RUU Sisdiknas Milik Siapa?
RUANG publik diriuhkan beredarnya rumusan draf RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Diskursus RUU Sisdiknas itu menjadi penting karena sejatinya pendidikan merupakan barang publik (public goods). Namun, wujud pendidikan sebagai barang publik itu disinyalir belum sepenuhnya tecerminkan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas yang diinisasi Kemendikbud-Ristek. Alih-alih membuka seluas-luasnya akses terhadap draf naskah akademik dan RUU Sisdiknas, malah draf tersebut terkesan disembunyikan. Menyoal draf RUU Banyak orang tentu paham bahwa sebuah draf RUU masih banyak kekurangan dan perlu masukan beragam pihak. Upaya menutup-nutupi draf tersebut justru akan kontraproduktif sekaligus menambah persoalan dan bukan mengatasinya.
Draf RUU jangan diisolasi dalam bungker kepentingan elite. Sebagai dokumen publik, draf RUU ialah bagian dari ‘kekitaan’ (publik) dan bukan bagian dari ‘kekamian’ (elite). Oleh karena itu, kepentingan publik tidak boleh dibegal baik oleh kepentingan oligarki politik maupun oligarki ekonomi. Sulitnya akses terhadap draf RUU Sisdiknas membuat sebagian besar masyarakat menilai perumusan RUU Sisdiknas kurang transparan dan kurang mengedepankan asas keterbukaan serta minim partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation). Akibatnya, sebagian publik bertanya-tanya sejatinya RUU Sisdiknas ini milik siapa? Apakah milik publik atau milik elite? Substansi RUU Sisdiknas ini pada dasarnya membahas kepentingan dan kemaslahatan publik di bidang pendidikan sekaligus sebagai legasi bagi generasi Indonesia masa depan. Untuk itu, segala informasi terkait dengan RUU Sisdiknas harus dibuka kepada publik secara luas. Publik pun harus dilibatkan setidaknya dalam tahapan perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Jika publik tidak banyak dilibatkan, tentu bertentangan dengan sejumlah hal berikut. Pertama, berpotensi melanggar konstitusi UUD NRI 1945 yang menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengetahui informasi publik (right to know). Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial mereka, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kedua, berpotensi melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 5 huruf g UU No 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) disebutkan bahwa salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ialah asas keterbukaan. Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g UU PPP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘asas keterbukaan’ ialah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam berbagai tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiga, berpotensi melanggar ketentuan terkait dengan kewajiban partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 96 UU PPP disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi.
Di samping ketentuan tersebut, kewajiban untuk membuka partisipasi publik pun terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam bagian dari putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Keempat, berpotensi tidak selaras dengan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Dalam Pasal 1 Angka 2 UU KIP disebutkan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Transparansi RUU Jika merujuk ketentuan tersebut, sejatinya RUU Sisdiknas merupakan informasi dari badan publik yakni Kemendikbud-Ristek yang berkaitan dengan kepentingan publik di bidang pendidikan. Oleh karenanya, RUU Sisdiknas itu merupakan bentuk dari informasi publik yang harus diketahui dan disebarkan kepada publik secara luas. Di samping itu, RUU Sisdiknas bukanlah rahasia negara. RUU Sisdiknas pun bukan merupakan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU KIP seperti informasi yang membahayakan pertahanan keamanan negara, merugikan ketahanan ekonomi nasional, mengungkap rahasia pribadi, dan informasi yang dikecualikan lainnya sebagaimana diatur dalam UU KIP.
Baca Juga: Solusi Honorer PemerintahanPenyebarluasan draf RUU Sisdiknas pun dijamin dalam Pasal 88 UU PPP yang menyebutkan bahwa (1) penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan pemerintah sejak penyusunan prolegnas, penyusunan rancangan undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang, hingga pengundangan undang-undang. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Begitu pun dalam Pasal 96 ayat (4) UU PPP disebutkan bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Untuk itu, baik naskah akademik maupun draf RUU Sisdiknas merupakan dokumen publik yang harus segera dibuka agar dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sebagai dokumen milik publik selayaknya naskah akademik maupun draf RUU Sisdiknas sejatinya dibuka ke publik untuk diberi masukan sebanyak mungkin sekaligus mencari rumusan terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara. Perlunya keterbukaan informasi publik merupakan wujud dari demokrasi deliberatif yang mengedepankan keterlibatan atau partisipasi publik secara bermakna sekaligus menghindari hegemoni kepentingan elite. Oleh: Cecep Darmawan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan peneliti hukum pendidikan
Tinggalkan Balasan