AMBON, Siwalimanews – Mantan Walikota Ambon Richard Louhenapessy menjalani sidang perdana dugaan korupsi dan gratifikasi di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) siang.

RL sapaan ak­rabnya, didakwa jaksa penuntut umum KPK me­nerima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil ne­gara dan se­jum­lah pengusaha.

Sidang dengan agenda pembacaan dak­waan oleh JPU KPK itu dipim­pin hakim Na­nang Zulkarnain Faisal dan di­ge­lar secara online, yang mengha­dir­kan RL dari Gedung KPK di Jakarta.

Mantan Ke­tua DPRD Malu­ku itu didakwa atas dua kasus yaitu, penerbitan ijin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gratifikasi.

Selain mantan walikota dua pe­riode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Baca Juga: Terbukti Gratifikasi, Tagop Dituntut 10 Tahun Penjara

Tim JPU KPK yang diketuai Tau­fiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada ta­hun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta mela­kukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga me­rupakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa me­nerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11. 259.960.000 yang berhubungan de­ngan jabatan dan yang berlawa­nan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fan­tastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang lang­sung berjumlah Rp8.222.250.000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian me­nerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrici Matitaputy sebesar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy sebe­sar Rp240.000.000, Kepala Badan Pengeluaran dan Aset Daerah, Ro­berth Silooy Rp50.200.000, Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhu­bungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Walikota Ambon, terdakwa mene­rima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000.000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian  menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari  Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740.000. 000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pical Rp250. 000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.000. 000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung ter­dakwa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466. 250.000 dan rekanan sebesar Rp1. 216.250.000.

Terdakwa juga menerima dari Karen Dias Rp811.460.000, kemudian melalui Hervianto Rp75.000.000 dan Imanuel Arnold Noya Rp150.000. 000.

“Atas penerimaan uang tersebut terdakwa tidak pernah melapor ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima, sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2)UU nomor 31 tahun1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun1999 tentang pembe­rantasan tindak pidana korupsi sehingga seluruh penerimaan uang tersebut merupakan gratifikasi yang diterima terdakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hu­kum,” pungkas JPU.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini, RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia  bermak­sud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai  atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangu­nannya diperluka beberapa periji­nan diantarannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan periji­nan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.000. 000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan de­ngan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses pener­bitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nan­dang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permo­honan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal perse­tujuan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL  menerbitkan persetu­juan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, ter­dakwa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui ter­dakwa Andrew Erin.

Usai membacakan dakwaan ketiga terdakwa melalui kuasa hukumnya menerima isi dakwaan dengan tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan tersebut, sehingga majelis hakim selanjutnya menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda mende­ngar keterangan saksi.

Diskriminasi

Terpisah, Seggy Haulussy jùru bicara tim kuasa hukum RL kepada Siwalima melalui telepon seluler menilai pihak pengadilan melakukan tindakan tebang pilih.

Menurut Haulussy, seharusnya kliennya dihadirkan di ruang sidang sama seperti terdakwa korupsi lain­nya yang ditahan KPK semisal eks Bupati Bursel, Tagop Sudarsono Soulissa.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon yang berwenang dalam hal penahamaan kliennya dinilai dis­kriminatif.

“Ini diskriminasi. Kenapa terdak­wa lain yang ditahan KPK kasus yang sama dihadirkan di ruang si­dang, sementara klien saya secara during atau online. Ini namanya diskriminasi. Ada apa ini,” ujar Haulusssy.

Resmi Ditahan

Seperti diberitakan, setelah di­jemput paksa dan menjalani proses pemeriksaan, akhirnya KPK mena­han Walikota Ambon 10 tahun itu. RL  ditahan ini selama 20 hari di Ru­tan KPK pada Gedung Merah Putih.

Dia ditahan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi suap terkait pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang usaha retail di Kota Ambon Tahun 2020.

Selain RL, KPK juga menahan tersangka Andrew Erin Hehanussa, pegawai honorer Pemkot Ambon di Rutan KPK pada Kavling C1.

“AR disangkakan melanggar pa­sal 5 ayat (1l hurif a atau pasal 5 ayat (1) hurif b atau padal 13 UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Ta­hun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahuh 1999 tentang Pem­berantasan Korupsi,” jelas Ketua KPK,  Firli Bahuri dalam konfrensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (13/5) malam lalu.

Terpisah, Ali Fikri menambahkan, untuk tersangka RL dan Amril, Ke­pala Perwakilan Alfamidi disangka­kan melanggar pasak 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 dan pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Peru­bahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

KPK dalam konstruksi perkara menyebutkan, dalam kurun waktu tahun 2020 RL yang menjabat Wali­kota Ambon periode 2017 sampai 2023 memiliki kewenangan, yang salah satu diantaranya terkait dengan pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail di Kota Ambon.

Selanjutnya, tambah jubir, dalam proses pengurusan izin tersebut, diduga tersangka AR sapaan akrab Amri aktif berkomunikasi hingga melakukan pertemuan dengan RL agar proses perizinan bisa segera disetujui dan diterbitkan.

Untuk menindaklanjuti permo­honan AR ini, kemudian RL meme­rintahkan Kadis PUPR Pemkot Ambon untuk segera memproses dan menerbitkan berbagai permohonan izin diantaranya Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Usaha Perdagangan.

Kata jubir, untuk setiap dokumen izin yang disetujui dan diterbitkan, RL meminta agar penyerahan uang Rp25 juta menggunakan rekening bank milik AEH yang adalah orang kepercayaan RL.

Khusus untuk penerbitan terkait persetujuan prinsip pembangunan untuk 20 gerai usaha retail, AR diduga kembali memberikan uang kepada RL Rp500 juta yang dibe­rikan secara bertahan melalui reke­ning bank milik AEH.

Mantan Ketua DPD Golkar Kota Ambon ini diduga pula menerima aliran sejumlah dana dari berbagai pihak sebagai gratifikasi dan hal ini masih akan terus didalami lebih lanjut oleh tim penyidik.

Jubir menambahkan, dalam perkara ini tim penyidik            melakukan upaya paksa terhadap RL disalah satu rumah sakit swasta yang berada di wilayah Jakarta Barat. (S-10)