AMBON, Siwalimanews – Pemerintah Provinsi Ma­luku didesak segera memberi­kan kepastian terkait perma­salahan di RS Haulussy.

Wakil Ketua Komisi IV DP­RD Provinsi Maluku, Rovik Akbar Afifuddin menjelas­kan, penyelesaian masalah yang terjadi di RS sangat tergantung dari political will atau kemauan pemerintah daerah.

Rovik menjelaskan per­soalan pembayaran sisa la­han telah berdampak terha­dap pelayanan kesehatan di RS Haulussy dengan ada­nya’ penutupan akses masuk oleh pemilik lahan.

Pemprov kata Rovik harus memberikan kepastian terkait sikap Pemerintah dalam per­soalan di RS Haulussy agar tidak menimbulkan persoalan secara terus-menerus.

“Harus ada langkah-langkah dari Pemda artinya Pemda harus berikan keterangan yang jelas kepada publik soal status dan kepemilikan lahan RS Haulussy,” jelas Rovik kepada war­tawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Rabu (10/1)

Baca Juga: Progres Lipat Surat Suara Capai 30 Persen

Menurutnya, Pemda harus ber­sikap terhadap persoalan ini sesuai dengan bukti-bukti otentik yang dimiliki pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai pemilik lahan.

“Kalau ada dua orang mengakui sebagai pemilik tanah, maka sikap pemerintah seperti apa, itu yang harus ada, jangan terlalu banyak membangun alasan, masih tunggu ini dan itu. Apa yang ditunggu,” ujar Rovik.

Apalagi, Pemprov Maluku sebe­lumnya telah membayar sebesar 18 miliar kepada pemilik lahan artinya Pemprov tinggal meneruskan pem­bayaran.

“Kan sudah bayar duluan sekitar 18 miliar, sekarang kalau kembali berproses maka pertanyaan dasar hukum pembayaran awal itu apa dan kalau masih ada alasan ini dan itu, maka alasan pembayaran awal itu dipertanyakan,” bebernya.

Politisi PPP Maluku ini meminta Pemda untuk segera menyelesaikan persoalan RSUD Haulussy agar tidak menimbulkan dampak berke­panjangan bagi pelayanan di RSUD Haulussy.

Suryaman: Lahan Milik Pribadi

Kuasa Hukum, Johannes Tisera Adolof Gerrit Suryaman mengata­kan, lahan RS Haulussy adalah milik pribadi kliennya.

Hal ini diungkapkan Suryaman menanggapi pernyataan Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur Watubun atas surat masuk dari Saniri Negeri Urimessing yang meminta Pemprov menghentikan kelanjutan pembayaran lahan RS Haulussy Ambon.

Menurutnya, Lahan tersebut bukan milik pemerintah negeri, sehingga apa yang disampaikan oleh saniri melalui suratnya di DPRD dan disampaikan oleh Ketua DPRD Maluku, Benhur Watubun adalah keliru.

“Lahan itu milik pribadi Yohanes Tisera, bukan negeri. Kalau hari ini mereka berasumsi bahwa Yohanes Tisera berkedudukan sebagai se­orang raja atau Kepala Pemerintahan Negeri maka itu benar, hanya jika kita fokus pada persoalan lahan maka ini milik pribadi yang dia berjuang sendiri bukan saniri,” tuturnya.

Dia berharap, Pemprov Maluku tunduk pada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.

Minta Hentikan Pembayaran

Sebelumnya Ketua DPRD Ma­luku, Benhur George Watubun me­ng­ungkapkan, pihaknya telah mene­rima surat dari Saniri Negeri Urimes­sing, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon yang meminta agar penundaan pembayaran sisa lahan RSUD dr M Haulussy kepada keluarga Yohan­nes Tisera.

Watubun menjelaskan, pasca aksi penutupan RS Haulussy yang dila­kukan pemilik lahan Yohannes Ti­sera, DPRD telah mendapatkan surat yang pada pokoknya meminta Pemda dan DPRD Maluku meng­hentikan pembayaran lahan.

“Soal lahan RS Haulussy, DPRD telah menerima surat dari Saniri Negeri Urimesing yang pada pokok­nya meminta sisa pembayaran lahan tidak boleh dibayarkan,” tutur Watubun kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang Ambon, Selasa (9/1)

Terhadap surat tersebut, pihaknya telah meminta komisi I agar segera menindaklanjuti dengan pihak terkait agar ada masukan kepada Pemprov Maluku sebelum dilakukan pembayaran.

Apalagi terhadap lahan tersebut terdapat tumpang tindih putusan dan juga terdapat beberapa sertifikat diatas lahan tersebut.

“Kita juga harus berhati-hati karena ada resiko hukum disana, jadi itu tidak gampang. Kan ada juga persoalan tentang surat yang dikeluarkan dulu yang diduga palsu dan sudah dilaporkan, ini harus diusut dengan baik,” tegasnya.

Diakui Watubun putusan Mahka­mah Agung tersebut telah berkekua­tan hukum tetap tetapi jika dibaca maka akan ditemukan fakta bahwa putusan tersebut bersifat deklaratoir dan bukan bersifat eksekutorial.

“Putusan itu bersifat pengakuan tapi tidak ada perintah membayar dan supaya jangan sampai ada dam­pak hukum dikemudian hari, maka harus mengkaji secara baik, karena keputusan membayar itu pasti di­ketahui oleh DPRD,” ucar Watubun.

Politisi PDIP Maluku ini menam­bahkan dengan adanya surat Saniri Negeri Urimesing tersebut maka pembayaran harus pending sampai semua proses selesai dilakukan. (S-20/S-26)