PERDEBATAN perihal peran dan kontribusi perempuan dalam ranah politik tidak pernah selesai dan kerapkali sengaja diabaikan. Salah satu faktor penyebab terbengkalainya suara perempuan dalam perpolitikan di negara ini ialah budaya patriarki yang masih mengakar; menganggap laki-laki lebih punya privilese dibanding perempuan. Namun, adanya sistem kuota 30 persen membuka ruang partisipasi bagi perempuan untuk terlibat aktif terlibat dalam masalah politik.

Di Indonesia, upaya untuk mencapai kuota 30% perempuan di meja parlemen telah dilakukan sejak Pemilu1999. Namun, masih terdapat tantangan baik dari segi elektoral maupun non-elektoral yang menyebabkan suara perempuan tidak terakomodasi secara baik. Berdasarkan data BPS misalnya, disebutkan bahwa pada Pemilu 2019 terbukti bahwa jatah 30 persen itu belum sepenuhnya tereaslisasi. Keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI.

Beberapa waktu lalu, terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan salah satu keputusan yang hal yang penting untuk disorot. Terpilihnya Kaesang, pada satu sisi, mencerminkan perkembangan politik di Indonesia yang semakin dinamis. Namun persoalannya adalah, mungkinkah ditangan Kaesang partai politik ini akan lebih inklusif dan mengakomodasi suara perempuan?

Dilema

Salah satu diskusi yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) betema Talkshow Perempuan dan Politik: Jejak, Peran, dan Startegi memberikan penilaian bahwa peran perempuan hanya dijadikan formalitas oleh partai politik, bukan melalui proses kaderisasi yang baik. Hal ini menjadi salah satu kendala serius mengapa peran perempuan dalam sektor politik tidak terlalu terakomodasi dengan baik.

Baca Juga: Tabrani: Penggagas Bahasa Persatuan Indonesia yang Menjadi Pahlawan Nasional

Kehadiran Kaesang sebagai Ketum PSI tentu bisa menjadi salah satu perantara untuk lebih aktif sekaligus turut mendorong parpol lain untuk membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin muda yang memiliki visi dan dedikasi untuk memajukan sekaligus kembali menyuarakan hak-hak kaum perempuan dalam politik.

Benar bahwa upaya untuk mengakomodasi suara perempuan dalam politik tidak hanya tanggung jawab partai politik dan Kaesang saja, tetapi juga harus melibatkan seluruh suara dan kesadaran masyarakat secara luas. Keterwakilan perempuan dalam politik adalah salah satu elemen penting dalam demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. Dalam konteks PSI sendiri, hadirnya beberapa nama, seperti Grace Natalie (Wakil Ketua Dewan Pembina), Isyana Bagoes Oka (Anggota Dewan Pembina), Fetty Retnofati Senjaya (Anggota Mahkamah Partai), dan Suci Mayang Sari (Bendahara Umum DPP) telah memberikan contoh positif perihal pelibatan perempuan dalam ranah internal PSI.

Pengaruh kuat Kaesang di jejaring sosial dan kalangan anak muda tentu menjadi nilai surplus tersendiri bagi PSI jika dia benar-benar ingin melibatkan suara perempuan dalam ranah politik. Popularitasnya di media sosial memungkinkan partai tersebut berkomunikasi lebih mudah  dengan pemilih muda dan menyebarkan pesan-pesan politik perihal pentingnya untuk mempertimbangkan sekaligus mengakomodasi kaum perempuan dalam ranah politik. Hal ini bisa menjadi modal penting dalam upaya partai untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas, terutama di kalangan generasi muda, yang cenderung lebih terhubung dengan dunia digital.

Pekerjaan rumah

Upaya melibatkan suara perempuan di lingkungan PSI setidaknya memberikan pendidikan politik bagi seluruh perempuan di Indonesia. Apa yang ditunjukkan PSI setidaknya telah menjadi langkah nyata untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di berbagai posisi di partai. Hal ini mencakup pengangkatan perempuan sebagai anggota DPP serta pencalonan perempuan dalam pemilu dan pemilu daerah. Namun tugas Kaesang dan PSI tidak cukup di tahap itu, masih ada tugas lain yang harus mereka kerjakan.

Tugas tersebut tercermin misalnya terkait adanya fakta bahwa kurangnya keterwakilan perempuan, meskipun sudah ada, di berbagai lembaga politik seperti parlemen dan pemerintahan daerah adalah indikasi nyata dari lemahnya suara perempuan. Meskipun jumlah perempuan di Indonesia sekitar setengah dari populasi, proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga politik masih sangat rendah. Bagi Kaesang dan PSI, menyuarakan hak perempuan tentu bukanlah hal yang mudah.

Dalam konteksi di Indonesia secara umum, masih ada ketidaksetaraan gender yang signifikan di Indonesia, terutama dalam hal partisipasi politik. Stereotip sosial yang menuduh perempuan kurang kompeten dalam urusan politik dan kepemimpinan menjadi salah satu penyebab kurang terakomodasinya suara perempuan dalam politik. Hal ini membuat perempuan sering kali tidak mendapatkan dukungan dan kesempatan yang sama.

Stereotip tersebut kemudian diperkuat dengan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia. Budaya partiarki ini menjadi penghalang bagi partisipasi aktif perempuan dalam politik. Perempuan dianggap lebih cocok di rumah dan dalam pekerjaan domestik, sehingga mereka sering kali tidak didorong untuk terlibat dalam kebijakan publik dan pengambilan keputusan politik.

Terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum DPP PSI tentu adalah sebuah langkah yang menarik dan mencerminkan dinamika politik di Indonesia yang dinamis. Kepemimpinan Kaesang memiliki potensi untuk membawa perubahan positif dalam partai dan juga dalam politik Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, upaya yang telah diambil oleh PSI dalam mengakomodasi suara perempuan adalah tindakan yang patut diapresiasi, karena meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik adalah langkah penting dalam mewujudkan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah, mungkinkah setelah ini Kaesang akan lantang menyuarakan isu-isu soal hak kesetaraan berpolitik bagi perempuan?Oleh: Imroatil Aziyzil Awwalin, Pegiat Isu-Isu Millenial dan Feminisme.(*)