AMBON, Siwalimanews – Kuasa Hukum Poly Nditjonas terdakwa dugaan peresetubuhan anak dibawah umur Yogie Ruspana dan Marneks Salmon kecewa dengan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Saumlaki yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara atas perbuatan yang tak pernah klien mereka lakukan.

Pasalnya, mejelis hakim tak pernah menimbang fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan, namun mengacu pada surat tuntutan JPU Hepies M Notanubun yang dakwaannya juga kabur sehingga memutuskan kliennya bersalah.

“Saya lihat dan saya cermati pertimbangan-pertimbangan majelis dalam sidang putusan pada 2 Juli lalu tidak ada yang menggunakan fakta-fakta persidangan, sehingga apa yang menjadi putusan landasannya adalah surat tuntutan bukan fakta di persidangan,” tandas Ruspana, kepada Siwalimanews melalui telepon selulernya, Rabu (15/7).

Menurut Ruspana, kasus yang dituduhkan kepada kliennya ini merupakan kasus yang terkesan dibuat-buat, sebab dari awal persidangan pada 6 Februari, dakwan jaksa tidak mengacu pada berita acara pemeriksaan (BAP) pihak kepolisian.

Pasalnya, dalam dakwaan jaksa tak disebutkan tanggal dan tempat kejadian, sementara dalam BAP kepolisian tertera tanggal kejadian adalah 17 April 2019 dengan TKP rumah dinas klien mereka.

Baca Juga: Audit Repo Saham, BPKP Koordinasi Jaksa

Selain itu dalam persidangan pemeriksaan saksi-saksi juga, sebagian besar saksi yang dihadirkan mengakui kalau pada 17 April 2019 itu, merupakan hari libur nasional sebab sementara berlangsungnya pemilu presiden, DPR, DPD dan DPRD Maluku serta DPRD Kabupaten.

“Semua saksi yang dihadirkan mengakui, kalau klien kami pada 17 April itu sementara bertugas selaku Ketua PPS, sementara tuduhan pelapor dalam hal ini keluarga korban bahwa pelaku melakukan persetubuhan dengan korban pada 17 April 2019 disaat korban pulang sekolah, tapi anehnya hakim tak melihat fakta ini,” ucapnya.

Bahkan dalam persidangan, pacar korban yang juga dihadirkan sebagai saksi mengaku melakukan persetubuhan dengan korban. Seharusnya, putusan majelis hakim sesuai dengan fakta persidangan yang ada, namun ternyata tidak.

Anehnya lagi dalam persidangan JPU tak mau menerima keterangan saksi-saksi dengan alasan persidangan tersebut bukan sengketa pemilu melainkan pidana, sementara perbuatan yang dituduhkan kepada klien mereka itu dilakukan pada 17 April 2019 disaat pemilu sementara berlangsung.

Bahkan saksi yang dihadirkan JPU yakni keluarga terlapor juga tak melihat langsung kejadian, mereka hanya mengaku, anak mereka disetubuhi saat baru pulang sekolah pada tanggal 17 April 2019, sementara pada 17 April adalah hari libur nasional lantaran ada pemilu.

“Ketika melihat fakta persidangan dan itu sejalan sebenarnya dengan sebagian besar keterangan saksi yang dihadirkan baik dari klien kami maupun pihak pelapor, maka putusan itu semestinya yang dijadikan dasar adalah fakta persidangan,” tuturnya.

Menurut pria yang berkantor di Jakarta ini, putusan majelis hakim tidak jelas, karena ada perbedaan pandangan dalam sidang. Ia meyakini ada yang dissenting opinion, sehingga pihaknya tidak memahami majelis hakim yang menjatuhkan putusan pidana penjara 13 tahun bagi kliennya.

Meski demikian Ruspana mengaku, tetap menghormati putusan majelis hakim. Namun Ia memandang, putusan inipun tidak berlaku karena mereka telah mengajukan banding.

“Kita hormati putusan dan juga klien kami sudah menyatakan banding. Dengan adanya banding itu, maka putusan majelis hakim itu mentah kembali sehingga kami akan berupaya semaksimal mungkin dalam memori banding berdasarkan fakta-fakta persidangan,” tandasnya. (S-21)