu diatur dalam UU Agraria terkait pengadaan tanah bagi kepentingan umum,” jelas Salmon.
Baca Juga: Ahli Waris Lahan Eks Hotel Anggrek Polisikan Dirut PLNCari Kesalahan
Akademisi Hukum Unpatti, George Leasa menilai, Fery Tanaya pengusaha asal Namlea dijerat dalam kasus ini sangat disesalkan. Sebagai aparat penegak hukum, mestinya Kejati Maluku elegan dan bukan mencari-cari kesalahan orang.
“Saya bilang mencari kesalahan orang, karena kasus ini Fery Tanaya dituduh jual tanah milik negara ke PLN. Pernyataan tanah milik negara ini sudah salah kaprah. Negara tidak pernah memiliki tanah. Negara itu punya hak menguasai bukan memiliki. Jadi kalau itu tanah milik negara tidak benar,” kata Leasa Selasa (18/5).
Leasa menegskan, penyidik kejaksaan harus membuktikan apakah betul tanah itu adalah tanah negara. Dalam istilah tanah negara bebas, itu betul. Kalau tanah negara bebas, maka bisa diberikan hak kepada penduduk Indonesia termsuk bekas erpack. “Erpack itu kan dikonversikan bisa menjadi hak guna usaha. Lalu awal dari hak erpack itu terus terjadi jual beli. Ya, kalau sudah terjadi jual beli, maka dengan demikian itu tidak lagi menjadi tanah negara,” ungkap Leasa.
Leasa menjelaskan, Fery Tanaya membeli lahan tersebut dari pemilik awal, maka hak sudah beralih. Adminsitrsi kepemilikan pun sah karena dibuat oleh PPAT yang waktu itu atau zaman itu camat.
“Secara logika, dengan kasus ini, kejaksaan atau penyidik harus membuktikan dulu status tanah itu,” ujarnya.
Pembuktian tambahnya, tidak sekedar cuma komplain. Penyidik tahu kalau istilahny tanah yang dikuasai oleh negara dan bukan tanah milik negara. “Harus diletakan pada istilah hukum yang pas. Sebab kalau negara memiliki maka rakyat tidak mendapatkan hak untuk itu. Semua negara itu kan sudah ada hak-hak rakyat di sana. Jadi kalau kembali ke kasus itu, jangan sampai kejaksaan ini mengejar kesalahan orang,” ingatnya.
Leasa mengungkapkan, kejaksaan adalah penegak hukum untuk menegakan hukum dimana ada yang melanggar hukum. Bukan mencari kesalahan.
“Apakah betul kita sebagai warga negara itu mengharapkan penegak hukum seperti itu. Menegakan hukum harus betul-betul memiliki bukti yang kuat. Negara harus mampu untuk membuktikan bahwa itu adalah tanah dikuasai oleh negara karena ada tanah negara bebas. Dalam istilah tidak ada tanah milik negara,” pungkasnya.
Lebih lucu lagi tambah Leasa, Kejati menyikapi dugaan korupsi pengadaan lahan PLTMG Namlea diskriminasi, lantaran hanya menyeret Fery tanaya, padahal ada orang lain atau subjek lain yang lahannya ikut dibeli PLN berstatus bekas erpack.
“Nah kenapa hanya Fery Tanaya yang ditetapkan tersangka, orang lain tidak. Padahal pembayaran ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan pembangunan PLTMG, bukanlah Fery Tanaya seorang diri, melainkan banyak subjek penerima ganti rugi, bahkan ada subjek penerima yang status tanahnya juga masih hak kolonial yang dibeli PLN, ada apa,” jelas Leasa.
Dalam persoalan jual beli, dimana negara melalui PLN sudah membeli lahan maka tidak bisa diklaim itu lahan Fery Tanaya. “Sekarang lahan itu PLN pemiliknya, menguasai hak pakai ada di PLN. Hak guna usaha ada di PLN. Jadi harus diklaim apakah jual beli itu adalah sah, tapi sudah persoalan perdata. Masalah jual beli, kesepakatan kedua belah pihak. Penjual Fery Tanaya dan pembeli adalah PLN dalam hal ini negara. PLN menetukan harga terjadi tawar menawar, kebetulan menggunakan uang negara, maka melibatkan pihak ketiga karena pembeli itu ada dalam satu tim. Maka pembeli itu adalah sah. Menentukan harga bukan Fery Tanaya, tetapi yang menentukan adalah apraisal yang adalah lembaga independen karena menggunakan uang negara itu. Jadi sekarang tanah itu tidak lagi bisa menjadi hak Fery Tanaya, karena sudah beralih penjualan sudah terjadi. Jual beli sudah terjadi, sudah menyerahkan ya namanya hak dan kewajiban. Fery Tanaya punya kewajiban untuk menyerahkan tanah dan punya hak mendapatkan nilai dari tanah itu. Begitupun PLN punya kewajiban untuk menyerahkan nilai pembayaran nlai uang dan punya hak untuk tanah itu. Jadi tanah itu sekarang tidak lagi menjadi milik Fery Tanaya. Kenapa dia diseret. Jual beli ada pada rana hukum privat yakni perdata dan bukan hukum publik,” beber Leasa.
Melalui Prosedur
Toko Buru Talim Wamnebo mengungkapkan, setelah mengamati pemberitaan melalui media, keterangan pers Kajati, Rorogo Zega dan fakta-fakta terungkap di pengadilan saat pra peradilan membuat masyarakat menjadi bingung atas kasus ini.
Pembebasan lahan sudah melalui prosedur mengacu pada UU Nomor 2 tahun 2012, verifikasi berjalan sesuai ketentuan dan melalui 14 pentahapan sebelum dilakukan pembayaran dan harga ditetapkan apraisal juga mengacu Nilai Pengganti Wajar (NPW) dan lahan semua sudah diterima PLN dengan aman .
Proyek ini juga sudah bejalan mengejar waktu yang direncanakan beroperasi 2018. Hanya karena salah satu penerima ganti rugi adalah seorang pengusaha ternama di Namlea, sehingga pihak Kejati Maluku seakan tidak relah membiarkan pengusaha tersebut menerima ganti rugi begitu saja.
Kejati Maluku memutar otak dan mencari seribu cara untuk menjerat pengusaha tersebut agar uang ganti rugi dikembalikan kepada Kejati Maluku. Rakyat bisa melihat bahwa dari semua ganti rugi dibayarkan oleh PLN dengan harga Rp 125 ribu/M2 , hanya bedanya FT menerima ganti rugi Rp 125 ribu termasuk tanaman.
“Sedangkan pemilik lain yang dibayarkan oleh pihak Kejati Maluku waktu itu diwakili jaksa Agus Sirait tidak termasuk tanaman dan tanaman dibayar tersendiri lagi. Artinya PLN dan Kejati membayar lebih mahal dari pembebasan lahan pengusaha Fery Tanaya itu. Bagaimana bisa Kejati Maluku menuduh yang bersangkutan melakukan kongkalikong dengan PLN untuk mengelembungkan harga dengan alasan harga diatas NJOP. Kalaupun ada kesalahan karena harga diatas NJOP, mengapa Kajati Maluku tidak minta tanggung jawab dari apraisal yang menepatkan harga,” ungkap Talim.
Talim menyesali instutisi besar seperti Kejati Maluku tega-teganya membohongi rakyat Maluku sejak 2017 sampai sekarang. “Kita rakyat ingin tahu apakah kejahatan rekayasa yang dimulai sejak 2017 mengunakan uang negara atau tidak dalam proses peyelidikan dan penyidikan. Yang pasti akibat dugaan rekayasa dan tidak berprikemanusiaan dilakukan penyidik, telah menelan banyak korban dan terjadi kerugian negara akibat mangkraknya Proyek PLTMG 10 Mw ini dan memperpanjang penderitaan rakyat di dua kabupaten yakni Buru dan Bursel yang selama ini kekurangan listrik,” katanya.
Fakta persidangan, penyidik mengakui proses penyidikan ini tidak ada pihak yg melapor. Ini Fakta yg tidak dibantah siapapun karena bukti bukti koran tentang tuduhan mark up semua diberitakan oleh pihak Kejati sendiri.
“Kajati Rorogo Zega pasti tahu karena pihak Kejati sendiri ikut sosialisasi kepada pemilik pemilik lahan lain atas harga itu. Atau apa mungkin Kajati dibohongi oleh anak buahnya sendiri ? Setelah gagal dengan tuduhan mark up, tuduhan Kejati Maluku diganti dengan pengusaha Fery Tanaya menjual tanah milik negara.
“Kami rakyat bertanya atas penjelasan Kajati di hadapan undangan media di ruang kantor Kejati Maluku saat Fery Tanaya ditahan, Kajati menjelaskan akte jual beli yang dilakukan Tanaya dihadapan PPAT, Usman Rada tahun 1985 batal demi hukum karena yang menjual adalah warisnya. Menurut pak Kajati tanah erpack / bekas hak barat yang tidak dikonversi berakhir setelah pemiliknya meninggal dan tidak bisa diwariskan. Rakyat bertanya kalau benar ada UU atau aturan seperti itu, mengapa Pak Kajati Rorogo Zega tidak membatalkan jual beli Said Bin Thalib yang juga memiliki erpack / bekas hak barat yang dijual juga ke pihak PLN,” beber Talim.
Lucunya lanjut Talim, tanah eks erpack atau hak barat kepunyaan Said Bin Thalib AJB diverifikasi dan dibayarkan oleh pihak Kejati Maluku berdasarkan jual beli 1928 sebelum Indonesia merdeka. “Yang menerima juga ahli warisnya karena tentunya pemilik sudah meninggal. Bagaimana pak Kajati menerapkan hukum seperti ini. Disatu pihak Kajati Rorogo Zega jelaskan kebun eks hak barat tidak bisa diwariskan dan menjadi milik negara setelah warisnya meninggal, tapi kalau non pengusaha justru dibayarkan pihak Kejati Maluku kepada warisnya. Mengapa Kejati tidak meminta BPKP menjadikan uang ganti rugi yang diterima Said Bin Talib sebagai kerugian negara seperti yang Kejati lakukan kepada pengusaha Tanaya,” urainya.
Akibat dari proyek PLTMG ini terlilit kasus, penderitaan rakyat Buru dan Bursel berkepanjangan.
“Proses sertifikasi lahan yang dibebaskan untuk mesin induk oleh PLN terhambat karena semua dokumen disita untuk keperluan penyidikan. Sebagai tokoh masyarakat Buru yang dirugikan atas dugaan rekayasa kasus ini saya sangat menyesalinya. Rakyat Buru dan Bursel harus siap menerima kenyataan tidak menikmati aliran listrik,” sesal Talim. (S-32)
Tinggalkan Balasan